Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Dekonstruksi atas Fakta Sosial pada Arena Wacana Logosentrisme Derrida
14 Januari 2024 13:21 WIB
Tulisan dari Shubuha Pilar Naredia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dekonstruksi atas konsep Fakta Sosial dalam posisinya sebagai pokok bahasan Sosiologi nampaknya memiliki kemenarikan tersendiri bagi para pemikir yang terlalu kenyang dengan doktrin-doktrin positif atau kemapanan. Bagaimana tidak, Arena Wacana kritis dewasa ini membuka ruang bagi segala hal dapat diangkat sebagai dialektika baru khususnya pada pemaknaan tafsir kebenaran / kemapanan (logos) dalam kerangka pemikiran Jacques Derrida. Hal tersebut perlu dilakukan sebagai bentuk kebebasan berpikir untuk memahami keragaman tafsir, bukan pada keseragaman tafsir atas suatu hal yang memposisikan perbedaan sebagai sesuatu yang salah dan pasti layak mendapatkan sanksi. Terlebih lagi jika perbedaan makin diruncingkan dalam bentang disparitas pemahaman yang barang tentu akan lebih mudah menyulut perpecahan, konflik, serta mengancam integrasi maupun harmoni sosial dalam wacana kritis.
Fakta Sosial dan Karakteristiknya
ADVERTISEMENT
Pokok bahasan Sosiologi menempatkan Fakta Sosial sebagai salah satu dari empat konsep penting dalam memahami hubungan manusia dengan manusia lainnya pada konteks hubungan timbal balik sebagai kesatuan masyarakat. Mengutip laman kompas.com, fakta sosial merupakan kerangka yang dikembangkan oleh Emile Durkheim untuk menjelaskan nilai, budaya, dan norma yang mengontrol tindakan individu. Lebih lanjut melansir dari kumparan.com, fakta sosial diartikan sebagai cara bertindak, berpikir, dan berperasaan yang berasal dari luar individu, namun memiliki kekuatan memaksa dan mengendalikan individu. Sebagai tokoh yang menggagasnya, Durkheim mengidentifikasi tiga karakteristik utama dari fakta sosial yaitu eksternal, memaksa, dan bersifat umum.
Pemahaman karakteristik fakta sosial bersifat Eksternal mengandung arti bahwa fakta sosial berasal dari luar individu, bukan dari dalam diri individu. Fakta sosial sudah ada sebelum individu lahir dan akan tetap ada setelah individu meninggal. Pada pemahaman ini fakta sosial tentunya tidak tergantung pada kesadaran atau keinginan individu. Lebih lanjut, pada posisinya yang dikatakan bersifat memaksa sendiri mengandung arti bahwa fakta sosial memiliki kekuatan untuk memaksakan diri kepada individu, baik secara langsung maupun tidak langsung. Fakta sosial menuntut individu untuk menyesuaikan diri dengan berbagai aturan-aturan yang ditetapkan oleh masyarakat. Jika individu melanggar atau menyimpang dari fakta sosial, maka individu tersebut akan mendapat sanksi atau hukuman dari masyarakat.
Merujuk pada tiga karakteristik di atas, jika dihadapkan pada kehidupan sehari-hari di masyarakat maka dapat ditemu-kenali beberapa contoh dari fakta sosial sebut saja misalnya norma, nilai, agama, ataupun bahasa. Norma sebagai aturan-aturan yang mengatur perilaku individu dalam situasi tertentu, dapat berupa formal (misalnya hukum) atau informal (misalnya adat istiadat). Keberadaan norma menjadi penting karena dipandang dapat memberikan pedoman bagi individu tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam masyarakat. Sedangkan nilai, sebagai suatu hal yang melekat dan tidak dapat dipisahkan dari norma merupakan prinsip-prinsip dasar yang menjadi acuan bagi individu dalam menilai sesuatu sebagai baik atau buruk, benar atau salah, penting atau tidak penting. Nilai juga menunjukkan apa yang dianggap penting atau dihargai oleh masyarakat.
ADVERTISEMENT
Hubungan praktik antara nilai dan norma salah satunya tercermin pada agama. Agama sebagai sistem kepercayaan dan praktik yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat sakral atau transenden, memberikan makna dan tujuan hidup bagi individu dan masyarakat. Agama juga mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan dan sesama manusia. Dalam penterjemahan agama ataupun norma bahkan menafsirkan nilai, dibutuhkan apa yang disebut sebagai bahasa. Bahasa pada akhirnya diyakini sebagai sistem simbol-simbol yang digunakan untuk berkomunikasi antara individu atau kelompok. Bahasa memungkinkan individu untuk menyampaikan pikiran, perasaan, dan informasi kepada orang lain. Bahasa juga mencerminkan budaya dan identitas suatu masyarakat. Melalui bahasa inilah kemudian interpretasi akan suatu hal mulai dibangun, dikonstruksikan, difungsikan, bahkan dapat pula dipertentangkan.
