Konten dari Pengguna

Ini Suka Dukanya Menikah Beda Agama

Skata
SKATA adalah sebuah inisiatif digital yang mendukung pemerintah Indonesia dalam membangun keluarga melalui perencanaan yang lebih baik. SKATA lahir tahun 2015 melalui kerjasama antara Johns Hopkins CCP dan BKKBN.
19 Mei 2022 9:56 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Skata tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ini Suka Dukanya Menikah Beda Agama
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
“Menikah beda agama itu tidak mudah, butuh berbesar hati untuk menerima perbedaan prinsip kita dan pasangan, juga rela melapangkan hati dari keluarga yang mencibir” Patricia, 35 tahun.
ADVERTISEMENT
Memulai komitmen dengan pasangan yang sudah tentu berbeda watak dengan kita, pasti tidak mudah. Tanpa ada perbedaan prinsip saja, kita perlu banyak berkompromi untuk bisa menjalani kehidupan sehari-hari tanpa konflik. Apalagi ada perbedaan prinsip alias beda agama, kompromi menjadi semakin besar dan penuh tantangan. Seperti kisah Patricia dan suaminya, Adam.
“Sebelum menikah, keadaan kita baik-baik saja..”
Saya (Patricia) adalah seorang Kristen Protestan dari lahir. Keluarga saya cukup universal, karena banyak saudara, om dan tante yang menikah berbeda agama. Jadi, kita besar dalam agama yang beragam. Saya ikut serta merayakan lebaran, dan keluarga non-muslim ikut datang kumpul bersama di hari Natal. Saya (dan keluarga) tidak pernah punya masalah dalam bertoleransi antar umat beragama, karenanya ketika saya bertemu dengan Adam (40 tahun) keluarga saya menerima dengan tangan terbuka.”
ADVERTISEMENT
“Ketika masih pacaran dengan Adam, saya sesekali bertemu dengan keluarganya. Mereka menyambut saya dengan baik, walau saya tahu mereka tak sepenuhnya menerima. Beberapa kali saya memergoki ayah atau ibunya, membisikkan sesuatu pada Adam untuk hati-hati dan jangan melangkah terlalu jauh. Dua tahun berlalu, sampai akhirnya Adam melamar saya dan inilah awal dari segala konflik.”
“Keluarga mulai menarik diri dan tampak sangat kecewa”
“Sangat kecewa!” begitu ujar ayah dan ibunya ketika Adam memutuskan untuk menikahi saya dan bukan cuma sekali mereka menasihati saya untuk mencari jalan yang lain meyakinkan bahwa Adam bukan jodoh saya. Namun, tekad bulat saya dengan Adam akhirnya berbuah pernikahan beda agama di tahun 2010 silam. Keluarga Adam tidak hadir, karena saya menikah di catatan sipil di Singapura. Kami memulai hidup yang baru di sana, dan benar adanya pernikahan beda agama ternyata tidak semudah itu.”
ADVERTISEMENT
“Konflik besar pertama, anak kita akan menganut agama apa?”
Ketika masih pacaran, kami sempat membahas hal ini dan sepakat jika anak kami perempuan, maka akan ikut agama saya dan apabila lelaki maka akan menjadi seorang Muslim. Kenyataannya, ketika Naureen lahir Adam berkehendak lain. Alasannya, karena kehamilan saya terbilang lemah saya divonis hanya bisa melahirkan sekali saja. Saya mengalah, karena sadar ia adalah kepala keluarga dan saya yakin ia mampu mengajarkan agama lebih baik dari saya.
"Sejak Naureen lahir, keluarga Adam melunak"
Entah karena Naureen akhirnya ikut dengan agama ayahnya, atau karena keluarga sudah tak lagi mempermasalahkan perbedaan, tapi sejak kehadirannya keluarga Adam mulai menerima saya. Kami mulai sering bertemu dan mereka sesekali berkunjung ke Singapura untuk menengok Naureen dan berbagi waktu dengan saya.
ADVERTISEMENT
“Dua hal penting yang saya pelajari dari pengalaman saya menikah beda agama..”
“Pertama, komunikasikan segala kemungkinan yang akan terjadi ketika akan (dan sudah) menikah. Mulai dari penerimaan keluarga, bagaimana kita berkomunikasi dengan mereka, bagaimana nilai keluarga yang akan kita jalankan nantinya, terutama saat ada kehadiran anak.
Semua ini, harus bisa sama-sama kita sepakati sebelum memutuskan untuk menikah, dan perlu ada konsekuensi jika salah satu tidak bisa menjalaninya. Dalam kasus saya, saya menerima dengan lapang dada ketika anak saya berbeda keyakinan dengan saya. Tapi, tak semua orang bisa menerima hal ini dan ini perlu menjadi pertimbangan yang matang.”
“Kedua, kita tak bisa membuat semua orang senang, terutama keluarga. Akan ada cibiran, penolakan, dan kekecewaan. Kita perlu pahami komitmen awal dengan pasangan dan berusaha untuk tetap di jalan dan fokus pada tujuan bersama. Saling menguatkan dengan pasangan adalah kunci untuk menjaga pernikahan beda keyakinan bisa tetap utuh.”
ADVERTISEMENT
“Saya masih belajar, saya yakin banyak perjalanan yang sama bahkan lebih sulit dari saya. Selama kita berpegang teguh dengan komitmen bersama pasangan, dan menjalankannya prosesnya bersama, harapannya segala rintangan akan menjadi lebih mudah.”
Photo created by wirestock - www.freepik.com