Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Us: Film Banyak Gaya Minim Substansi
26 Maret 2019 11:01 WIB
Tulisan dari Shandy Gasella tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
★★1/2☆☆☆ | Shandy Gasella
Peringatan: ulasan ini mengandung banyak bocoran cerita (spoiler).
Us menjadi film horor ter-hits saat ini, baik di Amerika maupun di negara-negara lain. Tiga hari setelah rilis di akhir pekan lalu (22-24 Maret 2019), film ini mengumpulkan tak kurang dari 70 juta dolar AS dari pasar Amerika Utara saja. Dan, penonton nampaknya memang telah menantikan film kedua besutan Jordan Peele ini, setelah Get Out yang diganjar empat nominasi Oscar tahun 2018, sukses mengangkat harkat dan derajat Peele sebagai salah seorang sutradara pendatang baru nomor wahid saat ini.
ADVERTISEMENT
Seperti Get Out, penulis/sutradara Peele kembali mengambil konsep sederhana lantas mengubahnya menjadi sebuah mimpi buruk yang tak pernah kita alami sebelumnya. Tetapi, caranya bercerita kali ini, memakai terlalu banyak metafora dan simbolisme yang, pada awalnya, mungkin terkesan membingungkan dan rumit, tetapi dalam kenyataannya cukup sederhana saja.
Syahdan di tahun 1986, gadis cilik bernama Adelaide (Madison Curry) tengah menghabiskan malam bersama kedua orang tuanya di sebuah pasar malam di pantai Santa Cruz, California. Ibunya izin ke toilet, dan meninggalkan pesan kepada suaminya yang tengah bermain whack-a-mole untuk menjaga anak semata wayang mereka itu. Tak diawasi orang tuanya, Adelaide berjalan sendirian meninggalkan ayahnya, menuju sebuah wahana rumah kaca yang terletak tak jauh dari bibir pantai.
ADVERTISEMENT
Dari luar rumah kaca tersebut sudah terlihat angker, tetapi namanya juga film horor, Adelaide masuk juga ke dalam. Seorang diri. Gelap gulita, wahana ini terlihat sudah lama terbengkalai. Ia masuk semakin dalam. Pada saatnya ia mulai merasa takut, keburu terlambat. Di dalam rumah kaca tersebut ia bertemu dengan dirinya sendiri. Bukan pantulan dari cermin, tetapi memang sesosok yang mirip dengannya. Ia terkejut. kita pun ikut terkejut. Ngeri.
Sebuah prolog yang cukup menjanjikan. Dimulai dengan begitu solid dan menyeramkan, benar-benar menarik kita masuk lewat visual keren (arahan sinematografer Mike Giloulakis, It Follows, Glass) dan musik yang megah sekaligus mengganggu (komposisi oleh Michael Abels, Get Out). Kedua elemen ini menjadi andalan Peele dalam menyampaikan cerita, yang sayangnya, seiring berjalannya durasi, visual dan musik yang luar biasa tadi jadi terasa seperti buat gaya-gayaan saja.
ADVERTISEMENT
Selepas prolog di rumah kaca, cerita melompat ke masa kini. Adelaide sudah dewasa sekarang (diperankan Lupita Nyong’o, 12 Years a Slave, Black Panther), telah menikah dengan Gabe Wilson (Winston Duke, Black Panther), dan memiliki dua orang anak remaja; Zora (Shahadi Wright Joseph) dan Jason (Evan Alex). Menaiki sebuah mobil, disyut dengan aerial shot menyerupai adegan pembuka film The Shining (Stanley Kubrick, 1980), keluarga ini kembali ke Santa Cruz.
Sesampainya di rumah, Gabe mengajak istrinya untuk membawa anak-anak berjalan-jalan ke pantai. Adelaide menolak, lewat sebuah flashback kita melihat bagaimana kejadian di rumah kaca dahulu membuatnya trauma di masa kecil, ia bahkan diceritakan sempat sulit berbicara dan bersosialisasi pascakejadian tersebut.
Lantaran Gabe yang tak berhenti membujuk, akhirnya ia luluh juga. “Kita pulang sebelum malam!” Pintanya mengajukan syarat. Tetapi, lewat gelagatnya kita tahu bahwa Adelaide masih merasa takut untuk kembali ke pantai itu.
