Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Kampung Tugu, Peninggalan Portugis di Jakarta Utara
4 Maret 2020 13:24 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Sherly Ponti Windarfi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Mungkin di antara kita tidak menyangka, orang-orang keturunan Portugis masih bisa kita jumpai di sebuah kampung di kawasan Cilincing, Jakarta Utara. Konon, kampung ini telah ada sejak abad ke-17. Pada saat itu, tentara-tentara Portugis yang ditawan oleh Belanda dibawa ke Batavia. Mereka kemudian berdiam di wilayah yang sekarang dinamakan Kampung Tugu.
ADVERTISEMENT
Oleh Belanda, para tentara Portugis disebut mardijker (mardika) yang artinya dimerdekakan. Pada perkembangannya, mereka yang menetap di Tugu sering disebut ‘Portugis Hitam’. Para Portugis hitam ini mula-mula memeluk agama Katolik namun sudah banyak yang beralih memeluk agama Protestan. Hingga detik ini, kita masih bisa menemui keturunan mereka yang menggunakan nama belakang Portugis seperti: Quiko, Michiels, Abrahams, Broune, dan masih banyak lagi.
Sekarang ini, di kampung Tugu, masih berdiri tegak Gereja Tua bergaya Eropa dengan lonceng besar di sampingnya. Gereja ini adalah salah satu gereja tertua di Jakarta. Ia selesai dibangun pada tahun 1747 dan diresmikan setahun setelahnya.
Bahasa Kreol Portugis yang Punah
Di Kampung Tugu, orang-orang keturunan Portugis beranak-pinak dan melestarikan kebudayaannya. Hingga pertengahan abad ke-20, mereka masih berbicara dalam bahasa Kreol Portugis. Bahasa ini adalah bahasa campuran kontak antara bahasa Portugis dan bahasa di sekitarnya. Sayangnya, bahasa tersebut kini sudah dinyatakan punah. Beberapa kata seperti gatu (kucing), kumi (makan), dan doidu (gila) masih terdengar dalam nyanyian keroncong orang Tugu.
ADVERTISEMENT
Menurut Arif Budiman, pengajar dan peneliti bahasa Portugis dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI), selama hampir tiga setengah abad, bahasa Kreol Portugis bertahan sebagai bahasa ibu dan bahasa antarwarga di Kampung Tugu. Namun, pewarisannya terputus dan bahasa ini kemudian punah. “Meski sudah dinyatakan punah, bahasa Kreol Portugis tetap berfungsi untuk mempertahankan budaya dan identitas masyarakatnya”, ujar Arif. Sekarang orang Tugu masih mendendangkan lagu-lagu keroncong peninggalan leluhur mereka yang liriknya masih dalam bahasa Kreol Portugis.
Musik Keroncong Tugu
Musik Keroncong adalah bagian yang sangat penting dalam keseharian orang Tugu. Walaupun bahasa Kreol Portugis sudah punah dan tidak lagi menjadi alat komunikasi, namun kata-katanya masih dapat kita temukan dalam beberapa syair lagu Keroncong yang masih dibawakan oleh generasi muda Tugu hingga hari ini.
ADVERTISEMENT
Pada masa Kolonial, di Batavia, Keroncong acap kali dihubungkan dengan Mardijkers. Musik ini dilabeli sebagai musik Portugis oleh kaum kolonial Batavia. Seiring berjalannya waktu, Keroncong menjadi populer ke seluruh penjuru nusantara.
Tradisi mandi-mandi
Salah satu kebudayaan masyarakat Tugu yang masih bertahan adalah mandi-mandi. Tradisi mandi-mandi dilakukan satu minggu setelah tahun baru, dalam rangka membersihkan diri. Acara mandi-mandi juga diramaikan dengan iringan musik Keroncong dan tari.
Yang unik, semua peserta wajib mencoreng muka dengan bedak cair dingin. Tradisi mandi-mandi masih diadakan oleh Ikatan Kekerabatan Masyarakat Tugu (IKBT). Mereka terkadang juga mengundang tamu dari luar komunitas untuk ikut serta dalam ritual ini.
Memasuki abad ke-21, Kampung Tugu seakan terkurung di wilayah industri yang dikelilingi oleh kontainer raksasa. Daerah ini tampak begitu terpencil dari hiruk pikuk gemerlap Jakarta. Padahal bila digarap dan dipromosikan dengan baik, potensi yang dimiliki oleh Kampung Tugu bisa dijadikan tujuan wisata sejarah yang layak diperhitungkan.
ADVERTISEMENT