Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Madu yang Menganak Sungai di Pundak Ayah (1)
24 Maret 2021 15:03 WIB
Tulisan dari Halomoan Sirait tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Lelaki tua itu tersenyap, terhenyak dengan tali rotan yang ia genggam erat erat. Matanya terbelalak sementara napasnya tersengal. Ia mengeratkan pegangannya lebih kencang daripada biasanya, berpikir untuk melakukan hal yang harus ia perbuat. Tanpa ia sadari, ia gagal dan terhempas dari pohon setinggi 30 meter.
ADVERTISEMENT
Seketika melarutnya malam, kami berempat berada di dapur dan mendengarkan bunyi buah apel terjatuh dari mangkuknya. Ibu, Yusuf dan kakek. Firasat itu datang tanpa dijemput, apalagi diminta. Ayah tak kunjung pulang dari perburuannya mencari madu lebah. Ibu cemas dan menitipkanku kepada kakek di dekat teratak perapian. Ibu mencoba menelepon telepon seluler milik ayah dan tidak ada sambungan sama sekali. Sudah malam ketiga, ayah tak kunjung pulang.
Di dapur kakek mendudukkanku dan memberikanku ayat suci yang menyejukan. Sesekali ia mengajakku berbicara tentang apa yang kulakukan hari ini. Namaku Yusuf, berusia tujuh tahun, berkulit putih dari ras Persia Balkan, dan sering sakit-sakitan. Kakek menanyakan tentang sistem sekolahku yang tidak kusukai. Nilai rapotku sangatlah buruk, tidak pernah mencapai angka enam puluh lima.
ADVERTISEMENT
Beberapa teman sekolah meledekku, terutama pada tampilanku dengan tas biruku yang berbentuk kotak persegi. Walaupun begitu, aku tak terlalu memedulikannya. Yang kupedulikan adalah perjalanan menuju ke sekolah yang kuhadapi dengan berjalan kaki. Di sana aku ditemani ayah sesekali.
“Yusuf…” ujar ayah kepadaku yang meminta untuk diambilkan asap pengepul lebah.
Di sana kami mendapatkan madu dari tumpahannya. Bagaimana mendapatkan madu itu, ayah paling mengetahuinya. Aku tidak terlalu menggubris pekerjaan ayahku dan menjadikan pencari madu adalah mata pencaharian utamanya. Aku sendiri sangat takut kepada gigitan lebah, ayah sudah berulang kali mengalaminya, dan memperbaiki alat utama yang ia butuhkan, yakni tali rotan dan masker berjaring.
Di dalam gudang tempat madu dikumpulkan, aku membuat mainan yang terbuat dari kayu dan mencoba merakitnya sendiri. Kayu yang kurakit dengan alat penggerus menjadikanku mendapatkan mainan kayu berbentuk mobil dan kapal pesiar. Sesekali aku terbuncah dari lamunan seraya suara kakek menghardikku.
ADVERTISEMENT
“Hari sudah hujan, ceritamu menarik, tapi ayahmu tak kunjung pulang.”
“Sudah dihubungi?” tanya kakek kepada ibu sambil mempersiapkan makan malam.
Meski tidak berselera untuk mengadakan makan malam, ibu menggelengkan kepalanya pertanda ia tak mendapatkan informasi tentang ayah.
"Ia pergi ke pegunungan Andalusia seorang diri, ini tidak biasa karena ia selalu memberikan kabar bersama rombongan.” ujar ibu lesu.
Aku pun makan hidangan ibu dengan lahap. Selai apel dengan kentang tumbuk dan sedikit bubur gandum. Aku tak mengerti obrolan mereka meskipun aku sadar ayah tak ada dirumah. Beberapa hari kami selalu membicarakan ini, di dalam makan malam. Kakek tidak selamanya ada dirumah. Ia pergi ke pengajian muslim dan meninggalkan kami, tentu saat aku mulai siuman.
ADVERTISEMENT
Ibu pun demikian, setelah memetik daun teh di perkebunan nan hijau, ia menanyakan dengan penuh cemas. Tak jarang ia menangis dengan Bibi Simin, tetangga yang menanyakan kabar tentang ayah. Aku terpukul setiap kali menghadapi persoalan ini. Perasaanku begitu lugu, aku hanya melamun dan tak bersemangat seperti aku merakit kapal pesiar dan mobil kayuku.
Semua terasa campur aduk saat menunggu kabar tentang ayah. Dan pada saat aku terbangun dari ruang makan, ibu memindahkanku menuju tempat tidur, aku terbangun seketika dan menyaksikan tidak ada satu pun orang berada dirumah. Ruangan begitu gelap, pedesaan begitu dekat dengan rasa sepi, sampai semilir angin yang beku ikut melarutkanku dalam tangisan. Ayah ada di mana?
