Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
PPKM Nataru: Tren Overtourism
13 Desember 2021 17:52 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari silvia septyani koswara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Juli lalu, Muhammad Ganjar, seorang driver sekaligus tour guide di Bali, mesti pulang ke kampung halamannya di bilangan Tarogong-Garut, sebab aktivitasnya di Pulau Dewata mati suri. Dua tahun belakangan, tak ada pekerjaan yang bisa ia kerjakan sehingga untuk bertahan hidup sekeluarga ia mesti menguras isi tabungan.
ADVERTISEMENT
Kabar bahwa pemerintah melonggarkan PPKM dan membuka Bandara Internasional Ngurah Rai pertengahan Oktober silam membawa angin segar bagi bapak dua anak ini. Ia kembali ke Bali tapi semangatnya hanya bertahan satu bulan. “Info bahwa pemerintah akan memberlakukan PPKM level tiga di seluruh wilayah Indonesia adalah pukulan berat bagi kami, pekerja industri pariwisata,” kata Ganjar.
Info yang dimaksud Ganjar tentu saja Instruksi Mendagri (Inmendagri) nomor 62 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Covid-19 pada saat Natal Tahun 2021 dan Tahun Baru Tahun 2022, yang dibatalkan pada Rabu (8/12) lalu.
Meski aturan itu sudah dibatalkan—dalam arti, selama libur Natal dan Tahun Baru (Nataru) PPKM level 3 tidak berlaku di seluruh Indonesia dan pembatasan kegiatan masyarakat disesuaikan dengan kondisi di masing-masing daerah—menelisik fenomena Nataru dalam kaitannya dengan overtourism saya kira penting, bahkan berguna, bagi kelangsungan industri pariwisata yang berkelanjutan di masa depan.
ADVERTISEMENT
Kita tahu, Nataru dan momen libur panjang lainnya, antara lain libur sekolah (biasanya berlangsung pertengahan tahun) dan libur lebaran, tak ubahnya “musim panen” bagi industri pariwisata. Di momen peak season ini, sejumlah destinasi rutin dibanjiri pengunjung dan tak sedikit yang menyebabkan overtourism.
Secara umum, overtourism bisa dimaknai sebagai fenomena membludaknya wisatawan pada sebuah destinasi. Menurut Badan Pariwisata Dunia atau UNWTO (2018), overtourism adalah “sebuah situasi di mana sebagian penduduk lokal merasa bahwa cara hidup atau kualitas hidupnya menurun akibat aktivitas pariwisata, sehingga menimbulkan bentuk-bentuk perlawanan atau protes kepada pariwisata, wisatawan, pembuat kebijakan, hingga pemangku kepentingan ekonomi.”
Fenomena overtourism tidak hanya dirasa buruk oleh warga lokal, tapi juga oleh wisatawan. “Overtourism menggambarkan situasi sebuah destinasi wisata di mana tuan rumah atau tamu, penduduk lokal atau pengunjung, merasa terlalu kebanyakan wisatawan dan kualitas hidup di wilayah itu memburuk, tidak dapat diterima,” terang Goodwin.
ADVERTISEMENT
Sosok yang menjabat sebagai Director of Responsible Tourism in the Institute of Place Management at Manchester Metropolitan University itu juga menyebut fenomena overtourism sebagai antitesa dari pariwisata yang bertanggungjawab, responsible tourism, yang mengupayakan sebuah tempat agar menjadi lebih baik, untuk ditinggali maupun dikunjungi.
Lepas dari silat lidah para pembuat kebijakan (ingat baik-baik pernyataan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian bahwa PPKM level 3 yang awalnya akan diterapkan di seluruh Indonesia diganti judul menjadi Pembatasan Kegiatan Masyarakat di Masa Nataru), semua pihak yang bersentuhan dengan industri pariwisata perlu berusaha sebisa mungkin menghindarkan diri dari overtourism baik sebagai penyedia jasa pariwisata maupun wisatawan.
Menyebut satu contoh: di Aryakiban Land, destinasi anyar di wilayah Majalengka, persoalan overtourism itu mengemuka. Setelah pemerintah melonggarkan PPKM, pada akhir pekan dan hari libur nasional kolam renang di pinggir Sungai Ciputri itu bisa didatangi hingga 500 orang wisatawan dalam sehari. Tentu bukan soal benar jika lokasinya luas dan terbuka seperti halnya Pantai Pangandaran, misal. Hanya, karena lokasinya persis berada di belakang permukiman warga Rajagaluh Kidul, untuk mencapai destinasi itu para wisatawan mesti melewati rumah penduduk dan memarkir kendaraan roda dua di halaman seadanya rumah mereka.
ADVERTISEMENT
Selain itu, luas Aryakiban Land sendiri hanya 300 bata atau 4.200 meter persegi—terlalu kecil saat disambangi ratusan wisatawan. Dampak dari itu semua sebagian warga merasa terganggu dengan adanya aktivitas pariwisata di sekitar kediaman mereka.
