Konten dari Pengguna

Pendekatan Inklusif pada Program TBC di Karanganyar

Shubuha Pilar Naredia
Sosiologi FISIP UNS Praktisi Mentari Sehat Indonesia
29 Januari 2024 16:22 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shubuha Pilar Naredia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pilunya TBC di Tengah Pemilu
TBC merupakan salah satu penyakit menular yang sampai dengan hari ini masih menjadi prioritas penanganannya oleh Pemerintah Republik Indonesia. Meskipun gaungnya tak terdengar lantang di masa kampanye pemilu hari ini, keberadaannya kian lama kian menjadi pilu. Berbagai wacana politis lebih populis hari ini dibandingkan dengan wacana kesehatan yang pernah marak diperbincangkan di masa pandemi silam. Pemilu menjadikan kontestasi sebagai komoditi konsumsi informasi, sementara pembangunan Sumber Daya Manusia di ranah kesehatan khususnya TBC seakan tenggelam dalam genangan pilu. Bagaimana tidak, penanganan dan penanggulangan TBC sampai dengan hari ini masih memerlukan evaluasi di segala lini. Mulai dari pusat sampai dengan daerah. Dilansir dari antaranews.com, data Kemenkes RI mencatat total kasus TBC tahun 2023 sebanyak 658.543 kasus per 3 November 2023. Angka ini tentunya belum mencapai angka yang diterangkan oleh WHO dimana diperkirakan terdapat 969.000 kasus TBC di Indonesia dengan angka notifikasi yaitu 717.941 kasus pada tahun 2022 yang lalu. Berdasar angka tersebut, dikutip dari Global TB Report tahun 2022 juga diketahui bahwa jumlah kasus TBC terbanyak di dunia menyerang kelompok usia produktif terutama pada usia 45 sampai 54 tahun.
Ilustrasi Pasien TBC, Foto: iStock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pasien TBC, Foto: iStock
Penanganan dan penanggulangan TBC di Indonesia dilakukan dengan berfokus pada upaya percepatan eliminasi TBC. Langkah ini dipandang menjadi penting karena menjadi bagian yang tak dapat dipisahkan dari arah tujuan SDGs (Sustainable Development Goals) atau yang dapat diartikan sebagai tujuan pembangunan berkelanjutan. Secara singkat, SDGs adalah tujuan pembangunan berkelanjutan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat itulah yang kemudian masalah TBC perlu mendapat penanganan yang serius. Dikutip dari tbindonesia.or.id, pengobatan pasien TBC dilakukan bisa sampai 6-8 bulan, hal ini tentunya berdampak pada produktivitas pasien terlebih jika pasien TBC tersebut adalah tulang punggung keluarga maka akan sangat berdampak pada kesejahteraan keluarga tentunya.
Ilustrasi Kesejahteraan Keluarga, Foto: shutterstock
Melihat urgensi di atas, beragam strategi tentunya telah dilakukan guna menekan penyebaran kasus TBC. Namun perlu diketahui bahwa masalah TBC tidak hanya pada kesehatan pasien, namun juga berhubungan dengan kesadaran akan pola hidup bersih dan sehat sampai dengan dinamika stigma yang masih ada dirasakan di tengah masyarakat. Dikutip dari stoptbindonesia.org, stigma menjadi salah satu penyebab keengganan masyarakat untuk melakukan pemeriksaan tuberkulosis (TBC) dan dapat memperburuk kondisi pasien. Karena adanya stigma, baik internal maupun eksternal, menjadi penghambat pemenuhan hak pasien dan penyintas TBC untuk mengakses layanan kesehatan. Hal ini tentunya menjadi tantangan bagi program TBC.
Ilustrasi Pemeriksaan TBC, Foto: iStock
Melalui uraian di atas, nampaknya advokasi kebijakan saja tidaklah cukup dalam mendukung implementasi Program TBC, diperlukan pendekatan lain untuk lebih dapat menjangkau kompleksitas tantangan-tantangan yang ada. Salah satu upaya yang menarik ialah melalui pendekatan inklusif. Pendekatan inklusif bukanlah hal baru tentunya, keberadaannya sudah mulai ramai diperbincangkan khususnya di dunia pendidikan. Apa itu pendekatan inklusif? Bagaimana cara melakukannya dalam Program TBC?
