Konten dari Pengguna

Merasa 'Workaholic'? Ini Dampaknya pada Suami dan Anak

Skata
SKATA adalah sebuah inisiatif digital yang mendukung pemerintah Indonesia dalam membangun keluarga melalui perencanaan yang lebih baik. SKATA lahir tahun 2015 melalui kerjasama antara Johns Hopkins CCP dan BKKBN.
6 April 2022 9:08 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Skata tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Merasa 'Workaholic'? Ini Dampaknya pada Suami dan Anak
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
“Kecanggihan teknologi, godaan laptop dan ponsel yang yang seolah tak ingin dilepaskan, hingga makin tak jelasnya garis batas antara rumah dan kantor menjadi tantangan mereka yang hidup di zaman modern seperti saat ini,” ujar Deborah Hacker, seorang terapis di Boca Raton, AS. Kita yang mengalaminya mungkin tak sadar bahwa kecanduan kerja atau workaholic semacam itu ternyata bisa memicu masalah dalam hidup (bukan dalam karir), khususnya pada anak dan suami, juga untuk hubungan asmara para lajang.
ADVERTISEMENT
Kecanduan kerja tak ubahnya kecanduan alkohol
Ya, penelitian menunjukkan bahwa workaholic ternyata sangat mirip karakteristiknya dengan seorang alcoholic, hanya saja dalam bentuk berbeda. Dalam penelitian tahun 2001 tersebut, ditemukan fakta bahwa workaholic adalah suatu bentuk kecanduan dan obsessive compulsive disorder (OCD). OCD sendiri adalah suatu gangguan mental yang membuat penderitanya memiliki pikiran dan dorongan yang berulang, yang tak dapat dikendalikan.
Seperti apa sebenarnya ciri orang workaholic?
Workaholic dapat diartikan sebagai orang yang terobsesi dengan pekerjaannya, haus akan kekuasaan dan kontrol untuk mendapat pengakuan orang lain dan dianggap sukses. Dorongan ini tak lagi dapat dikendalikan dan bisa menggerogoti kondisi emosionalnya. Orang workaholic layaknya hidup dalam putaran roda hamster, lompat dari plan A ke plan B, punya tujuan atau target ambisius yang tak dapat diganggu gugat. Ia menganggap bahwa nilai dirinya ada di pekerjaannya.
ADVERTISEMENT
Dalam kondisi ini, tak ada yang lebih penting dari pekerjaannya, baik itu kesehatan, keluarga, bahkan suami.
Akibatnya, suaminya merasa diabaikan, terkucilkan, bahkan bersalah, membuat hubungan pernikahan maupun asmara semacam ini menjadi “hubungan semu”.
Bagi anak sang workaholic, kecanduan kerja bisa lebih parah dampaknya daripada kecanduan alkohol mengingat workaholic tidak terlihat seperti masalah. Yang terlihat oleh anak hanyalah “ayah/ibu sibuk bekerja”. Padahal, “cinta mati”nya pada karir membuatnya menarik diri dari pengasuhan anak.
Dalam laman Psychology Today bahkan disebutkan bahwa workaholic dapat mengubah kepribadian dan nilai/prinsip hidup seseorang, mengancam “rasa aman” dalam keluarga, hingga menyebabkan perceraian. Lambat laun, ia pun kehilangan integritasnya secara personal maupun profesional.
ADVERTISEMENT
Tapi, saya itu pekerja keras, bukan workaholic.
Bekerja keras beda dengan kecanduan kerja. Pekerja keras masih bisa meluangkan hati dan waktu untuk keluarga, teman, dan lingkungan sosialnya. Kalaupun ada pekerjaan yang membutuhkan waktu ekstra, maka ia akan mengatur waktunya hingga pekerjaan tersebut bisa selesai tanpa harus banyak mengorbankan keluarga maupun prioritas lain dalam hidupnya. Dan, seorang pekerja keras masih bisa memiliki “pagar” antara pekerjaan dan kehidupan pribadi.
Sementara itu, seorang workaholic tak sebijaksana ini dalam mengatur hidup dan pekerjaannya. Ia sangat terobsesi dengan performa kerjanya, menganggap dirinya penting, tak mau memiliki prestasi stagnan sehingga selalu meninggikan targetnya saat ia berhasil mencapai target sebelumnya. Dengan kondisi semacam ini, ia bisa makan, bicara, berjalan dengan cepat, dan cenderung memiliki jadwal yang kelewat padat.
ADVERTISEMENT
Meski tampak sempurna di luar, seorang workaholic lambat laun bisa mengalami kecemasan karena selalu ingin mengontrol semuanya dan terlalu perfeksionis untuk bisa mendelegasikan pekerjaannya ke orang lain. Gangguan tidur, serangan panik, dan depresi bisa menjadi dampaknya.
Kecemasan dan depresinya ini pun akan berdampak pada kesehatan mental anak dan suaminya, yang kelak dapat menjadi masalah saat anaknya dewasa. Tak heran, survei yang dilakukan oleh asosiasi pengacara keluarga di AS menunjukkan bahwa karir menduduki peringkat 4 penyebab perceraian di Amerika.
Lalu, bisakah workaholic disembuhkan?
Ada beberapa usaha yang bisa dilakukan jika ingin berhenti menjadi seorang workaholic menurut Bryan Robinson, psikoterapis jebolan University of North Carolina yang dulunya juga menderita kecanduan kerja, yaitu:
ADVERTISEMENT
Tak ada kata terlambat untuk mengevaluasi hubungan kita dengan pekerjaan dan keluarga. Jika belum tahu apa saja yang perlu dievaluasi, baca artikel Evaluasi Pernikahan, Memangnya Perlu?
ADVERTISEMENT
Photo created by lookstudio - www.freepik.com