Overtourism erat kaitannya dengan kerumunan dan sejak ditetapkannya Covid-19 sebagai pandemi pada awal Maret 2020, kerumunan—situasi yang dalam konteks industri pariwisata kerap membawa keuntungan ekonomi—seolah menjadi musuh bersama, hal terlarang. Dengan demikian, dengan atau tanpa PPKM Level 3, sudah semestinya kondisi pandemi saat ini dimanfaatkan oleh pelaku industri pariwisata, terutama mereka yang akrab dengan mass tourism, untuk merancang strategi anyar demi mewujudkan aktivitas pariwisata yang berkelanjutan dan, yang paling penting, aman dan tetap bikin nyaman dalam segala situasi, termasuk dalam momen peak season seperti Nataru yang akan datang.
ADVERTISEMENT
Mengoptimalkan tren desa wisata, saya kira, sepanjang dikelola dengan profesional sekalipun oleh warga lokal, bisa menjadi solusi bagi situasi pariwisata yang sering kali terasa menjemukan. Intinya, jika mass tourism sudah berada di titik jenuh dan sudah berada pada tahap irritation bahkan antagonism soal indeks tingkat ketergangguan warga yang tinggal di sekitar destinasi wisata, sebagaimana yang terjadi di Aryakiban Land juga destinasi wisata lainnya seperti di Bali, Bandung, dan Yogyakarta, mengembangkan destinasi anyar yang menjanjikan keberlanjutan adalah sebuah keharusan.
Kuncinya, maksimalkan suguhan dan layanan berkualitas, serta jangan berharap banyak pada kuantitas, sebagaimana yang marak pada mass tourism. Menyasar wisatawan ceruk khusus tentu bisa menjadi solusi di kemudian hari, baik bagi kelangsungan pariwisata itu sendiri maupun nilai ekonomi yang bakal diterima pengelola destinasi. Ingat, wisatawan minat khusus umumnya dikenal royal terhadap hal material sepanjang kepuasan batin mereka terpenuhi.
ADVERTISEMENT
Dua Sisi Pembatasan dan Komunikasi sebagai Kunci
Diakui atau tidak, bagi sebagian besar masyarakat, terutama orang-orang seperti Muhammad Ganjar yang menggantungkan hidupnya hanya dan hanya pada bidang pariwisata, kebijakan pembatasan kegiatan masyarakat—entah itu PSBB maupun PPKM—tak ubahnya dua sisi mata pedang. Pada satu sisi, ia dibutuhkan demi menekan angka penyebaran Covid-19; sedangkan di sisi lainnya, jelas, kebijakan itu terbukti melumpuhkan perekonomian sebagian besar masyarakat.
Sebagai gambaran, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia menunjukkan, 12,91 juta orang pekerja sektor pariwisata mengalami pengurangan jam kerja, dan 939 ribu orang di sektor yang sama tidak bekerja untuk sementara waktu. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) 2020, 409 ribu tenaga kerja di sektor pariwisata kehilangan pekerjaan akibat pandemi COVID-19.
ADVERTISEMENT
Pembatasan kegiatan publik juga telah menyebabkan penurunan jumlah wisatawan mancanegara ke Indonesia: dari 16 juta wisman pada 2019 menjadi 4 juta wisman pada 2020. Dampaknya, sebagaimana disampaikan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno pada Kamis 19 Agustus lalu, jumlah pendapatan negara dari sektor pariwisata anjlok hingga 81 persen: dari 16,9 miliar dolar AS pada 2019 menjadi 3,2 miliar dolar AS pada 2020.
Kita sepakat bahwa nyawa manusia di atas segalanya dan sebab itu—seburuk apa pun dampaknya—kebijakan pembatasan kegiatan masyarakat yang diterapkan pemerintah mesti diterima sebagai ikhtiar untuk menyelamatkan hidup lebih banyak orang. PR-nya, pemerintah perlu strategi komunikasi yang baik dan mengena agar kebijakan ini tidak jadi bulan-bulanan publik, apalagi dalam konteks mencla-mencle seperti yang terjadi pada Inmendagri Nomor 62 Tahun 2021 kemarin—diteken pada 24 November 2021 lantas dibatalkan dua pekan kemudian.
ADVERTISEMENT
Untuk mencapai komunikasi yang baik dan mengena itu, kiranya perlu disimak semua orang, terutama pemerintah. Meski PPKM Level 3 dibatalkan, pemerintah tetap melakukan berbagai pembatasan. Hal itu dilakukan untuk meminimalisir penyebaran dan mampu mencegah lonjakan covid-19 secara efektif setelah tidak berlakunya PPKM Level 3 Nataru dan merupakan hal penting agar kebijakan dapat diimplementasikan dengan baik.