Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Cerita dari Nakba (1948): Pembelaan Diri Berwajah Teror dari Gaza
12 April 2024 9:46 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Siti Sa'diyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Serangan bertubi-tubi Israel ke Gaza merupakan ancaman serius terhadap kemanusiaan. Melansir Andiyani (2024), lebih dari 30.000 rakyat palestina meregang nyawa akibat serangan tersebut sejak 7 oktober 2023 hingga akhir maret 2024. Serangan yang dilancarkan Israel merupakan pembunuhan massal ekstrem, bahkan menyasar anak-anak, lansia, dan perempuan sebagai target.
ADVERTISEMENT
Mengutip tidak langsung ungkapan Bassem Youssef dalam unggahan youtube kanal PoliticsJOE, bahwa dengan menuduh rakyat palestina sebagai teroris, dan anak-anak palestina adalah calon teroris, mereka seakan mendapatkan pembenaran untuk mengatakan bahwa serangan yang mereka lakukan merupakan bentuk pembelaan (04/04/2024).
Israel berupaya meyakinkan dunia, bahwa awal dari serangan tidak manusiawi tersebut adalah serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 yang menewaskan setidaknya 250 orang Israel dan 1.500 lainnya luka-luka. Hamas merupakan kelompok militan Palestina yang berkuasa di jalur Gaza. Kata Hamas sendiri berasal dari bahasa arab, yakni Harakah Al-Muqawamah Al-Islamiyah (حركة المقوّمة الإسلامية).
Hamas secara keseluruhan atau dalam beberapa kasus sayap militernya telah ditetapkan sebagai kelompok teroris oleh Barat dan Israel. Berbagai literatur menyebutkan tentang serangan Hamas ke Israel dan serangan balasannya, membangun narasi seolah Israel adalah korban yang membela diri.
ADVERTISEMENT
Faktanya, Perang antara Israel dan Gaza bukanlah peristiwa yang baru terjadi pada 7 Oktober 2023, melainkan didahului oleh penindasan secara sistematis Israel terhadap Palestina sejak paruh pertama abad ke-20. Saat itu, Cheim Weizmann, Presiden Pertama Israel, mengeklaim sebagian wilayah Palestina sebagai wilayah negara baru Israel. Klaim ini didukung oleh Deklarasi Balfour, pernyataan singkat yang menjadi dasar berdirinya negara Israel pada tahun 1917.
Nakba bagi Palestina
Pada tahun 1948, lebih dari 750.000 orang Palestina kehilangan tanahnya. ini adalah perampokan terang-terangan paling tidak tahu malu dalam sejarah. Peristiwa ini dikenal sebagai Nakba. Nakba (النكبة) berasal dari bahasa arab yang berarti bencana, musibah, atau malapetaka.
Edward Said, seorang ilmuwan kelahiran Yerusalem, membagikan pengalamannya dalam Nakba melalui kanal youtube Christopher Sykes (2014), tentang bagaimana dia dan keluarganya terusir dari tanah kelahirannya sendiri, tentang bagaimana ayahnya harus kehilangan paspor dengan melihatnya dirobek begitu saja. Merupakan logika yang cacat ketika Israel mencari pembenaran untuk membuat Palestina menderita berdasarkan penderitaan bangsa yahudi dalam holocaust.
ADVERTISEMENT
Apa yang diderita bangsa yahudi sebelumnya memang tidak dapat dibenarkan, pun tidak dapat dijadikan pembenaran untuk kekerasan yang menimpa bangsa lain. “you cannot continue to victimize somebody else, just because you yourself was a victim once, there has to be a limit” ungkap Said dalam wawancara yang diunggah oleh kanal YouTube Islam Channel (2023).
Nakba tidak benar-benar bermula pada 1948, melainkan didahului oleh proses yang cukup kompleks dua dekade sebelumnya. Pada tahun 1919, Inggris memfasilitasi bangsa Yahudi di Eropa untuk berbondong-bondong bermigrasi dan membangun tempat tinggal mereka di Palestina.