ADVERTISEMENT
***************
“Yusuf…” panggil ayah.
Itu suara ayah. Aku memastikan penglihatanku dan menghetikkan lamunanku.
“Yusuf..” ujar Pak Abbas di sekolah.
Aku sedikit terkaget ternyata itu bukan suara ayah, sementara aku tidak menyimak pelajaran di sekolah. Pak Abbas memanggil namaku dan meminta agar aku membacakan sepenggal kalimat di dalam buku pelajaran. Aku mengejanya perlahan, terbata bata dan begitu ternsedat. Seisi kelas menertawakanku. Sungguh, aku merasa malu saat diminta Pak Abbas membacakan penggalan kalimat yang ada di buku.
Di perjalanan pulang sekolah, aku selalu merasakan rasa malu itu. Tentu ada dua hal yang selalu kupikirkan. Satu hal tentang ketidaktahuanku membaca, dan kedua olok olokan teman. Aku lantas berlari menuju padang bebukitan, lepas dari kesepianku akan ketiadaan teman untuk bercerita mengenai kejadian yang ada di sekolah. Ayah mungkin pergi ke arah keramaian sambil menggandengkan tangannya di pesta rakyat.
ADVERTISEMENT
Aku terus berlari menuju perbukitan memakai seragam sekolah. Ramainya orang-orang tua, ras Balkan mengerubungi pesta rakyat yang ada di depan mataku. Aku pasti mendapatkan ayah di sini, sebagaimana aku tak lagi mendapatkan ayah di meja dapur, pikirku.
Aku melakukan hal yang serupa dengan apa yang dilakukan ayah, menari dan bergandengan tangan dengan warga sekitar sambil mendengarkan irama musik. Semua orang meluap dalam keadaan yang sangat bahagia. Aku ikut bahagia. Sangat bahagia. Walau aku tidak terlalu memikirkan untuk apa aku ada di sana. Pesta orang Balkan. Aku ingin membahagiakan ayah, dan ayah bisa bahagia dan bangga kepadaku.
Ia pernah membisikkan kata kata yang indah kepadaku, “Yusuf, suatu saat nanti kamu akan pergi keliling dunia bersamaku. Membawa ibu, dan kita akan mengikuti pesta rakyat di sana hingga larut malam.”
ADVERTISEMENT
Ayah sungguh membuatku takjub. Aku pernah memimpikan hal itu seraya membisikkan kata-kata kepadanya, “Ayah, semilir angin di sana akan sangat dingin, jika aku bosan aku akan membawa mainan mobil kayuku dan kapal pesiar kayu buatanku.”
Ayah berdecak kagum dengan kata kataku, "Ya, nak kita akan sampai larut malam di sini, melepas kecemasan dan kesedihan bersama warga sekitar. Madu yang kita buat tidak semanis itu lagi untuk menopang perekonomian kita. Pohon-pohon di sana mungkin tidak bersahabat, menjulang terlalu tinggi dan bias bias akan menjadi petaka bagi kita," ucap Ayah.
"Ayah janji akan mencari pekerjaan yang lebih layak agar kita saling memahami betapa rasa dan persahabatan di antara kita berdua lebih dari persahabatan itu bermula. Sejak lahir, kamu sering sakit-sakitan, dan badanmu sangatlah mungil. Beranjak dewasa aku tidak menginginkanmu untuk pergi ke sekolah, karena Pak Abbas bukan guru terbaik di sana dan kamu kehilangan kesempatan mengajak kakekmu untuk mengikuti pesta rakyat."
ADVERTISEMENT
Semilir angin dipebukitan akan membuatmu bersorak sorai, salju pertamamu pun juga demikian. Sekarang pulanglah dari pesta rakyat dan temani ibumu memetik teh serta menemaniku untuk mengebiri biri-biri. Jika aku tak pulang, mungkin aku terjatuh dari pohon saat mencari madu itu.
*************
Sirine mobil ambulans membahana sampai seluk pebukitan. Kedatangannya, membuat seluruh orang berpelukan menahan air mata. Sesampainya di depan rumah keluarga kecil yang malang itu, jenazah disambut dengan isak tangis. Tak tahan dengan sambutan yang sangat memilukan, Yusuf berlari dari rumah duka, menelusuri hutan sambil membawa mobil rotannya. Sesampainya di sana, suasana hutan sangatlah gelap karena petang telah berlalu. Ia melihat ke sekitar dan mencari pohon menjulang tempat ayah memanjat dan mencari madu selama ini. Disisirnya sungai sampai basah sepenggal celananya dan ia dapatkan pohon itu. Ia mendekat dan tertidur di sana sampai terlelap mengharapkan semilir angin yang dingin datang bersamanya dan salju pertamanya ada di dalam mimpi.
ADVERTISEMENT
Semarang, 2011