Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Media Sosial: Memahami Maraknya Penggunaan Dark Jokes
4 April 2021 6:12 WIB
Tulisan dari Ivanodei tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pernahkah kalian menonton sebuah acara dan film yang bergenre komedi atau pernahkah kalian mengamati orang di sekitar kita yang sedang melakukan sebuah kesalahan yang tidak disengaja? Pasti kita memiliki refleks untuk tersenyum dan bahkan bisa tertawa ngakak.
ADVERTISEMENT
Hal ini dinamakan humor. Setiap manusia diciptakan dengan rasa humor yang berbeda-beda. Pada hakikatnya manusia menciptakan humor yang berbau lelucon dan candaan untuk mempererat hubungan antar manusia dan mempersatukan antar umat manusia yang memiliki perbedaan latar belakang.
Media sosial telah menjadi sarana medium aspirasi masyarakat yang terkadang isinya menghibur atau serius. Pengguna media sosial pun terdiri dari beragam latar belakang (multikultural) sehingga cara bermedia sosial nya pun berbeda-beda. Sifatnya yang fleksibel, namun terkadang tidak bebas karena adanya regulasi sehingga terasa sekali adanya pengawasan yang ketat. Seringkali kita menemukan beragam konten dari media sosial dibumbui dengan jokes-jokes yang sangat relate dengan situasi saat ini, seperti: Meme dan video lucu. Sehingga dapat memberikan umpan balik atau reaksi selucu mungkin.
ADVERTISEMENT
Kita bisa katakan bahwa di media sosial, netizen memiliki selera humor yang berbeda-beda. Ada yang membuat seunik mungkin, bahkan ada yang seekstrem mungkin. Jika melihat perkembangan media sosial, kita dapat menemukan adanya keunikan selera humor dari masyarakat, yakni penggunaan dark jokes. Maraknya penggunaan dark jokes menjadi isu yang menarik perhatian massa sehingga memberikan pro dan kontra terhadap lelucon ini.
Coki Pardede, seorang stand-up comedian, memperkenalkan gaya berkomedi ke masyarakat di Indonesia dalam kemasan yang unik. Dalam kanal YouTube "Majelis Lucu Indonesia", ia selalu mengemas dark jokes dengan adanya set-up yang menarik, lalu memberikan sebuah punch line yang memberikan rasa mengejutkan sehingga dapat menyinggung masyarakat. Bahkan, Ia menggunakan gaya humor seperti itu untuk menarik perhatian dari masyarakat. Sehingga ia sudah mendapatkan kritik dari masyarakat dan ada yang memberi julukan kepada ia menjadi: “Musuh Masyarakat.”
ADVERTISEMENT
Penikmat dark jokes ini dapat dikatakan sebagai orang yang tidak bermoral bagi masyarakat konservatif. Menggunakan unsur SARA sebagai bahan lelucon memang memiliki konotasi yang negatif, bahkan dapat membangkitkan amarah dari kelompok masyarakat. Memang benar adanya “tertawalah sebelum tertawa itu dilarang” slogan ini dapat menggambarkan dengan baik nasib yang akan mendatang. Masyarakat sudah mulai kehilangan arah dalam membedakan hal yang dalam konteks serius dan bercanda. Saat ini, masyarakat sudah terlalu kritis sehingga selalu mengaitkan dengan nilai kemanusiaan dan nilai agama.
Mungkin bagi beberapa dari kalian yang kurang mengerti dari dark jokes ini akan merasa pesan yang disampaikan terasa aneh atau sudah melewati batas. Dark jokes ini digunakan untuk melawan status quo yang diterapkan dalam kehidupan manusia. Akan tetapi, berdasarkan penelitian dari Medical University of Vienna (2017) yang dimuat dalam jurnal yang berjudul: “Cognitive and emotional demands of black humour processing: the role of intelligence, aggressiveness, and mood", yang isinya menguji IQ secara verbal maupun non-verbal yang dapat membuat sensei agresi dalam menoleransi sebuah dark jokes. Penelitian juga dilakukan oleh Ulrike Willinger dalam karyanya yang berjudul: “The Black Book” Berdasarkan hasil penelitian tersebut, membutuhkan pendidikan tinggi untuk mengerti dan mengetahui isi dari sebuah dark jokes. Dengan maksud lain, membutuhkan IQ tinggi dalam mencermati dari sebuah dark jokes.