ADVERTISEMENT
Pendekatan Inklusif jangan Sebagai Alternatif
Melansir dari narasi.tv, inklusif berasal dari bahasa Inggris (inclusion) yang berarti sebuah tindakan mengajak atau mengikutsertakan. Inklusif kemudian tumbuh dalam berbagai wacana akademis yang menempatkannya pada pemaknaan mengenai sebuah pendekatan untuk membangun lingkungan yang terbuka untuk siapa saja dengan latar belakang dan kondisi yang berbeda-beda, meliputi: karakteristik, kondisi fisik, kepribadian, status, suku, budaya dan lain sebagainya. Seiring dengan masifnya wacana inklusif, menjadikannya kian hari kian multitafsir artikulasinya. Lebih lanjut pada literasi yang lain juga memposisikan inklusif pada sebuah usaha yang dilakukan seseorang untuk menempatkan dirinya ke dalam sudut pandang orang lain dalam memahami suatu hal atau masalah. Melalui beragam definisi tersebut maka makna inklusif dikutip dari merdeka.com, dititik beratkan pada aspek kesamarataan, tidak membeda-bedakan, dan menyeluruh untuk menyambut dan menghargai orang-orang sebagaimana adanya. Trend inklusif kian menyeruak kini menjadi strategi pendekatan pelaksanaan berbagai program, tidak terkecuali pada Program Penanganan dan Penanggulangan TBC salah satunya yang ada di Karanganyar.
ADVERTISEMENT
Ilustrasi Pendekatan Inklusif, Foto: shutterstock
Sebagai komunitas yang terlibat langsung dalam Program TBC di Karanganyar, Mentari Sehat Indonesia bersepakat dengan Pimpinan Daerah 'Aisyiyah Karanganyar dalam berkolaborasi guna ikut berkontribusi pada Program Penanganan dan Penanggulangan TBC di Karanganyar. Dikutip dari solo.suaramerdeka.com, 'Aisyiyah Karanganyar siap menjadi agen perubahan untuk peradaban berkemajuan. Hal tersebut merupakan komitmen Pimpinan Daerah 'Aisyiyah yang pada periode ini diketuai oleh Ibu Hidiyah Rohmani. Kolaborasi keduanya ditandai dengan adanya penandatanganan MoU antara Pimpinan Daerah ‘Aisyiyah (PDA) Kabupaten Karanganyar dengan Yayasan Mentari Sehat Indonesia cq. Sub-sub Recipient Mentari Sehat Indonesia Kabupaten Karanganyar (SSR MSI Karanganyar) pada tanggal 25 Januari 2024 bertempat di Panti Asuhan Putri ‘Aisyiyah Karanganyar. Kerjasama ini diharapkan dapat bermanfaat dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit Tuberkulosis (TBC) di Kabupaten Karanganyar, untuk mempercepat penanggulangan penyakit Tuberkulosis (TBC) di Kabupaten Karanganyar tentunya.
Penandatanganan MoU MSI dan PDA 'Aisyiyah, Foto: mentarisehatindonesia.org/Najendra
Ruang lingkup Perjanjian Kerja Sama ini meliputi tercapainya komitmen dalam melaksanakan pencegahan dan penanggulangan penyakit Tuberkulosis di Kabupaten Karanganyar dengan pokok kegiatan yang mencakup Peningkatan pengetahuan dan keterampilan Kader Komunitas Tuberkulosis dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit Tuberkulosis dengan strategi DOTS; Kerja kemitraan (berupa kegiatan promotif dan preventif dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit Tuberkulosis), Penyebarluasan informasi pencegahan dan penanggulangan penyakit Tuberkulosis kepada masyarakat, serta Pelaksanaan kolaborasi dan sinergisitas kegiatan Public Private Mix dalam program TBC.
ADVERTISEMENT
Kolaborasi di atas merupakan cermin dari praktik pendekatan inklusif yang berjalan di Karanganyar, tak hanya Dinas Kesehatan namun juga komunitas bahkan organisasi keagamaan turut serta mencipta ruang inklusif bagi sesama khususnya pada program Penanganan dan Penanggulangan TBC. Seluruh aktor yang terlibat nantinya akan berperan aktif dalam skema keterlibatannya masing-masing namun tetap bersinergi pada simpul harmoni dan koordinasi. Kebersamaan tanpa menjeda disparitas adalah kunci bagaimana pendekatan inklusif menjadi bagian penting dari warna kehidupan dan kesetaraan sosial di tengah keberagaman, namun ditujukan pada satu kepentingan bersama yaitu Karanganyar Bebas TBC.