Konten dari Pengguna

SAM ke-46 dan Gonjang-Ganjing Laut Merah

Siswanto Rusdi
Direktur The National Maritime Institute (Namarin)
6 Agustus 2024 16:16 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Siswanto Rusdi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Orang-orang berjalan di pantai saat kapal kontainer melintasi Teluk Suez menuju Laut Merah sebelum memasuki Terusan Suez, di El Ain El Sokhna di Suez, timur Kairo, Mesir 24 April 2017. Foto: Amr Abdallah Dalsh/REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Orang-orang berjalan di pantai saat kapal kontainer melintasi Teluk Suez menuju Laut Merah sebelum memasuki Terusan Suez, di El Ain El Sokhna di Suez, timur Kairo, Mesir 24 April 2017. Foto: Amr Abdallah Dalsh/REUTERS
ADVERTISEMENT
Information Fusion Center atau IFC kembali menggelar event gacoannya, Shared Awareness Meeting (SAM) di Singapura beberapa waktu lalu dan saya berkesempatan menghadirinya secara langsung. Forum kali ini yang ke-46. SAM bisa diadakan beberapa kali dalam setahun oleh IFS makanya bisa dicapai angka segitu. Adapun IFC sendiri berada di bawah Angkatan Laut Singapura (RSN) dan didirikan pada 2009.
ADVERTISEMENT
Forum SAM diisi dengan berbagai presentasi yang berkaitan dengan situasi keamanan maritim di kawasan setelah itu disambung dengan networking sambil menyantap makanan ringan yang disediakan oleh panitia. Sejak krisis Timur Tengah mencuat sajian terkini terkait situasi keamanan maritim di Red Sea atau Laut Merah selalu dihadirkan dengan pembicara dari berbagai kalangan, baik sipil maupun militer/angkatan laut.
Tentu saja presentasi IFC juga tidak ketinggalan. Malah hal inilah yang membuat saya selalu mengupayakan untuk hadir dalam setiap perhelatan SAM mengingat sebagai negara tetangga Singapura telikan mereka amat sangat relevan buat kita.
Paparan situasi keamanan maritim di Laut Merah disampaikan oleh Jacques Riviere, pensiunan AL Prancis berpangkat laksamana muda (read admiral/RADM) yang kini bergabung di maskapai pelayaran Prancis CMA CGM sebagai kepala quality, safety, security and environment atau QSSE wilayah Asia Pasifik. Tampil tanpa slide, dia menyampaikan cerita menarik seputar suasana mencekam di perairan tersebut dan bagaimana kapal-kapal yang berada dalam jajaran armada perusahaannya relatif aman dari serangan kelompok Houthi.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, keberuntungan itu tidak terlepas dari pendekatan yang dilakukan oleh CMA CGM dalam menghadapi aktivitas dimaksud. Katanya, kelompok Houthi bukanlah kumpulan orang-orang yang tidak mengerti atas apa yang mereka lakukan; mereka smart. Terbukti, dalam menyasar targetnya, mereka melakukan riset yang mendalam menyangkut nama kapal, bendera kapal dan segala hal yang terkait terlebih dahulu dari berbagai sumber, termasuk memanfaatkan internet, dengan satu pertanyaan: apakah kapal memiliki kaitan dengan Israel – bisa mitra, pemasok barang, dan lain-lain.
Sependek yang penulis ketahui, mengetahui detail seperti di muka bukanlah pekerjaan yang mudah. Ia tersembunyi sangat dalam di labirin industri pelayaran yang amat tertutup. Lihatlah bagaimana, misalnya, sebuah kapal bisa saja dimiliki oleh warga negara Indonesia namun didaftarkan ke bendera asing.
ADVERTISEMENT
Lalu, kapal dioperasikan oleh perusahaan ship management dengan merekrut ABK dari berbagai negara serta mengangkut kargo milik pihak ketiga. Kendati demikian, tetap saja ada entitas komersial yang menawarkan jasa untuk melacak semua perintilan kapal tadi dan dibeli oleh konsumen walaupun akurasinya diragukan.
