Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Cuti Melahirkan Jadi 6 Bulan: Polemik antara Hak dan Diskriminasi
23 Juni 2022 21:50 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Silva NF Lestari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Disclaimer
Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan tidak mewakili atau terkait dengan instansi mana pun.
ADVERTISEMENT
Akhir-akhir ini jagad maya diwarnai dengan diskusi terkait wacana perpanjangan cuti melahirkan menjadi 6 bulan yang disampaikan oleh Ketua DPR RI Puan Maharani. Saat ini, cuti melahirkan diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Berdasarkan pasal 82 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, pekerja perempuan berhak memperoleh cuti melahirkan dengan total masa cuti selama 3 bulan.
Tidak hanya melahirkan, berdasarkan pasal 82 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, pekerja perempuan juga mendapatkan hak untuk memperoleh cuti selama 1,5 bulan saat mengalami keguguran. Hal penting yang perlu digarisbawahi adalah pada masa cuti tersebut, pekerja perempuan tetap berhak untuk menerima upah penuh. Nantinya, kebijakan pemberian hak cuti 6 bulan ini akan diatur dalam Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak.
ADVERTISEMENT
Bagi pekerja perempuan, seharusnya wacana ini memberikan angin segar karena memberikan kesempatan untuk pekerja perempuan mengoptimalkan peran sebagai ibu dalam hari-hari pertama dari kehidupan buah hatinya. Namun tidak sedikit beberapa pihak, yang sebagian juga adalah perempuan, mengkhawatirkan adanya dampak negatif dari pemberlakuan kebijakan ini. Kekhawatiran tersebut muncul dari anggapan bahwa pengusaha akan melakukan diskriminasi terhadap angkatan kerja perempuan karena dianggap kurang produktif namun tetap memiliki biaya yang besar.
Mengapa Cuti Melahirkan Perlu Diberikan?
Jika menilik dari kacamata ilmu ekonomi, pekerja termasuk dalam modal yang berperan dalam proses produksi. Pekerja atau bisa kita sebut saja, modal manusia memiliki keunikan tersendiri jika dibandingkan modal lainnya. Modal manusia tidak hanya dinilai dari kemampuan fisiknya, namun juga dinilai dari kesehatan mental dan rohaninya. Meskipun manusia memiliki kemampuan fisik yang sangat prima, namun apabila kondisi mental dan rohani tidak dalam kondisi terbaik, output yang dihasilkan tidak akan optimal.
ADVERTISEMENT
Proses hamil, melahirkan, dan menyusui merupakan momen yang sangat menantang bagi seorang perempuan, tidak hanya dari segi fisik tetapi juga dari segi mental. Bahkan untuk beberapa perempuan, masa di pasca melahirkan mungkin akan lebih menantang daripada masa kehamilan. Ibu pada masa pasca melahirkan mengalami perubahan hormon, perubahan jam tidur, proses pembelajaran dalam menyusui, dan hal-hal lainnya yang membuat seorang ibu merasakan letih baik secara fisik maupun mental. Sejatinya proses kelahiran tidak hanya dimaknai dengan munculnya anak sebagai individu baru namun juga lahirnya individu baru yang disebut ibu.
Kondisi ibu pasca melahirkan yang dahulu sempat diabaikan namun dewasa ini cukup mendapat perhatian lebih adalah Baby Blues Syndrome (BBS) dan Post Partum Syndrome (PPS). Dilansir dari website resmi Rumah Sakit Pondok Indah, BBS merupakan perubahan psikologis yang kerap terjadi pada ibu pasca melahirkan ditandai dengan kekhawatiran berlebihan, perasaan yang lebih sensitif, dan lebih mudah marah. BBS dialami kurang lebih 80% ibu pasca melahirkan dan dapat berangsur pulih dalam waktu beberapa minggu. Yang perlu diwaspadai jika BBS tidak kunjung membaik dan malah mengarah kepada PPS atau depresi pasca melahirkan.
ADVERTISEMENT
Apabila modal berupa benda mati membutuhkan biaya pemeliharaan untuk menjaga kapasitas produksi, maka pemberian cuti dapat diibaratkan sebagai biaya yang perlu dikorbankan oleh pengusaha untuk menjaga kapasitas produksi modal manusia.
