Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kuantitas Versus Kualitas dalam Bingkai Dunia Praktis
15 September 2024 12:44 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Shilva Lioni tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa waktu terakhir, isu-isu terkait kuantitas atau kualitas sering kali muncul ke ranah publik, baik itu dalam penerapan aturan maupun dalam perumusan sebuah indikator parameter penilaian terhadap suatu objek. Sering kali penetapan target jumlah atau poin tertentu dihadirkan sebagai syarat untuk dapat mencapai atau mampu berada pada level, posisi, atau kategori tertentu.
ADVERTISEMENT
Dimulai dari contoh paling dekat dan menjadi isu hangat dewasa ini yakni terkait dengan dunia politik yang mengharuskan persyaratan minimal jumlah perolehan kursi Dewan Perwakilan Rakyat untuk mencalonkan kepala daerah, dunia kerja yang mempertimbangkan dan melihat jumlah halaman pada curriculum vitae seorang individu sebagai salah satu indikator utama dan penentu, hingga dunia akademik yang memprasyaratkan jumlah publikasi atau karya tertentu, jumlah poin, atau jumlah minimal angka kredit tertentu untuk kenaikan pangkat atau laporan kinerja bahkan dalam menilai kelayakan dan kemampuan seseorang dalam bidangnya. Lantas menjadi sebuah pertanyaan kemudian, apakah sebuah prestise dapat muncul hanya dengan menghitung jumlah atau justru dengan seberapa masterpiece sosok, publikasi, atau karya yang dihasilkan? Apakah jumlah dalam hal ini mampu mengalahkan kebermanfaatan atau kualitas? Apakah jumlah yakni seberapa banyak selalu menjadi indikator utama?
ADVERTISEMENT
Baik kuantitas maupun kualitas merupakan unsur penting dalam sudut pandangnya masing-masing. Kuantitas tentu menjadi tolak ukur paling konkrit dalam melihat jumlah yakni seberapa banyak karya dan capaian yang berhasil diciptakan seseorang. Setiap orang akan mampu melihat dan menghitung dalam kacamata yang sama jika berbicara terkait jumlah atau “how many or how much” . Dalam hal ini hasil penilaian tentu diharapkan akan lebih objektif. Sementara itu berbeda dengan kuantitas, kualitas dinilai lebih rumit dan subjektif karena setiap orang memiliki sudut pandang dan perspektif masing-masing terkait seberapa berkualitas sesuatu atau tidak.
Sebagai sebuah parameter, baik kuantitas maupun kualitas memiliki keunggulan masing-masing. Bukan sebuah kesalahan dengan menetapkan kuantitas ataupun kualitas sebagai sebuah parameter penentu penilaian. Pertanyaan justru muncul pada kenapa kebijakan terkait kuantitas atau kualitas dapat menjadi pemicu berbagai masalah dalam dunia praktis dewasa ini? Dimanakah sesungguhnya letak permasalahan-nya?
ADVERTISEMENT
Jika dianalisa lebih dalam, kita dapat menyaksikan permasalahan utama justru terletak pada orientasi sikap dan pandangan yang dimunculkan dan dihasilkan oleh orang banyak yakni partisipan yang terlibat di kemudian hari sebagai dampak dari aturan atau kebijakan yang berlaku. Sebagai contoh yakni pada saat seseorang individu kemudian hanya mementingkan, mengejar, dan berorientasi pada kuantitas materil yakni seberapa banyak dia mampu menghasilkan sesuatu dibandingkan fokus pada kualitas yang dihasilkan.
Permasalahan ini salah satunya dapat kita lihat dengan nyata hadir yakni dalam dunia akademik. Pergeseran orientasi kebanyakan orang yang mulai difokuskan dengan hanya menyoroti jumlah publikasi dibandingkan kualitas publikasi menyebabkan banyak para praktisi akademik hanya bergulat dalam mengejar target jumlah materil. Tidak heran lantas kemudian banyak publikasi jurnal dan buku hanya tersimpan namun sering kali tidak dapat dimanfaatkan dengan baik untuk sesuatu yang lebih.
ADVERTISEMENT
Aturan dan kebijakan yang lebih mengutamakan kuantitas dibandingkan kualitas menjadikan banyak orang hanya sibuk untuk mengejar jumlah materil dan mengesampingkan hingga melupakan kualitas dari karyanya. Situasi seperti ini bahkan diperburuk dengan kehadiran calo-calo di lapangan yakni oknum-oknum tertentu yang mencoba memanfaatkan situasi. Tidak sedikit bahkan yang kemudian terlibat untuk meminta bantuan dan rela membayar jasa calo tertentu untuk mencapai target jumlah sesuai dengan kebijakan yang berlaku. Bahkan dalam dunia akademik, kehadiran jurnal-jurnal predator pun kian menjadi marak bermunculan. Baik para pelaku maupun predator atau calo akan menganggap hubungan mereka sebagai sebuah simbiosis mutualisme karena saling menguntungkan antar satu sama lain. Calo atau predator akan mendapatkan yang diinginkannya yakni uang bayaran sementara para pelaku atau oknum-oknum pribadi juga akan mendapatkan sesuatu yang diinginkannya yakni tercapainya jumlah target tertentu sebagaimana yang diprasyaratkan dalam sebuah kebijakan dengan mudah.
Lebih lanjut, tanpa kita sadari semua permasalahan praktis ini muncul sebagai sebuah dampak yang ditimbulkan dari aturan dan kebijakan yang mana cenderung lebih mementingkan, mengutamakan, dan menetapkan jumlah materil sebagai parameter utama dibandingkan kualitas sehingga banyak orang kemudian menjadi terbelenggu dan terpenjara dalam hal ini. Apakah lantas kemudian hal ini elok untuk dibiarkan secara terus-menerus? Bagaimana dengan dampak jangka panjang yang bisa terjadi dimana ilmu tidak bertumbuh meski ada ribuan jurnal dan buku yang sudah dipublikasikan? Bagaimana dengan generasi bangsa kita kedepan? Semoga menjadi sebuah renungan.
ADVERTISEMENT