Kembali kepada penjelasan Jacques, amannya kapal-kapal CMA CGM dari hantaman peluru kendali karena hampir sebagian besar tidak memiliki koneksi kepada Israel, entah itu nama, kargo yang diangkut dan sebagainya. Kami mencoba memahami logika yang dipergunakan oleh kelompok Houthi jadi kami menghindari berbagai kaitan dengan negara itu sehingga kami cukup terhindar dari serangan rudal, ungkap Jacques Riviere. Boleh jadi strategi perusahaan yang berbasis di Marseille itu jitu namun, seperti diberitakan, tetap saja ada kapal yang terafiliasi dengannya dijadikan sasaran.
ADVERTISEMENT
Paparan berikutnya disampaikan oleh Capt. Lee Stuart, perwira AL AS atau US Navy (USN). Dalam catatannya, akibat aktivitas kelompok Houthi di Laut Merah dan perairan terkait telah mendorong penurunan trafik, umpamanya, Terusan Suez. Menurut Lee, selama periode 1 Januari-30 Juni 2024, kanal tersebut hanya dilewati 6.631 kapal, turun sekitar 48,2 persen disbanding periode yang sama pada 2023, yaitu sebanyak 12.810 kapal.
Sementara di Bab al Mandeb, biasa disingkat BAM, perairan yang menghubungkan Laut Merah dan Samudra India, arus kapal turun sebesar 48,9 persen dari 9,627 pada 2023 menjadi 4.941 pada 2024. Dari sisi revenue, penurunan yang terjadi lebih dalam lagi. Capt. Lee mengungkapkan, pendapatan operator terusan melorot 64,3 persen ke US$337,8 juta dari tahun lalu yang mencapai US$648 juta. Mengutip Osama Rabie, kepala otorita Terusan Suez, “Canal’s income decreased to $428 million in January (2024) compared to $804 million in the same period in the previous year.”
ADVERTISEMENT
Berbicara atas nama Naval Cooperation and Guidance for Shipping (NCAGS), unit di bawah USN, dan Joint Maritime Information Center atau JMIC, sebuah entitas yang menaungi AL dari berbagai negara dalam bidang information sharing, Lee Stuart menambahkan, pada awalnya, aktivitas kelompok Houthi ditujukan kepada berbagai kapal yang melintas di Laut Merah yang bisa saja dimiliki oleh perusahaan atau grup perusahaan, dioperasikan atau dicarter oleh yang pertama dan berlabuh di pelabuhan Israel.
Dari sini muncul fakta: porsi terbesar (29 persen) merupakan kapal yang memiliki koneksi langsung dengan Israel; 28 persen tidak memiliki koneksi langsung; 16 persen kapal AS; 7 persen kapal Inggris; 4 persen kapal dari berbagai kebangsaan dan terakhir, 16 persen, merupakan kapal yang berasal dari entitas yang sudah bubar.
ADVERTISEMENT
Last but not least, presentasi juga disajikan oleh Information Fusion Center (IFC) yang disampaikan oleh perwira penghubung internasional asal Australia, seorang anggota AL Australia atau Royal Australian Navy/RAN berpangkat lieutenant commander bernama Michael Booth. Yang menarik menurut saya dari paparannya adalah isu kecelakaan maritim atau maritime incident.
IFC mencatat, Filipina dan Indonesia merupakan dua lokasi yang membukukan kecelakaan maritim terbanyak, disusul oleh Malaysia. Baik Filipina dan Indonesia menyumbang masing-masing 66 kejadian dan 58 kejadian. Di sisi lain, Malaysia 27 insiden. Secara umum, selama Januari hingga Juni 2024, telah terjadi 302 kecelakaan maritim. Turun sekitar 43 persen dibanding periode yang sama di tahun lalu, sekira 528 kecelakaan.
Tipe kapal yang paling banyak mengalami kecelakaan adalah kapal ikan (44 persen), perahu kecil (12 persen), kapal penumpang (11 persen), kapal barang (10 persen) dan kapal jenis lainnya (23 persen). Penyebab utama kecelakaan terdiri dari cuaca buruk dan kerusakaan mesin/peralatan.
ADVERTISEMENT
IFC juga menemukan kapal terbalik (capsized) merupakan insiden terbanyak, sekitar 41 persen. Disusul tubrukan/tenggelam (collision/grounding), 14 persen, lepas tambatan (adrift), 14 persen, kapal ditahan, 12 persen, kebakaran, 10 persen, dan insiden lainnya 9 persen. Bila melihat secara langsung di Indonesia, apalagi belakangan ini, kecelakaan kapal memang sedang happening terutama yang melibatkan perahu pengangkut wisatawan. Menyedihkan.