Kesenjangan Gender pada Pelaku Ekonomi
Alasan dibalik pendapat yang berseberangan dengan wacana perpanjangan cuti melahirkan ialah adanya kekhawatiran semakin meningkatnya diskriminasi terhadap pekerja perempuan. Pandangan tersebut sebenarnya tidak sepenuhnya salah. Seorang pengusaha memiliki orientasi profit dalam menjalankan perannya sebagai pelaku ekonomi. Dengan berlakunya cuti melahirkan selama 6 bulan, pengusaha harus membayar upah penuh selama 6 bulan namun diiringi risiko adanya penurunan output selama si pekerja perempuan menjalankan cuti. Alasan yang demikian meningkatkan adanya peningkatan risiko diskriminasi pekerja perempuan dalam bersaing memperoleh pekerjaan. Pengusaha akan cenderung untuk merekrut pekerja laki-laki karena dianggap tidak ribet dan mampu memaksimalkan jam kerja.
ADVERTISEMENT
Sejatinya, ada atau tidak adanya wacana perpanjangan cuti melahirkan, kesenjangan gender di dunia pekerjaan pada penduduk Indonesia masih dapat dikategorikan cukup lebar. Menurut data Badan Pusat Statistik tahun 2020, persentase tenaga kerja formal pekerja perempuan sebesar 34,65% sedangkan persentase tenaga kerja laki-laki sebesar 42,71%. Berdasarkan data tersebut memunculkan hipotesa bahwa penduduk perempuan Indonesia yang berada pada rentang usia produktif banyak yang bekerja di sektor informal atau memilih untuk tidak bekerja. Kesenjangan gender terkait peran perempuan dan laki-laki di ranah publik merupakan buah dari konstruktif sosial yang menyatakan bahwa tugas utama perempuan berada di ranah domestik.
Pada tatanan sosial yang demikian, laki-laki sebagai pencari nafkah utama bahkan satu-satunya dalam keluarga sedangkan perempuan bertugas untuk mengurus rumah tangga dan pengasuhan anak. Meskipun banyak dari perempuan yang memilih untuk bekerja, namun Tuwu (2018) mengungkapkan bahwa pekerjaan yang dilakoni perempuan kebanyakan adalah pekerjaan yang bersifat sampingan (bukan pekerjaan utama) dan ditujukan untuk membantu ekonomi rumah tangga.
ADVERTISEMENT
Hingga saat ini pekerjaan formal masih dianggap lebih menguntungkan dibandingkan pekerjaan informal. Hal ini disebabkan pekerjaan formal memiliki mekanisme jaminan tenaga kerja yang lebih jelas dan terukur dibandingkan tenaga kerja informal. Di sisi lain, pekerja formal juga memiliki akses terhadap layanan keuangan yang lebih memadai dibandingkan pekerja informal, misalnya dalam hal pengurusan kredit dari bank.
Perempuan juga dihadapkan dengan ketergantungan yang tinggi terhadap pencari nafkah utama dan berisiko jatuh ke dalam jurang kemiskinan ketika pencari nafkah utama meninggal dunia atau bercerai. Penduduk perempuan Indonesia memiliki kerentanan di bidang ekonomi dan finansial yang lebih besar dibandingkan dengan penduduk laki-laki akibat dari kondisi perempuan Indonesia yang lebih banyak bekerja sebagai tenaga kerja informal atau bahkan tidak bekerja.
ADVERTISEMENT
Seiring dengan kesadaran terkait kesetaraan gender, berbagai negara mengupayakan untuk mempersempit kesenjangan peran antara perempuan dan laki-laki di ranah sosial, ekonomi, dan politik. Indonesia mengadopsi konsep Sustainable Development Goals (SDGs) atau Pembangunan yang Berkelanjutan yang berisi agenda-agenda pembangunan berkelanjutan dalam rentang tahun 2016-2030.
SDGs sendiri merupakan buah kesepakatan dari para pemimpin negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 25 September 2015. Cita-cita untuk mempersempit kesenjangan gender selaras dengan tujuan nomor 5 dari SDGs, yaitu mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan dan anak perempuan. Perjuangan untuk mencapai kesetaraan gender tidak lahir tanpa dasar pemikiran. Revenga dan Shetty (2012) menyatakan bahwa kesetaraan gender memberikan dampak baik untuk pembangunan, pertumbuhan ekonomi, dan pengentasan kemiskinan.
ADVERTISEMENT
Setidaknya ada tiga hal yang dapat dicapai apabila kesetaraan gender dalam bidang ekonomi diperjuangkan. Pertama, tenaga kerja perempuan dunia berjumlah 40% dari keseluruhan tenaga kerja global, sehingga dengan pemberdayaan perempuan akan meningkatkan produktivitas global. Kedua, perempuan memiliki peran yang dominan dalam pengaturan keuangan rumah tangga, sehingga dengan adanya pemberdayaan perempuan potensi anak-anak untuk memperoleh pendidikan dan kesehatan yang memadai menjadi lebih besar. Ketiga, keikutsertaan perempuan dalam ranah sosial, politik, dan ekonomi akan mendorong pemerintah untuk mewujudkan kebijakan yang lebih komprehensif dan menjangkau seluruh lapisan masyarakat.
