Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Surat Terbuka Teruntuk Pembuat Film 'Milea: Suara dari Dilan'
14 Februari 2020 16:41 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Shandy Gasella tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Yang terhormat Pak Ody, Bung Fajar, dan Kang Pidi,
Assalamualaikum warohmatullahi wabarakatuh.
ADVERTISEMENT
Perkenalkan nama saya Shandy, sama seperti Dilan, saya juga orang Sunda. Saya dulu nonton dua film 'Dilan' pertama langsung di hari pertama tayangnya, begitu pun yang terbaru; 'Milea: Suara dari Dilan'. Tetapi, belum pernah saya mengulas baik film 'Dilan 1990' maupun sekuelnya 'Dilan 1991', lantaran saya merasa ke-sunda-an saya dapat membuat saya bias dalam menilai.
Baru kali ini saya beranikan diri untuk mengomentari film yang Tuan-tuan buat ini. Untuk beberapa alasan. Di film pertama, sebetulnya banyak sisi teknis yang bisa saya kritik, tapi saya diam saja, da kumaha atuh, di luar kekurangannya dalam segi teknis, secara keseluruhan filmnya sendiri bagi saya cukup asyik, terutama bagian dialog yang menggunakan campuran bahasa Indonesia dan Sunda. Dan tak sekadar berbahasa Sunda, logatnya juga pas seolah dituturkan langsung oleh urang Bandung. Ditambah penampilan Neng Milea dan Aa Dilan yang dibawakan dengan begitu hebring lah pokona mah oleh Vanesha Prescilla dan Iqbaal Ramadhan, saya lebih tertarik untuk menjadi penggemar saja, ketimbang melakoni peran sebagai pengulas film yang sudah lama saya jabani ini.
ADVERTISEMENT
Begitu film kedua tayang, ada unek-unek yang sebetulnya ingin saya sampaikan, "Kok ceritanya gak bergerak kemana-mana ya?" Batin saya kala itu sambil kembali malas untuk mengulasnya. Mendapati fakta bahwa cerita masih muter di situ-situ saja, nyaris tak ada hal baru juga yang ditawarkan sutradara dalam hal treatment produksinya, lagi-lagi saya dibuat bungkam, karena saya menyadari betapa pun sedemikian sederhana dan tak sempurnanya film 'Dilan' tersebut, perlu saya akui saya tetap menikmatinya, rasanya seperti sedang bertemu teman-teman lama lalu ngobrol ngalor ngidul, obrolan kami mungkin remeh, tapi tawa dan kebahagiaan kami nyata. Jenuin cenah mah.
Kita sama-sama tahu film ‘Dilan 1990’ menduduki posisi kedua di tangga box office film Indonesia sepanjang masa dengan raihan 6,3 juta penonton, dan sekuelnya ‘Dilan 1991’ berada di urutan ketiga dengan raihan penonton sebanyak 5,2 juta orang. Kini sekuel keduanya bertajuk ‘Milea: Suara dari Dilan’, tayang sejak Kamis kemarin (13/2/2020), dan masih disutradarai Fajar Bustomi dan Pidi Baiq, kembali disambut hangat khalayak umum, tercatat sekitar 400.000 orang sudah menyaksikan film ini pada hari perdana penayangannya. Dan itu tergolong angka yang besar! Praktis dalam tiga hari masa tayangnya, film yang naskah skenarionya ditulis Titien Wattimena bersama Pidi baiq ini, diprediksi bakal mendulang satu juta penonton lebih.
ADVERTISEMENT
Dalam ‘Dilan 1990’ (tayang 2018) dikisahkan seorang cewek asal Jakarta bernama Milea (Vanesha Prescilla) pindah ke sebuah SMA di Bandung. Di sana ia kemudian ditaksir seorang cowok bangor bernama Dilan (Iqbaal Ramadhan), ketua geng motor yang sekaligus dijuluki sebagai panglima tempur. Cara Dilan mendekati Milea terbilang unik, istilah gombal saja bahkan tidak cukup untuk menggambarkannya. Dan pada saatnya Milea jatuh hati kepadanya, Dilan justru berulah, bertindak nakal yang dapat mengancam keselamatannya sendiri.
Begitulah hubungan mereka diuji, Dilan yang kadang cemburu lantas menjadi beringas manakala Milea didekati cowok lain, dan bagaimana Milea dapat membujuk Dilan agar menjauhi kenakalannya sebagai anak geng motor. Kisah kasih di sekolah, bagi saya, tak pernah tampil lewat film semenggelora ini sejak ‘Ada Apa dengan Cinta?’ (AADC?) besutan Rudy Soedjarwo yang rilis di tahun 2001 silam.
ADVERTISEMENT
Nah, selepas film ‘Dilan 1990’ tersebut, karakter Dilan dan Milea lantas tenar dan digandrungi banyak orang hingga sekarang, fenomena yang mirip ketika AADC? melambungkan nama Nicholas Saputra dan Dian Sastro lantaran memerankan Rangga dan Cinta, karakter sejoli fiktif yang melegenda itu. Dilan dan Milea adalah juga legenda yang sedang diukir.
Sukses besar tentu tak kan disia-siakan begitu saja oleh Tuan-tuan, maka selang setahun kemudian di tahun 2019, sekuel pertamanya Tuan-tuan hadirkan dengan judul ‘Dilan 1990’. Dalam kisah lanjutannya tersebut, Dilan, seorang anak bangor ketua geng motor naksir berat kepada Milea, anak Jakarta yang baru pindah ke Bandung. Film tersebut disajikan lewat perspektif Milea yang bernarasi, maka sepanjang durasi kita mendengar apa yang Milea rasakan atau komentari tentang kejadian-kejadian yang dialaminya bersama Dilan. Tentang bagaimana Dilan berhasil mencuri hatinya, dan bagaimana cemasnya ia manakala Dilan terlibat kenakalan geng motor bersama teman-temannya.
