Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Rasisme: Prasangka dan Stereotip Seseorang
30 Maret 2021 14:54 WIB
Tulisan dari Ivanodei tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Suatu hari saya berada di tempat parkir dan beberapa anak berteriak agar saya kembali ke China. Saya dari Korea.” ungkap cho. Kyung Cho merupakan korban dari tindak perilaku rasis di Atlanta, Amerika Serikat. Inilah sebuah bukti dari rasisme yang menjadi keresahan masyarakat saat ini. Seakan-akan rasisme menjadi suatu permasalahan yang tidak ada penyelesaian. Sehingga isu ini terjadi begitu saja dan mampu memberikan efek yang buruk bagi individu maupun kelompok.
ADVERTISEMENT
Rasisme terjadi karena adanya kefanatikan terhadap sebuah kebudayaan dan prasangka seseorang terhadap individu maupun kelompok. Kefanatikan merupakan penghukuman dari penampilan dan tradisi tanpa memeriksa adanya dampak positif dari ras tersebut. Biasanya bentuk dari kefanatikan, seperti: menjelek-jelekkan suatu ras, menilai dari sisi negatif dari apa yang mereka pakai. Kalau dianalogikan memang seperti jarum dan menusuk hati seseorang, memang sungguh menyakitkan. Mestinya jangan menilai seseorang dari luarnya saja, harus objektif. Bertemu terlebih dahulu secara tatap muka, lalu bisa menilai dari aspek sifatnya atau gaya pembicaraannya.
Dr. Michael Eric Dyson, peneliti dari Universitas DePaul sekaligus penulis dan pendeta, sudah lama melakukan penelitian terhadap isu ini. “Kefanatikan dan pembantaian suku, serta prasangka rasial dan ketidakmampuan mengakui asa kemanusiaan lain muncul dalam cara yang keji dan mematikan” ungkap Dr. Dyson. Membenci sebuah kebudayaan lain, orang lain, ras lain, bahkan suku lain, sungguh dapat merusak struktur moral sosial.
ADVERTISEMENT
Secara historis, bentuk prasangka sudah membentuk awal kehidupan manusia. Memang abad itu terbukti sebagai momen yang paling mengerikan dan sungguh menakutkan bagi orang-orang yang telah hidup di abad itu. Perang Dunia II menjadi bukti adanya prasangka di awal kehidupan manusia. Hitler telah memusnahkan enam juta kaum Homoseksual, kaum Yahudi, kaum Gipsi, dan Cacat. Selain itu, suku Indian di musnahkan oleh kolonial kulit putih. Musnahkan nya bisa dalam bentuk larangan penggunaan bahasa dan tradisi mereka. Sungguh, ini membentuk luka yang dalam, sehingga luka tersebut berubah menjadi dendam.
Di Amerika Serikat, perbudakan menjadi salah satu bentuk adanya strata sosial atau bentuk rasial di awal abad ke-18. Perbudakan merupakan upaya satu kelompok untuk menguasai kelompok lainnya sepenuhnya, sehingga tidak hanya fisiknya saja, akan tetapi akal dan budinya pun dikuasai. Jika melanggar peraturan, maka dilakukan hukuman mati tanpa adanya peradilan. Berdasarkan data, pada tahun 1862 hingga tahun 1864 terdapat 5000 orang yang menjadi hukuman mati tanpa peradilan. Berdasarkan kesaksian dari orang yang pernah hidup di zaman itu, memang sangat mengerikan sekali. Kehidupan di masa itu, seperti neraka di dunia nyata. Begitu mudahnya nyawa orang yang tidak bersalah melayang.
ADVERTISEMENT
Film “Trading Place’ menjadi bukti adanya prasangka negatif dari stereotip masyarakat terhadap suatu kaum. Menyajikan humor yang aneh dan menyudutkan suatu kaum masyarakat sehingga memberikan asumsi yang negatif atau berdasarkan stereotip rasial. Di dalam kehidupan nyata, anak-anak sering menjadi korban dari adanya prasangka rasial. Biasanya berbentuk intimidasi dan penghinaan secara halus oleh teman sebaya mereka, bahkan di sekolah sering terjadi perbedaan guru dalam memperlakukan muridnya. Biasanya guru kulit putih akan lebih memilih untuk membantu murid yang memiliki warna kulit yang sama. Tentu saja, hal ini sungguh berbahaya.
Secara tidak sadar, prasangka sudah tertanam di dalam diri kita. Kita selalu mengasosiasikan warna putih sebagai yang baik dan warna hitam sebagai yang berlawanan. Hal ini terjadi karena adanya faktor lingkungan sekitar. Hal ini telah melakukan pembuktian dengan adanya data yang berisikan sebanyak 17% penduduk Amerika menyukai kaum Afrika-Amerika, selain itu sebanyak 48% kaum Afrika-Amerika menyukai kaumnya sendiri atau dapat dikatakan bangga dengan kebudayaannya sendiri. Kaum Afrika-Amerika mengatakan bahwa ini merupakan penghargaan diri yang sehat, namun bagi kaum kulit putih ini merupakan hal yang memalukan.
ADVERTISEMENT
Kenneth Clark, seorang psikolog telah meneliti fenomena ini pada tahun 1949. Ia melakukan percobaan kepada anak-anak kaum Afrika-Amerika dengan memilih dua boneka yang berkulit hitam dan berkulit putih. Namun, hasilnya sungguh mengejutkan. Berdasarkan hasilnya, kebanyakan anak-anak kaum Afrika-Amerika lebih menyukai boneka yang berkulit putih dibandingkan dengan boneka yang berkulit hitam. Bahkan setelah ada Civil Rights, Affirmative Action, dan Black Power tidak menunjukkan adanya perubahan yang begitu signifikan.
Dr. Jones dan Schofield bilang menyembunyikan prasangka tidak berarti anak itu akan berubah menjadi pembenci bangsa lain yang diskriminatif, tapi itu bukan harus diabaikan. Prasangka ini bisa dihilangkan dari anak-anak dengan mempengaruhi teman yang mereka pilih, siapa yang dihindari, bagaimana mereka memperlakukan tetangga atau orang asing. Itu bisa menciptakan kekeliruan yang bisa menjerumuskan ke konflik besar.
ADVERTISEMENT
Prasangka dan stereotip mempengaruhi jalan pikiran seseorang dalam melakukan penilaian. Biasanya penilaian seseorang dipengaruhi oleh lingkungan sekitar, sehingga penilaian tersebut masuk ke dalam bentuk yang negatif. Kebencian terhadap suatu kelompok atau kefanatikan menjadi suatu hal yang tidak bisa lepas dari dunia ini. Seakan-akan, di dunia ini yang paling keren adalah budaya mereka. Namun, jika ingin begitu jangan merendahkan kebudayaan lain atau bahkan jangan rasis terhadap individu maupun kelompok. Apakah di masa yang akan datang, isu ini akan kembali terjadi?