Antara tahun 1922-1935, populasi Yahudi meningkat tiga kali lipat, merebut teritori bangsa Arab-Palestina secara berkala. Ini memicu pemberontakan dari rakyat Palestina terhadap kolonialisme Inggris dan Zionis Yahudi (saat itu Israel belum berdiri sebagai negara modern).
ADVERTISEMENT
Pemberontakan tersebut ditumpas dengan cara kekerasan hingga tahun 1939. Lagi-lagi ditemukan kecacatan logika dalam hal ini. Meskipun Inggris memang peduli terhadap bangsa yahudi, menjanjikan negara yang bukan miliknya tetap tidak pantas dijadikan opsi bantuan.
Inggris vs Zionis Yahudi
Inggris nampaknya lebih tahu diri dengan berupaya membatasi migrasi Zionis Yahudi ke Palestina, tetapi ternyata upaya tersebut dipatahkan oleh lobi Zionis di London serta pernyataan perang Zionis terhadap Inggris pada 1944 karena mencoba menghalangi migrasi Yahudi yang terdampak holocaust ke Palestina.
Pada tahun 1946, Zionis Yahudi benar-benar melancarkan serangan yang menewaskan 91 orang rakyat Inggris. Inggris kemudian menyelesaikan kolonialisasinya di Palestina, menyerahkan urusan Zionis Yahudi-Palestina kepada PBB, yang secara tidak langsung menunjukkan pengaruh kekuatan Zionis Yahudi terhadap Barat.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1947, PBB membagi wilayah Palestina menjadi wilayah Arab (45%) dan Wilayah Yahudi (55%). Pembagian wilayah tersebut dilanjutkan dengan pengusiran dan pembersihan sistematis etnis arab dari Palestina yang dianggap sebagai ‘Tanah yang Dijanjikan’ bagi bangsa Yahudi.
Orientalisme bukan sekadar perspektif dalam kajian ilmiah
Orientalisme dijelaskan oleh Said sebagai kajian tentang timur-tengah berdasarkan sudut pandang barat. Terdapat dua objek utama dalam orientalisme, yakni arab dan islam. Orientalisme menjadi alat Barat dalam membenarkan teror yang dilakukannya terhadap etnis Arab dan Islam.
Palestina merupakan bukti nyata teror barat dan Israel melalui orientalisme. Fakta yang selalu dapat diterima akal sehat adalah bahwa apa yang dilakukan Barat dan Israel terhadap Arab, baik Palestina, Yaman, hingga Lebanon jauh lebih kejam daripada apa yang disebut teror. Moderasi dewasa ini tidak lain adalah konsep dengan substansi pro-Barat.
ADVERTISEMENT
Melalui perang Gaza-Israel, kita dapat melihat jelas bahwa kata timur tengah yang digunakan dalam kajian orientalisme sama sekali tidak merujuk pada wilayah gurun di bagian barat Asia, melainkan pada bangsa yang nenek moyangnya menguasai wilayah tersebut, yakni bangsa Arab. Definisi ini sebenarnya juga kurang sesuai, mengingat Israel juga memiliki sejarah ilmiah kental di kawasan timur tengah.
Intinya, orientalisme, bukannya menjadi kajian ilmiah, malah menjadi senjata untuk membela kepentingan Barat (dan Israel). Orientalisme membangun asumsi buruk dunia tentang etnis Arab sebagai bangsa yang terbelakang, tiran, dan patriarkis dan menciptakan pembenaran-pembenaran tentang kejahatan yang mereka lakukan di Timur Tengah.
Dengan demikian, orientalisme dalam bahasan ini bukan lagi sekadar lensa atau perspektif dalam kajian ilmiah, melainkan wujud keberlanjutan kolonialisasi Israel terhadap Palestina, juga kolonialisasi Barat terhadap Arab (dan Islam).
ADVERTISEMENT