Cerita di film kedua sesungguhnya tak bergerak jauh, untuk tak menyebutnya diam di tempat. Banyak pengulangan dari film pertama, tetapi penonton pada umumnya, termasuk saya, nampaknya oke-oke saja dengan itu. Memang ada karakter-karakter baru yang hadir, tetapi secara plot ya plek ketiplek dengan film pertamanya.
ADVERTISEMENT
Lantas apa yang baru di film ketiga berjudul ‘Milea: Suara dari Dilan’ ini?
Lebih dari setengah durasi film ini berisi adegan-adegan lawas dari dua film sebelumnya. Yang baru hanyalah track suara berisi narasi yang disampaikan Dilan (Iqbaal Ramadhan) mengomentari kejadian-kejadian yang pernah dialaminya bersama Milea, dan secuil saja cerita baru di pengujung film. Ini film 'Dilan 1991' cuma sekarang giliran Dilan yang ber-voice over.
Tentu sebagai pembuat film, Tuan-tuan pernah ingat, di Amerika di tahun 2010 pernah dirilis sebuah film berjudul ‘Flipped’ karya Rob Reiner. Berkisah tentang sepasang remaja cowok-cewek yang pada mulanya saling membenci namun lambat laun merasa tertarik alias naksir satu sama lain. Film itu disajikan lewat dua perspektif berbeda dari dua tokoh utamanya. Setengah durasi awal dan sisanya adalah kisah yang sama, tetapi adegan yang sama tak pernah berulang!
ADVERTISEMENT
Saya ulangi ya, adegan yang sama tak pernah berulang.
Begini saya berikan ilustrasi. Contoh lewat sebuah adegan. Bryce, seorang cowok kikuk mendatangi rumah Juli, seorang cewek yang ditaksirnya. Ia mengetok pintu, lantas dibukakan Juli. Bryce memberikan sekeranjang telur hasil panen dari ayam yang diternaknya. Juli menerima dengan senang hati. Adegan tersebut diiringi narasi yang diutarakan Bryce tentang bagaimana senangnya hatinya manakala pemberiannya diterima Juli dengan penuh suka cita.
Pada menit berikutnya kita kembali disuguhi cerita yang sama; tentang Bryce yang mengantarkan sekeranjang telur kepada Juli yang tinggal di seberang rumahnya. Jika pada adegan sebelumnya kita mengikuti Bryce dari rumahnya hingga ke rumah Juli, di adegan berikutnya yang lain, kita diperlihatkan bagaimana situasi di rumah Juli beserta situasi seisi anggota keluarganya pada saat Bryce mengetuk pintu. Kita kembali disodori adegan Bryce memberikan sekeranjang telur kepada Juli, hanya saja kali ini, shot adegan tersebut tampil beda dari sebelumnya, dan ada narasi dari Juli yang menerangkan tentang betapa sebalnya ia ketika mesti berjumpa dengan Bryce, dan ia terpaksa tersenyum padanya lantaran tak ingin dianggap judes.
ADVERTISEMENT
Satu kejadian yang sama, ditampilkan dalam treatment yang berbeda, juga berisi narasi yang beda pula.
Dalam ‘Milea: Suara dari Dilan’, alamakjang! Adegan-adegan lawas dari film sebelumnya ditampilkan begitu saja, dan sama persis seperti aslinya. Mereka hanyalah stock footage yang kembali diberdayakan. Selain menciptakan penggalan-penggalan narasi yang diutarakan Dilan ketika dia mengingat-ingat masa lalunya, kerjaan penulis naskah, pemain, juga sutradara nampaknya jauh, jauh lebih enteng kali ini ya. Nampaknya yang kerja berat editor, memastikan stock footage dari film sebelumnya bisa dijahit sedemikian rupa untuk menghasilkan seolah-olah sebuah karya naratif yang baru. Padahal kenyataannya sebaliknya.
Penonton umum non-penggemar yang sudah menyaksikan dua film pendahulunya bisa jadi kebosanan sepanjang lebih dari setengah durasi film, sebab menyaksikan separuh awal film ini tak bedanya dengan mendengarkan seorang teman yang merangkum cerita dua film Dilan terdahulu, padahal kita sudah nonton! Coba bayangkan gimana perasan kita!
ADVERTISEMENT
Saya sesalkan betapa Tuan-tuan terkesan begitu malasnya untuk menciptakan adegan-adegan seperti misalnya yang dilakukan Rob Reiner lewat ‘Flipped’. Tak mengapa kita dijejali adegan-adegan ulangan, tapi dengan versi yang berbeda atuh, syuting ulang. Bukan semata karena itu yang semestinya dilakukan, tetapi setidaknya dengan begitu Tuan-tuan dapat menghormati setinggi-tingginya para penggemar film seri Dilan ini yang hingga saat ini setia memberi dukungan.
Hormatilah penonton, sebab untuk dan dari merekalah karya Tuan-tuan memiliki nilai, baik nilai estetis juga nilai ekonomis. Saya percaya bakal ada film keempat, kelima atau keenam. Buatlah lebih baik lagi, seniat-niatnya, dan sehormat-hormatnya. Demi kami, penggemar setiamu.
Tabik, dan salam.