ADVERTISEMENT
Sepulang dari pantai, mereka dibuntuti. Ada empat orang asing berdiri tak bergeming di depan halaman rumah mereka. Gabe ke luar, membawa pemukul baseball, setengah memaki ia meminta kepada orang-orang itu untuk pergi menjauh dari rumahnya. Tak diduga keempat orang tadi malah mendekat, memaksa masuk ke dalam rumah.
Tata cahaya dan tata kamera yang impresif mengantarkan adegan ini menjadi begitu menegangkan, membangun suspense secara perlahan. Kita tak betul-betul dapat melihat wajah keempat orang tak dikenal tersebut, hingga ketika mereka berhasil menerobos masuk ke dalam rumah, kita kembali dikejutkan bahwa keempat orang tadi merupakan kembaran Adelaide, suami, dan kedua anaknya. “Siapa kalian?” Tanya Gabe kepada kembarannya yang mulai memukulinya. “Kami orang Amerika,” jawab kembaran Adelaide dengan terpatah-patah dalam suaranya yang berat, dan cukup aneh.
ADVERTISEMENT
Jadi, apakah ini sebuah film horor home invasion — sebuah subgenre yang menjadikan rumah medan perang dan menempatkan karakter-karakter protagonis di dalam rumah baik sebagai korban sekaligus sebagai jagoannya? Pada mulanya saya berpikir demikian, tetapi kali ini Peele terlalu banyak maunya.
Us tak pernah fokus untuk masuk ke satu pun subgenre horor. Padahal bila film ini disajikan sebagai home invasion, di mana ruang gerak bagi setiap karakter amat terbatas, horornya tentu akan lebih mencengkeram. Ketimbang memperluas medan perang tersebut hingga menjangkau satu kota, demi memfasilitasi banyak maunya pembuat film ini dalam mengomentari banyak isu sosial, yang sayangnya, juga tak betul-betul digarap dengan total.
Saat kembaran Adelaide berbicara kepada Adelaide yang tangannya terborgol ke sebuah meja ihwal betapa sengsaranya si kembaran tersebut selama hidupnya, dan hanya si kembaran Adelaide ini yang dapat berbicara, lainnya hanya dapat menggeram saja. Mereka semua memakai seragam jumpsuit berwarna merah, seperti seragam pekerja kilang minyak. Si kembaran Adelaide mengenakan sarung tangan kulit sambil memegang gunting besar berwarna emas.
ADVERTISEMENT
Saat kita pikir mereka dengan mudahnya dapat menghabisi sekeluarga Adelaide di dalam rumah itu, si kembaran malah mengajak main kucing-kucingan. Gabe, Zora, dan Wilson diminta meninggalkan rumah hanya untuk dikejar oleh para kembaran mereka kemudian. Mulai dari sini tensi horor berkurang hingga tak tersisa sama sekali di pengujung film.
Apalagi karakter Gabe yang dimainkan Winston Duke dibuat untuk selalu ngocol dalam keadaan apa pun, ia selalu bercanda bahkan saat keadaan sedang genting hingga menimbulkan keinginan bagi saya agar karakternya segera mati di awal dengan mengenaskan. Gabe tak pernah bereaksi layaknya orang akan bereaksi di kehidupan nyata.
Terkadang tak semua hal perlu dijelaskan, ketimbang dijelas-jelaskan dan pada akhirnya malah menyisakan pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab. Itulah yang terjadi pada film ini. Andai saja si kembaran Adelaide tak bermonolog menjelaskan asal-usul dia dan kaumnya, film ini akan berakhir sebagai film horor survival; Adelaide jagoan kita diburu oleh kembarannya sendiri, tanpa mengetahui alasannya, dan ia berusaha untuk sekadar hidup, akan jauh lebih seru.
ADVERTISEMENT
Tetapi, si kembaran Adelaide malah membeberkan siapa dia dan kaumnya, yakni para kloning yang diciptakan entah oleh siapa dengan tujuan agar mereka dapat mengendalikan manusia yang dikloningnya. Mereka semua ditempatkan di bawah tanah, di gorong-gorong, dan terowongan-terowongan tak terpakai yang jumlahnya sangat banyak di Amerika.
