Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Work From Home Menuju Hybrid Working pada Instansi Pemerintah
27 Juli 2022 16:04 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Siti Tunsiah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Konsep Work From Home
Sejak terjadinya pandemi Covid-19, masyarakat termasuk Aparatur Sipil Negara (ASN) diharuskan mematuhi protokol kesehatan, menerapkan pola hidup sehat dan menghindari stres. Menerapkan protokol kesehatan salah satunya dengan tidak berkumpulnya orang banyak dalam satu ruangan dan menjaga jarak. Hal ini berimplikasi pada pengaturan jadwal bekerja pegawai pemerintah/ ASN. Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 58 Tahun 2020 menginstruksikan bahwa instansi pemerintah diharuskan memberlakukan sistem kerja secara Work From Home (WFH). Istilah WFH sebenarnya bukanlah konsep yang baru dikenal pada saat pandemi terjadi, namun telah dikenalkan sejak tahun 2004, bahkan sudah dikenal pada tahun 1970-an.
ADVERTISEMENT
Istilah WFH muncul pada saat tulisan (Crosbie & Moore, 2004) yang mengartikan bahwa bekerja dari rumah berarti pekerjaan berbayar yang dilakukan terutama dari rumah (minimal 20 jam per minggu). Bekerja dari rumah akan memberikan waktu yang fleksibel bagi pekerja untuk memberikan keseimbangan hidup bagi karyawan. Disisi lain juga memberikan keuntungan bagi perusahaan.
Jika mengacu kepada pengertian tersebut, dan dikaitkan dengan waktu efektif PNS bekerja sesuai dengan Peraturan Badan Kepegawaian Negara Nomor 10 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penyusunan Kebutuhan Aparatur Sipil Negara, maka 20 jam dapat disejajarkan kurang lebih 4 (empat) hari waktu efektif bekerja. Dalam peraturan BKN tersebut, jumlah jam kerja formal per hari 5 Jam 30 menit dan per minggu yaitu 26 jam 30 menit.
ADVERTISEMENT
Permasalahan Bekerja dari Rumah
Sejak bulan Mei 2022, banyak instansi pemerintah memberlakukan kembali sistem kerja WFO. Pemberlakuan WFO dengan pertimbangan masih ditemui beberapa kendala pada saat pemberlakuan sistem WFH, misalnya mekanisme kerja dengan berbasis teknologi informasi masih belum dikuasai oleh semua pegawai, pembagian output dan target pekerjaan yang belum terukur, dan koordinasi sesama pegawai ataupun dengan atasan terbatas pada dunia maya. Selain itu standar kompetensi sumber daya manusia yang belum merata, misalnya masih ditemui PNS yang belum menguasai teknologi informasi sehingga pada saat bekerja dari rumah, pegawai merasa kesulitan.
Disisi lain penyiapan sarana dan prasarana yang disiapkan kantor misalnya untuk absensi kehadiran belum dapat mengukur kinerja yang telah dihasilkan. Selain itu mekanisme pengelolaan pekerjaan, beberapa sifatnya masih berbentuk hard file. Untuk itu bekerja dari rumah sangat memerlukan pertukaran data baik yang dilakukan antar pegawai maupun antara pegawai dengan atasannya sehingga diperlukan skema pengaturan yang sangat sistematis. Pertukaran data atau penyimpanan data dalam bentuk soft file ini sangat diperlukan ketika pegawai akan diberlakukan WFH.
ADVERTISEMENT
Bagi pegawai yang memiliki kemampuan literasi digitalnya kurang, atasan langsung harus tetap memberikan pekerjaan dan pegawai yang bersangkutan tetap harus melaporkan output kegiatan yang telah dilakukannya. Diperlukan adanya integritas atas diri pegawai masing-masing. Para pegawai memiliki tanggung jawab atas penyelesaian pekerjaan masing-masing dan melaporkan hasil pekerjaannya kepada atasannya, karena bekerja dari rumah harus diperlakukan sama seperti bekerja dari kantor.
