Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Suami Maupun Istri Bisa Jadi Korban KDRT: Kasus Johnny Depp
13 Mei 2022 8:51 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Skata tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Masih ingat kapten Jack Sparrow di film Pirates of The Carribean? Johnny Depp, pemeran kapten tersebut kini sedang menjadi sorotan karena menuntut mantan istrinya, Amber Heard, yang juga aktris Hollywood, atas dugaan pencemaran nama baik. Amber menulis di koran Washington Post bahwa ia pernah menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) Johnny Depp saat mereka belum bercerai, sementara Johnny juga membuka fakta bahwa dirinya pun menjadi korban KDRT yang dilakukan istrinya.
ADVERTISEMENT
Saat artikel ini diturunkan, proses persidangan masih berlangsung. Artinya, publik belum tahu siapa yang benar karena hingga saat ini masing-masing pihak berkeras bahwa dirinyalah yang menjadi korban.
Dari berbagai video persidangan yang ditayangkan streaming di YouTube, Johnny Depp mengungkapkan bahwa mantan istrinya tersebut pernah melemparnya dengan gelas wine dan botol vodka hingga ujung jarinya terkena pecahan botol kaca hingga putus, maupun membanting pintu hingga mengenai kepalanya.
Amber Heard menyangkal dan memaparkan kronologi yang berbeda, bahkan juga mengaku pernah dilempar telepon di wajah hingga memar, yang menjadi salah satu penyebab perceraian mereka di tahun 2017.
Bagaimana bisa dua orang yang awalnya saling mencintai bisa saling menyiksa?
ADVERTISEMENT
Kalaupun kita di posisi yang sama, tentu kita tak akan menyangka bisa menyakiti atau pasangan tega menyakiti kita pada satu titik nanti. Wajar saja, karena penyebab seseorang melakukan kekerasan dalam rumah tangga tidaklah tiba-tiba, namun berkaitan dengan “sejarah” hidupnya juga pola pikir yang tertanam pada lingkungan sekitarnya.
Dikutip dari laman psikologi PsychCentral, ada beberapa kondisi yang meningkatkan kecenderungan seseorang untuk melakukan KDRT, yaitu:
Anak yang menyaksikan ayahnya menyakiti ibunya (atau sebaliknya) dapat mengalami dampak psikis jangka pendek, seperti tiba-tiba mengompol lagi saat balita, atau pada usia sekolah, ia bisa menarik diri dari pergaulan, merasa bersalah atas apa yang terjadi, dan memiliki harga diri yang rendah. Ia pun bisa melakukan apa yang ia lihat pada orang lain, juga melakukan hal berisiko (seks, drugs, tindak kriminal) saat remaja.
ADVERTISEMENT
Dampak jangka panjangnya, ia bisa mengulang kekerasan tersebut saat berkeluarga. Yang berbeda, anak laki-laki yang melihat KDRT bisa menjadi pelaku saat memiliki pasangan kelak, sementara anak perempuan di posisi yang sama saat kecil bisa menjadi korban saat dewasa.
Dalam kasus Johnny Depp, ia dan ayahnya pernah menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh ibunya saat kecil, dari lemparan asbak hingga kata-kata yang menyakitkan hati. Saat itu, ayahnya tidak pernah membalas perlakuan kasar istrinya sedikitpun. Ini pula yang menurut Johnny dilakukannya saat Amber Heard melakukan kekerasan padanya. Meskipun, kesaksian Amber menyatakan Johnny dalam beberapa waktu berbeda pernah melakukan kekerasan padanya di bawah pengaruh alkohol dan obat-obatan.
ADVERTISEMENT
Dapatkah kita mencegah agar tak jadi korban ataupun pelaku KDRT di kemudian hari?
Sebuah riset yang dimuat dalam laman American Psychology Association menunjukkan bahwa anak yang menyaksikan KDRT orang tuanya cenderung memiliki kesulitan untuk mengidentifikasi, mengekspresikan, dan mengelola emosinya. Padahal, anak belajar mengelola emosi lewat interaksi dengan orang tuanya. Pertanyaannya, bagaimana bisa anak belajar emosi dari orang tuanya sementara orang yang terlibat KDRT tentu mengalami kesulitan mengatur emosinya?
Karena itu, kita sebagai calon orang tua maupun yang sudah menjadi orang tua namun pernah mengalami atau menyaksikan KDRT saat kecil, perlu belajar cara mengelola emosi dengan baik. Tujuannya, agar kelak kita bisa menyampaikan emosi dengan baik tanpa harus melakukan kekerasan pada anak dan pasangan atau bisa mengambil sikap saat menjadi korban kekerasan.
ADVERTISEMENT
Tentu saja, melatih diri meregulasi emosi tidak mudah, apalagi jika lingkungan terdekat tempat kita tumbuh besar tak mampu menunjukkan cara yang tepat mengatur emosi.
Solusinya, kita bisa mulai belajar tentang emosi dan cara mengelolanya sehingga kita bisa memutus pola asuh toksik yang bisa berujung pada terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Jika bingung harus mulai dari mana, kita bisa mengikuti kelas gratis Berdamai dengan Diri yang disampaikan oleh Alzena Masykouri, M.Psi., Psikolog di www.demikita.id, portal edu-web pertama di Indonesia yang fokus pada pemberdayaan dan penguatan kapasitas calon pasangan dan keluarga.
Dalam kelas ini, peserta akan diajak untuk belajar mandiri lewat sejumlah video, slide, dan latihan sehingga bisa lebih mudah menguasai keterampilan mengelola emosi. Tertarik? Klik di sini untuk mulai mengikuti kelasnya.
ADVERTISEMENT
Foto diambil dari sini.