Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
Apa Sebenarnya Presidential Threshold itu?
12 Januari 2025 14:15 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Ahmad Fahmi Fadilah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam perbincangan politik Indonesia, istilah "presidential threshold" sering muncul, terutama menjelang pemilihan umum. Meskipun kerap disebut-sebut, banyak orang yang masih bingung dengan konsep ini. Apa sebenarnya presidential threshold? Mengapa ia menjadi perdebatan yang terus-menerus di ranah politik?
ADVERTISEMENT
Secara sederhana, presidential threshold adalah ambang batas minimum perolehan suara partai politik atau gabungan partai politik dalam pemilu legislatif yang diperlukan untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden dalam pemilu presiden. Ketentuan ini diatur dalam Undang-Undang Pemilu di Indonesia. Angka yang berlaku saat ini adalah 20% kursi di DPR atau 25% suara sah secara nasional. Di balik definisinya yang terkesan teknis, presidential threshold memiliki dampak besar terhadap dinamika politik nasional. Aturan ini menentukan siapa saja yang dapat ikut serta dalam kontestasi pemilu presiden, dan dengan demikian, memengaruhi kualitas demokrasi di Indonesia.
Konsep presidential threshold mulai diterapkan sejak reformasi politik tahun 1998. Dalam pemilu 2004, Indonesia mulai memilih presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat. Sebelumnya, presiden dipilih oleh MPR. Pada pemilu langsung ini, muncul kebutuhan untuk membatasi jumlah pasangan calon agar proses pemilihan lebih efisien dan tidak terlalu membingungkan bagi pemilih. Angka 20% kursi atau 25% suara ini dirancang untuk memastikan bahwa hanya kandidat yang memiliki dukungan signifikan dari partai politik yang dapat maju. Harapannya, calon-calon yang diusung memiliki legitimasi politik yang kuat sejak awal.
ADVERTISEMENT
Meski maksud awalnya baik, presidential threshold kerap menjadi sorotan dan menuai kritik dari berbagai pihak. Beberapa pihak menilai aturan ini menghambat pluralitas politik karena hanya partai besar atau koalisi yang dapat mengajukan calon presiden. Akibatnya, partai-partai kecil sering kali kehilangan kesempatan untuk berperan aktif dalam pencalonan. Padahal, keberagaman calon dapat mencerminkan aspirasi politik masyarakat yang lebih luas. Selain itu, untuk memenuhi ambang batas, partai-partai politik sering kali membentuk koalisi yang terkesan pragmatis. Koalisi ini tidak selalu didasarkan pada kesamaan visi atau program, melainkan semata-mata demi memenuhi persyaratan pencalonan. Kondisi ini dapat menghasilkan pemerintahan yang kurang solid karena koalisi terbentuk tanpa dasar ideologis yang kuat. Di sisi lain, kritik lain yang sering muncul adalah bahwa presidential threshold membatasi hak rakyat untuk memilih dari berbagai alternatif calon. Dalam demokrasi, semestinya rakyat diberikan lebih banyak pilihan, bukan justru dibatasi oleh persyaratan administratif.
ADVERTISEMENT
Aturan ini memengaruhi berbagai aspek dalam penyelenggaraan pemilu. Salah satunya adalah proses pembentukan koalisi. Partai-partai besar menjadi aktor utama yang menentukan calon, sementara partai kecil sering kali hanya menjadi pengikut. Di sisi lain, keberadaan threshold ini juga membuat pemilu cenderung didominasi oleh dua atau tiga pasangan calon, yang berarti pilihan rakyat menjadi lebih terbatas. Namun, ada juga yang berargumen bahwa threshold ini membantu menyederhanakan proses pemilu. Dengan jumlah calon yang tidak terlalu banyak, proses kampanye dan pemungutan suara menjadi lebih mudah dipahami oleh masyarakat. Selain itu, calon yang muncul cenderung lebih "teruji" karena telah melewati proses seleksi yang ketat di tingkat partai.
Pandangan terhadap presidential threshold sangat beragam. Beberapa ahli menyatakan bahwa aturan ini perlu dipertahankan untuk menjaga stabilitas politik. Dengan ambang batas yang tinggi, presiden terpilih diharapkan memiliki dukungan mayoritas yang kuat di parlemen, sehingga mempermudah proses pemerintahan. Namun, ada juga yang menganggap bahwa presidential threshold sebaiknya dihapus atau setidaknya diturunkan. Mereka berpendapat bahwa aturan ini justru menghambat demokrasi dan mempersempit ruang kompetisi politik. Bahkan, beberapa pihak telah mengajukan gugatan judicial review ke Mahkamah Konstitusi untuk mengubah atau membatalkan ketentuan ini. Sejauh ini, Mahkamah Konstitusi telah beberapa kali menerima gugatan terkait presidential threshold. Namun, hingga saat ini, aturan ini tetap dipertahankan. Mahkamah berpendapat bahwa threshold adalah bagian dari kebijakan hukum yang menjadi kewenangan legislatif untuk menentukan.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, perdebatan tidak berhenti. Para pengkritik terus menyuarakan bahwa aturan ini lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Mereka menekankan pentingnya membuka ruang bagi calon independen atau memperbolehkan partai kecil untuk ikut serta tanpa harus membentuk koalisi besar. Untuk menjawab polemik ini, ada beberapa opsi yang bisa dipertimbangkan. Salah satunya adalah menurunkan angka threshold, misalnya menjadi 10% atau bahkan lebih rendah. Dengan cara ini, lebih banyak partai atau calon yang dapat ikut serta, tanpa sepenuhnya menghilangkan mekanisme penyaringan. Selain itu, Indonesia juga bisa mempertimbangkan untuk memberikan ruang bagi calon independen. Hal ini dapat menjadi alternatif bagi masyarakat yang merasa tidak terwakili oleh partai politik yang ada.
Namun, baru-baru ini, Mahkamah Konstitusi membuat keputusan yang mengubah wajah politik Indonesia. Dalam putusan terbarunya, Mahkamah memutuskan untuk mencabut ketentuan presidential threshold. Keputusan ini menjadi angin segar bagi demokrasi Indonesia, terutama bagi mereka yang selama ini mengkritik pembatasan yang dianggap tidak adil. Dengan penghapusan presidential threshold, peluang bagi partai kecil dan calon independen menjadi lebih besar. Keputusan ini juga diharapkan dapat membuka ruang kompetisi yang lebih sehat dan memberikan lebih banyak pilihan bagi rakyat dalam menentukan pemimpin mereka.
ADVERTISEMENT
Presidential threshold, yang selama bertahun-tahun menjadi isu kontroversial, kini memasuki babak baru. Dengan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, Indonesia berpotensi menuju sistem pemilu yang lebih inklusif dan demokratis. Bagaimanapun juga, langkah ini menunjukkan bahwa suara rakyat dan aspirasi untuk demokrasi yang lebih baik tetap didengar dalam sistem hukum kita. Masa depan demokrasi Indonesia kini berada di tangan semua elemen bangsa, untuk memastikan bahwa perubahan ini benar-benar membawa manfaat bagi rakyat dan negara.