Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Pandangan Sebelah Mata yang Menyemangatkan
16 September 2021 12:52 WIB
Tulisan dari Shofiyatun tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“The world will be tougher on you. If you do something well, they will be suspicious or envious. If you do something bad, they're critize your envirounment but you still have to live life the best you can.” Yoo Ja Song. Monthly Magazine Home
ADVERTISEMENT
Alangkah indahnya dunia jika semua orang yang kita temui seperti Ja Song. Tapi ternyata kehidupan tidak seindah itu. Yang sering kita temui adalah bukannya mendapatkan asupan semangat yang ada seringnya dapat asupan negative vibe. Bahkan dari orang-orang yang masuk list support system kita. Sampai pada akhirnya kerasnya hidup membuat kita menjadi lebih bijak seiring proses pendewasaan diri.
Berbeda dengan jaman-jaman ketika masih muda. Ucapan-ucapan underestimate seringnya seakan menjadi cambuk untuk pembuktian diri yang lebih baik.
Saya ingat, saya bertumbuh dengan rasa rendah diri yang tinggi. Walau sebenarnya nilai saya juga tidak jelek-jelek amat. Mungkin dikarenakan sekitar saya menganggap saya beruntung dikasih otak yang lumayan walau ga cemerlang-cemerlang amat. Iya, kebanyakan mereka melihat hasil akhirnya saja tanpa tau proses dibaliknya. Gimana saya yang belajar jungkir balik sampai malam.
ADVERTISEMENT
Rasa rendah diri ini makin menjadi ketika waktunya mendaftar ke perguruan tinggi. Bapak saya menyarankan agar salah satu pilihannya adalah kampus teknik. Tidaaak… seumur-umur saya ndak pernah membayangkan untuk mendaftar ke kampus teknik itu. Apalagi ketika ada briefing kampus-kampus ke sekolah-sekolah, sungguh saya keder bin jiper sekali melihat mas-mbak dari kampus ini. Di mata saya kampus ini ndak terjangkau.
Begitu pengisian form pendaftaran SPMB pun saya galau setengah hidup. Galaunya adalah sudah banyak teman saya yang ketrima melalu jalur PMDK sedang saya? Masih meratap dengan soal-soal SPMB sekerdus peninggalan kakak sepupu saya. Harapan akan masa depan masih abu-abu. Tapi kemudian saya ingat pepatah anonim : “Harapanlah yang mampu membuat kita bertahan”
ADVERTISEMENT
Bingung mengatur strateginya. Saya ndak inget apakah waktu itu saya sempat konsul ke guru BK. Tapi yang ada di ingetan saya kampus ini ndak direkomendasikan kalau melihat kemampuan saya. Sampai akhirnya di hari-hari terakhir, saya memutuskan untuk membeli form pendaftaran IPC. Form pendaftaran IPC ini kita bisa milih tiga jurusan dari IPA dan IPS.
Saya menaruh jurusan Arsitektur ITS di pilihan pertama, FMIPA Kimia Unair di pilihan kedua, dan pilihan ketiga Sastra Jerman Unesa. Sungguh perpaduan pilihan jurusan yang gak make sense sama sekali di saat itu. Kenapa bisa ga make sense? Karena ketika mengisi pilihan saya sudah membaca penjabaran dan passing grade masing-masing jurusan. Dan -sepertinya- Arsitektur bukanlah pilihan yang konyol. Di situ ada penjabaran 50 persen menggambar, 50 persen hitungan eksakta. Baiklah.. saya centang ini jurusan sebagai pilihan No 1.
ADVERTISEMENT
Kemudian jurusan KIMIA. Tidak ada kisah yang berarti dengan pilihan kedua ini. Karena memang ini pelajaran favorit saya selama SMU. Nah pilihan yang ketiga ini beneran sungguh konyol. Saya memilih Sastra Jerman Unesa setelah piala dunia 2002 tim favorit saya dari negara Jerman. Dan waktu itupun kalau misalnya saya diterima saya akan jadi angkatan pertama dikarenakan jurusan itu baru buka.
“SMPB ambil jurusan apa?” Tanya sama para anom (red: paman dalam bahasa Madura) dan nyanyah (red: bibi dalam bahasa Madura).
“Kimia Unair dan Sastra Jerman Unesa” jawab saya.
Saya mengharapkan orang-orang sekitar saya mendoakan pilihan pertama berdasarkanan jawaban saya. Tapi ternyata tidak. Sedih kan?
“Kayaknya nanti bakal keterimanya yang Unesa deh”
ADVERTISEMENT
Sampai akhirnya kemudian saya diterima di kampus Teknik pun komentar sekitar juga bukannya ngasih semangat malah semakin menyurutkan semangat.
“Yakin otakmu mampu di situ?”
“Yakin ga putus tengah jalan?”
“Ih ngapain perempuan ambil teknik?”
“Kalau cuman nantinya kerja jadi tukang ngapain sekolah tinggi-tinggi juga ke Surabaya”
“Yakin bapakmu mampu biayain? Arsitek itu mahal loh. Nanti banyak peralatan yang dibeli”
Yang terakhir masih saya ingat sampai sekarang waktu dan lokasi serta mimik orang yang mengucapkan.
“Aku malah kemaren abis dihina-dina paklikku. Katanya kalau ga punya uang ga usah kuliah”
Jawab teman saya ketika saya curhat. Dia kebetulan juga keterima di kampus teknik namun beda kampus juga beda kota.
“Yuk kita buktikan ke mereka kalau kita bisa. Abaikan hal-hal yang di luar kendali kita”
ADVERTISEMENT
Seperti rangkaian twit Qaris Tajudin ketika membahas buku Filosofi Teras karya Henry Manampiring terkait hal-hal yang bisa kita kendalikan dan tidak bisa kita kendalikan.
“Hal terpenting dari Stoa, yaitu hanya memperhatikan apa yang bisa kita kendalikan dan tidak pada yang di luar kendali kita. Kita tidak perlu risau pada hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan. Buang waktu dan energi.”
“Misalnya, kita tidak bisa mengendalikan kemacetan, jadi kenapa harus mencak-mencak saat macet?”
“Ini sangat mirip dengan konsep Azm vs Tawakkal dalam Islam. Tawakal, menurut Rasulullah SAW, bukan pasrah. Tawakal adalah tidak risau pada hal yang tidak bisa kita kendalikan.”
“Rasulullah SAW menggambarkannya kayak mengikat kuda agar tidak hilang. Kalau sudah diikat, dijaga (kendali kita) lalu hilang (luar kendali kita) ya tidak perlu disesali. Kan kita sudah usahakan yang ada dalam kendali kita.”
ADVERTISEMENT
Jadi buat adek-adek yang sekiranya sekarang sedang berjuang, yang sedang galau akan masa depan. Yuk kita abaikan hal-hal yang diluar kendali kita! Dan juga Teruslah berbuat baik, karena kebaikan itu menular