Kebijakan Pendukung WFH
1. E-Government sebagai Infrastruktur Pendukung
Dengan arah sistem bekerja ASN menuju hybrid working, maka diperlukan infrastruktur yang berbasis online, baik berupa penyediaan data maupun bentuk layanan yang diberikan oleh instansi masing-masing. Pengolahan dan penyediaan data dilakukan baik untuk kepentingan stakeholders setiap instansi pemerintah maupun dalam rangka kepentingan internal organisasi. Kepentingan internal organisasi misalnya kaitannya dengan pelaksanaan WFH terdapat sistem perekaman absensi kehadiran yang dapat merekam tempat lokasi setiap pegawai, jam kehadiran, apa yang dilakukan serta output yang dihasilkan. Salah satu kebijakan yang telah dimiliki dan dijalankan oleh pemerintah terkait dengan sistem online yaitu e-government atau SPBE yang meliputi berbagai layanan. Untuk layanan yang dilakukan oleh pemerintah dan untuk pemerintah (G2G) yaitu dilakukan oleh instansi terdiri dari e-office, e-planning, e-budgeting, dan e-monev. Harapannya adanya kebijakan e-goverment ini membantu proses pengerjaan pekerjaan secara sistem sehingga dapat dikerjakan di mana saja.
ADVERTISEMENT
2. Sumber Daya Aparatur
Jumlah PNS per 31 Desember 2021 Badan Kepegawaian Negara (BKN) yang berstatus aktif sebanyak 3.995.634 orang. Jumlah ini memang masih didominasi oleh PNS yang berusia 51 s.d 60 Tahun sejumlah 1.519.986. Jumlah PNS yang terbanyak pada usia 51 s.d 60 tahun yang masuk dalam kategori baby boomer yang dalam kemandirian penggunaan teknologi masih harus dibantu oleh kalangan milenial atau generasi setelahnya. Namun demikian, survei Indeks Literasi Digital yang dikeluarkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika bahwa Indonesia berada di angka 3,49 dari sebelumnya 3,47 dengan skala 0-5. Angka ini menunjukkan kategori sedang dengan penilaian berdasarkan pada 4 (empat) pilar yaitu Digital Skill, Digital Ethics, Digital Safety, dan Digital Culture.
ADVERTISEMENT
Dari keempat pilar di atas, digital skill memperoleh nilai 3,44 yang berarti bahwa kemampuan digital masyarakat Indonesia berada pada kategori sedang . Untuk itu masih diperlukan peningkatan untuk digital skill. Dengan arah sistem kerja hybrid yang memungkinkan bekerja dapat dilakukan di mana saja termasuk di rumah, maka digital skill ini menjadi keniscayaan harus dipenuhi oleh semua masyarakat Indonesia termasuk pegawai pemerintah. Untuk itu diperlukan penguatan kemampuan pegawai dalam hal digital skill sehingga diharapkan mengurangi kesenjangan (gap) terkait dengan kemampuan digital.
3. Penilaian Kinerja PNS
Walaupun arah selanjutnya kemungkinan dapat diberlakukan sistem kerja hybrid working, namun kebijakan terkait dengan mekanisme penilaian kinerja tetap harus dilakukan secara terukur. Selama ini penilaian kinerja PNS menggunakan Sasaran Kerja Pegawai (SKP). SKP merupakan dokumen setiap pegawai yang disusun pada awal tahun dan dinilai akhir tahun, namun demikian SKP merupakan living document sehingga jika ada perubahan di pertengahan tahun, dapat dilakukan revisi. Pada tahun 2021 Menteri PAN dan RB telah mengeluarkan kebijakan terbaru mengenai Sistem Kinerja (SKP) yaitu Peraturan Menteri PAN dan RB Nomor Nomor 8.
ADVERTISEMENT
Pendekatan yang digunakan bukan lagi pendekatan proses tetapi sudah menggunakan hasil. Sehingga kaitannya dengan sistem kerja hybrid selanjutnya, maka pendekatan penilaian yang digunakan oleh atasan adalah penilaian terhadap hasil atau kinerja yang telah dihasilkan setiap pegawai. Dalam penilaian hasil kinerja ini tentunya harus dikaitkan dengan perjanjian kinerja unit kerjanya dan keterkaitan dengan visi dan misi organisasi. Dengan arah sistem kerja secara hybrid, maka atasan setiap pegawai dapat melakukan monitoring dan evaluasi secara berkala untuk pencapaian kinerja setiap pegawai. Dengan demikian kejelasan terkait dengan penilaian output atau kinerja dapat menggunakan kebijakan terkait dengan SKP.
Dengan demikian, hybrid working memerlukan kerja sama yang solid antara atasan dan bawahan. Bawahan harus senantiasa bekerja dengan penuh dedikasi dalam rangka pencapaian hasil kinerja individu yang akan berimplikasi kepada hasil kinerja organisasi. Sementara seorang atasan dapat melakukan monitoring dan evaluasi terhadap kinerja yang telah dilakukan bawahannya, maka dari itu sistem SKP yang dibuat saat ini berupa living document yang dapat diubah bila diperlukan. Perubahan dilakukan jika adanya peningkatan target atau adanya pemindahan unit kerja.
ADVERTISEMENT