Bahasa sebagai Fakta Sosial Logosentrisme
ADVERTISEMENT
Bahasa digunakan oleh setiap individu dalam berkomunikasi, mengekspresikan diri, bahkan mengkonstruksi pemaknaan ataupun pendefinisian akan berbagai hal. Melalui fungsinya ini maka bahasa kemudian dipandang sebagai sebuah kebenaran (logos) yang diperlukan dan dipandang sebagai suatu hal yang wajib ada dalam hubungan manusia dengan lainnya karena termuat pengetahuan yang menyertai praktiknya. Melihat posisinya yang begitu penting, dominan, dan dipandang sebagai kebenaran itulah maka bahasa berpeluang dipandang sebagai praktik logosentrisme. Dilansir dari garuda.kemdikbud.go.id, logosentrisme diartikan sebagai sistem metafisik yang mengandaikan logos atau kebenaran transendental di balik segala hal yang tampak di permukaan atau segala hal yang terjadi di dunia fenomenal. Pada konteks ini makna tidak pernah hadir kecuali dalam intertekstualitas tanda.
Derrida dalam pemikirannya mencoba menawarkan sesuatu untuk melampaui bahasa seperti yang dihasilkan oleh sistem linguistik dan logika. Dengan kata lain pada proses ini terjadi pertentangan hubungan antara bahasa dan pikiran yang dipandang sebagai hubungan yang timpang. Pikiran selalu diperlakukan lebih tinggi dari pada kata-kata, pikiran menjadi sumber dari bahasa, sementara bahasa hanya kepanjangan tangan dari pikiran. Bahasa bertugas menyampaikan sesuatu yang ingin diekspresikan oleh pikiran.
Berdasar uraian di atas jelas bahwa bahasa sebagai salah satu contoh dari Fakta Sosial memiliki supremasi otoritas yang dominan dalam konstruksi sebuah pemaknaan. Pada posisi inilah Arena Wacana Kritis mulai memainkan perannya, dimulai dari keberadaan bahasa yang kian hari kian paradoks, Derrida menolak supremasi pikiran sebagai sebuah struktur tersendiri yang bebas dari bahasa, dan sebaliknya menegaskan bahwa pikiran juga dapat terkontaminasi, terdisrupsi, ataupun terpolusikan oleh bahasa dan diferensialitas tanda-tanda. Sistem-sistem pikiran dibangun di atas pengetahuan yang dikomunikasikan melalui bahasa dan beroperasi dengan cara kerja teks. Skema inilah yang kemudian menghadirkan diferensialitas tafsir. Kehadiran diferensialitas ini juga menggerakkan seluruh pemaknaan akan teks sesuai dengan pemaknaan yang terlihat datar dengan memfungsikan kembali logika permainan yang direpresi oleh logika dominan. Pada akhirnya kebenaran, makna, atau definisi dalam teks tidak menjadi prioritas utama yang dicari. Semua ini dipandang tidak lebih dari sebagai sebuah proses.
ADVERTISEMENT
Pentingnya Dekonstruksi pada Arena Wacana
Diferensialitas pada arena wacana kritis perlu dilakukan secara terus-menerus guna mempertanyakan kembali asumsi-asumsi yang mapan dan mengujinya dengan kemungkinan-kemungkinan baru yang lebih radikal, paradoksal, atau bahkan absurd. Semakin beragam diferensialitas menandakan dekonstruksi pemaknaan bahasa dalam kebenaran logosentrisme semakin penting perlu dilakukan. Dengan kata lain, bahasa sebagai fakta sosial dalam arena logosentrisme dipandang sebagai sesuatu yang harus dipertanyakan kembali fungsi, definisi, ataupun kebenarannya. Di satu sisi dominasi peran bahasa sebagai bentuk fakta sosial memengang peranan penting dalam mengarahkan tindakan seorang individu, namun di sisi yang lain justru hal tersebutlah yang kemudian dipandang sebagai praktik logosentrisme dimana pada arena wacana kritis mengasumsikan bahwa bahasa yang kemudian dapat mengkontaminasi pikiran sebagai dasar melakukan tindakan seseorang.
Akhirnya, upaya mempertanyakan kembali fakta sosial sebagai cara bertindak, berpikir, dan berperasaan yang berasal dari luar individu, namun memiliki kekuatan memaksa dan mengendalikan individu menjadi diperlukan, dekonstruksi atasnya tak menjadi masalah dilakukan. Semua demi melihat proses pikiran yg diragamkan bukan diseragamkan. Multitafsir harusnya dapat menjadi warna harmoni yang mempercantik hubungan masyarakat dibandingkan tafsir tunggal yang pada perjalanan dominasinya justru dapat dengan mudah menghardik peristiwa yang tidak dalam satu tafsir yang sama.
ADVERTISEMENT