Eksperimen tersebut gagal, kloning yang tercipta tidak dapat mengendalikan manusia, dan mereka pun ditinggalkan begitu saja. Pada bagian ini, Peele sebagai penulis memperlihatkan boroknya sendiri, tanpa malu. Tentu ia tahu bahwa cerita yang dikarangnya itu tak masuk akal, tetapi ia seolah berharap bahwa penonton bakal terlena lantaran ia menebar simbol dan metafora di sana-sini, berharap penonton akan lebih sibuk untuk sok pinter mengira-ngira apa arti di balik simbol-simbol tersebut, ketimbang memperhatikan ceritanya sendiri yang ternyata tak serumit kelihatannya.
Jadi, dikisahkan bahwa semua kloning yang hidup di gorong-gorong itu terhubung dengan manusia yang dikloningnya, mereka selalu meniru gerakan-gerakan dari manusia di atas. Lantas, bagaimana para kloning ini dapat bepergian ke luar kota, ke luar negeri lewat terowongan hanya agar bisa mendapatkan pacar/suami/istri yang sama dengan manusia yang hidup di atas?
ADVERTISEMENT
Selain itu, ini yang paling tak masuk akal — dan spoiler yang paling besar. Ketika si gadis cilik itu diseret ke dalam terowongan dan ditinggalkan di sana, mengapa dia begitu saja menerima nasibnya? Dia makan kelinci hidup-hidup bersama yang lain tanpa masalah, dan tak ada siapa pun yang menahannya di bawah sana, mengapa ia tak mencoba melarikan diri?
Menurut saya film ini akan lebih baik jika cerita hanya fokus pada keluarga Adelaide dan tetangganya saja. Lebih mudah untuk menjelaskan ada kloning beberapa manusia dan mereka mencoba membunuh manusia yang dikloningnya, ketimbang bercerita bahwa seisi kota bahkan dunia? — memiliki kloning yang kloningannya sendiri memiliki pasangan dan anak yang sama persis dengan manusia yang dikloningnya. Jika demikian, cerita akan lebih bisa dipercaya.
ADVERTISEMENT
Satu-satunya hal yang oke dari film ini adalah penampilan yang luar biasa dari Lupita Nyong’o yang berperan sebagai dua karakter yang saling memusuhi satu sama lain. Apa yang dicapainya di film ini selevel dengan penampilannya di 12 Years a Slave. Setelah menggondol piala Oscar pasca-12 Years a Slave, ia lebih sering mendapatkan peran-peran biasa yang kurang menantang. Us memberikan kembali panggung itu kepadanya, dan ia kembali tampil menakjubkan.
Saya merasa kali ini Peele seolah berasumsi bahwa penonton akan cukup terhibur dengan referensi-referensi budaya pop (The Shining, Thriller-nya Michael Jackson, Jaws, dll), humor-humor aneh, musik asyik dan visual yang keren, agar dirinya lolos dari jeratan begitu banyaknya lubang cerita, dan plot yang amat lemah. Usaha yang bagus, tetapi cacat.
Jeremiah 11:11 (Yeremia Pasal 11 Ayat 11) setidaknya muncul dua kali sepanjang film, tentu maksudnya agar penonton diharapkan mencari tahu sendiri arti di balik kemunculan yang simbolis ihwal firman Tuhan tersebut. Bunyi pasalnya seperti berikut: “Sesungguhnya, Aku mendatangkan ke atas mereka malapetaka yang tidak dapat mereka hindari, dan apabila mereka berseru-seru kepada-Ku, maka Aku tidak akan mendengarkan mereka.”
ADVERTISEMENT
Elaborasinya sendiri dalam film tak begitu jelas, gaya-gayaan saja demi simbolisasi/metafora tak berarti. Daripada Yeremia 11:11, Firman Tuhan yang ini rasanya lebih pas dalam mendeskripsikan film ini, yakni Amsal 13:16 yang berbunyi: “Orang cerdik bertindak dengan pengetahuan, tetapi orang bebal membeberkan kebodohan.”