Menjembatani antara Kebutuhan Pekerja Perempuan dengan Kekhawatiran Pekerja Perempuan
Aturan terkait perpanjangan cuti melahirkan tidak dapat berdiri sendiri tanpa sokongan aturan lain yang pro pada kesetaraan gender. Peran pemerintah dan masyarakat meyakinkan bahwa perempuan adalah bagian dari tenaga kerja yang patut diperhitungkan juga dibutuhkan. Pemerintah dan pengusaha seharusnya mulai menyelaraskan pandangan terkait pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Usaha ini pasti akan mendatangkan banyak tantangan dan diskusi panas karena adanya perbedaan kepentingan antara pemerintah dan pengusaha.
ADVERTISEMENT
Pengusaha sudah barang tentu akan mengutamakan maksimalisasi profit perusahaan dalam tujuannya berkegiatan ekonomi. Di sisi lain, pemerintah sebaiknya tidak hanya melihat keberhasilan pembangunan dari pertumbuhan ekonomi yang diwakili oleh kenaikan Gross Domestic Product (GDP) atau Produk Domestik Bruto (PDB) melainkan dari keberhasilan dari aspek sosial-ekonomi lainnya seperti menurunnya angka kemiskinan serta meluasnya keterjangkauan fasilitas kesehatan dan pendidikan yang memadai.
Kembali kepada akar permasalahan kesenjangan gender di masyarakat, perlu adanya perubahan paradigma masyarakat terhadap pengurusan ranah domestik. Dengan masuknya perempuan ke ranah publik, tidak serta merta akan menghilangkan peran perempuan sebagai seorang ibu dalam pengurusan rumah tangga dan pengasuhan anak. Perlu diingat bahwa kesetaraan gender tidak berarti menghilangkan peran perempuan sebagai ibu dalam pengurusan rumah tangga dan pengasuhan anak.
ADVERTISEMENT
Yang perlu dibenahi adalah bahwa tugas pengurusan rumah tangga dan pengasuhan anak bukan hanya menjadi tugas ibu melainkan juga tugas seorang ayah. Berawal dari paradigma bahwa perempuan dan laki-laki masing-masing memiliki porsi dan peran dalam ranah publik dan domestik, seharusnya akan memunculkan pandangan bahwa memilih merekrut pegawai perempuan atau merekrut pegawai laki-laki akan menghasilkan dampak yang sama terhadap output perusahaan.
Dalam sudut pandang yang lebih besar, kebijakan terhadap kesejahteraan pekerja perempuan bukan hanya akan berdampak pada pekerja itu sendiri sebagai individu, namun juga terhadap keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat. Ketahanan keluarga sangat penting dalam mewujudkan masyarakat yang berkualitas. Pekerja perempuan yang sejahtera secara materi dan non-materi, mendorong terciptanya generasi penerus yang sehat dan cerdas. Sudah sepantasnya pemerintah dan masyarakat memberikan apresiasi kepada pekerja perempuan, baik formal maupun informal karena kenyataan yang dihadapi bahwa mereka memiliki peran dan tanggung jawab yang sangat besar bagi pembangunan ekonomi baik sebagai seorang pekerja maupun seorang pengurus rumah tangga.
ADVERTISEMENT
Sumber:
1. Baby Blues Syndrome dan Post-Partum Depression, Pahami dan Tangani Segera yang diakses di https://www.rspondokindah.co.id/id/news/baby-blues-syndrome-dan-post-partum-depression-pahami-dan-tangani-segera
2. Revenga, A. dan Sudhir Shetty. 2012. Empowering Women is Smart Economics. Finance and Development, edisi Maret 2012, halaman 40-43.
3. Tuwu. D. 2018. Peran Pekerja Perempuan dalam Memenuhi Ekonomi Keluarga: Dari Peran Domestik Menuju Sektor Publik. Al-Izzah: Jurnal Hasil-Hasil Penelitian, volume 13, halaman 63-76.
4. Badan Pusat Statistik. Persentase Tenaga Kerja Formal Menurut Jenis Kelamin (Persen), 2018-2020. https://www.bps.go.id/indicator/6/1170/1/persentase-tenag-kerja-formal-menurut-jenis-kelamin.html
5. Sustainable Development Goals yang diakses di https://www.sdg2030indonesia.org/