Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kebaikan dalam Secangkir Kopi
19 September 2021 8:35 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Shofiyatun tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Beberapa waktu lalu sosial media riuh terkait perkopian. Bahwa kopi sachet menggunakan kopi-kopi curah tak berkualitas. Jadi ngopi itu ndak kaffah kalau bukan dari biji kopi segar berkualitas.
ADVERTISEMENT
Tentu saja kemudian hal itu menuai kontroversi. Sampai ada yang menjelaskan alur kopi dari proses panen sampai menjadi kopi yang kita minum sekarang setiap harinya.
Saya pribadi sekarang lebih suka untuk repot sedikit sejak mengenal bahwa menyeduh kopi dari biji kopi segar lebih nikmat ketimbang minum kopi sachet-an.
Tentu saja, hal ini tidak terjadi dengan instan. Ketika aktif jadi anak gunung beberapa tahun lalu saya sering kali mendapatkan kiriman kopi single origin dari beberapa teman naik gunung di berbagai daerah Indonesia. Tak hanya teman naik gunung, beberapa teman yang saya kenal dari internet pun sampai sekarang masih ada yang sesekali ngirimin saya kopi.
Dan setelah pengalaman-pengalaman di atas, kopi favorit saya bukanlah kopi single origin perdaerah, tapi kopi beberapa daerah yang kemudian di-blend jadi satu. Misal kopi Doloksanggul diblend dengan kopi Gayo. Sungguh nikmat yang tiada tara.
ADVERTISEMENT
Perkenalan saya akan kopi pun saya lupa kapan tepatnya. Sepertinya sejak saya masih di kandungan. Atau sejak saya masih dikondisi cetak biru mungkin. Tak lain dan tidak bukan karena bapak saya pencinta kopi sejati. Tiap hari akan ada satu mug kopi di rumah. Dan tentu saja saya ikutan incip-incip dan tak jarak sampe glek-glek.
Saya bertumbuh bersama kopi.
Ibu saya pun begitu, beliau senang sekali bikin kopi. Sampai-sampai tetangga yang main ke rumah hanya untuk urusan remeh-temeh hingga perghibahan pun disuguhi kopi. Bapak tukang sayur keliling pun begitu. Dia akan ngobrol sampai sekitar satu jam sama bapak saya di halaman rumah, tentu saja dengan ditemani secangkir kopi hangat seakan sudah terjatah otomatis.
ADVERTISEMENT
Dan ini mengakibatkan bapak sayur amat sangat santai urusan pembayaran. Bayar seminggu sekali gapapa, ngebon sampai bayarnya tiap bulan juga santai.
Kebanyakan tukang sayur, selain membawa sayuran juga tentu saja membawa berbagai macam ikan. Dan kalau ada beberapa ikan yang ndak laku, pak sayur akan tentu saja mengantarnya ke rumah. Bayarnya kapan? Terserah kapan saja. Dan ini berlanjut sampai sekarang walau ibu saya sudah meninggal.
Tentu saja tukang bikin kopinya sekarang kakak saya dan juga merangkap akuntan urusan pembayaran dengan pak sayur. Sebelum berangkat kerja, kakak saya akan meninggalkan setumbler ukuran 350ml kopi panas dan cangkir kosong kemudian meletakkanya di lincah depan rumah. Jatah kopi pak sayur dan juga bapak saya.
ADVERTISEMENT
Kembali ke perdebatan kopi di sosial media, perdebatan tidak hanya perkara kopi curah dan kopi segar, tapi juga merambah ke aturan-aturan minum kopi. Dan tentu saja, kopi hitam tanpa gula seakan merupakan kasta tertingginya.
Sedang saya? Bagi saya kopi teramat personal sehingga tidak harus mengikuti aturan-aturan seperti itu. Ngopi itu terkait selera, sehingga harusnya suka-suka, mau tanpa gula monggo, pakai gula juga ayo.
Dan tentu saja, saya peminum kopi segar pakai gula. Kopi itu ibaratnya kehidupan yang pahit. Kopi ada after taste seperti rasa cokelat, cream, cinnamon, dan juga madu. Begitu juga dengan hidup yang nano-nano penuh dengan perasaan suka-duka dan penghempasan. Dan gula adalah rasa manis seperti rasa penerimaan kita akan hal tersebut.
ADVERTISEMENT
Dan tentu saja, terima kasih terbesar saya buat ibu saya yang sudah mengenalkan saya akan kebaikan-kebaikan dengan menggunakan metode secangkir kopi. Teruslah berbuat baik, karena kebaikan itu menular.