ADVERTISEMENT
Jika diperhatikan baik-baik, tidak semuanya penggunaan dark jokes memiliki konotasi yang negatif. Saya belajar banyak dari seorang stand-up comedian, yakni Dani Aditya. Dani Aditya, seorang stand-up comedian difabel, ia mampu memberikan lelucon-lelucon yang berisikan tentang keresahan ia menjadi seorang orang difabel. Ia mengemas materi dengan unsur-unsur dark jokes, akan tetapi ia juga berusaha memberikan pesan kepada masyarakat agar tetaplah memandang orang difabel itu sama seperti manusia lainnya. Menurut ia, menjadi difabel tidak semuanya harus dikasihani. Mereka juga ingin berusaha keras sama seperti manusia lainnya.
Saya melihat gaya berkomedi dari seorang Dani Aditya, memang ia sungguh sudah menerima dirinya apa adanya. Ia berusaha menceritakan keluh kesah dia dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang terkadang bagi beberapa orang dapat menyinggung perasaan. Akan tetapi, saya belajar bahwa dark jokes bisa mempengaruhi seseorang untuk menerima kekurangannya. Tidak semua orang dapat menerima kekurangan yang terdapat di dalam dirinya masing-masing.
ADVERTISEMENT
Sebuah peneliti dari Brunel University London pernah membuktikan hal ini dalam sebuah penelitiannya yang berjudul “From comedy targets to comedy-makers: Disability and comedy in live performance”, salah satu kutipannya berbunyi: “Meskipun bukan proses yang mudah, komedi stand-up oleh komedian difabel berpotensi menjadi media kuat untuk menentang norma-norma hegemonik seputar disabilitas.” ujar Sharon Lockyer, peneliti dari Brunel University London.
Kemudian, terdapat juga seorang youtuber yang bernama Niko Junius. Ia merupakan seorang konten kreator asal Jakarta. Ia dikenal sebagai konten kreator yang memiliki difabel, yakni sumbing. Menurut ia, kekurangannya tersebut sudah menjadi kekuatan untuk menghibur orang di sekitarnya. Kemudian, ia juga memiliki impian untuk membentuk sebuah band yang berisikan orang difabel. Disisi lain, ia juga memiliki sebuah kelebihan dalam bernyanyi. Memiliki suara unik dari kekurangannya yang ia miliki menjadi sebuah nilai lebih. Sehingga, ia bisa terkenal tidak hanya dari kekurangannya, akan tetapi dari kelebihannya juga.
ADVERTISEMENT
Jika kalian amati baik-baik, sebenarnya penggunaan dark jokes sudah menjadi habitat alami kita. Dalam kehidupan sehari-hari, kita melihat bahwa orang-orang di sekitar memberikan sebuah lelucon secara verbal maupun non-verbal dengan kekurangan yang ada di dalam masyarakat, bahkan menyudutkan suatu kelompok dan agama. Bahkan, dari sejak dini saja, kita sudah mengimplementasikan dari dark jokes. Tidak semuanya dark jokes memiliki konotasi yang negatif, semuanya tergantung bagaimana kita bisa menakar diri dalam menerima lelucon tersebut. Sebuah peneliti menganggap dark jokes memaksa kita untuk melihat kekurangan dari sebuah perspektif baru untuk memahaminya.
“Ketika waktu yang cukup berlalu untuk melunakkan ancaman suatu bencana, tetapi tidak begitu banyak sehingga kehilangan arti sepenuhnya, dark joke menjadi lebih lucu.” –Peter McGraw, peneliti dari Universitas Colorado.