Konten dari Pengguna

Kenaikan PPN 12%: Solusi atau Musibah?

Ahmad Fahmi Fadilah
Mahasiswa Fakultas Syariah Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
23 Desember 2024 12:06 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Fahmi Fadilah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://cdn.pixabay.com/photo/2015/08/01/21/03/euro-870757_1280.jpg (ilustrasi perhitungan uang)
zoom-in-whitePerbesar
https://cdn.pixabay.com/photo/2015/08/01/21/03/euro-870757_1280.jpg (ilustrasi perhitungan uang)
ADVERTISEMENT
Awal tahun 2025 nanti, pemerintah resmi menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%. Kebijakan ini diambil sebagai langkah untuk meningkatkan pendapatan negara dan mendukung berbagai program pembangunan. Namun, keputusan ini memicu beragam tanggapan dari masyarakat dan pelaku usaha yang khawatir dengan dampaknya pada daya beli serta kestabilan ekonomi.
ADVERTISEMENT
Kenaikan PPN ini sebenarnya sudah direncanakan sejak revisi Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang disahkan pada 2021. Pemerintah berpendapat bahwa peningkatan tarif ini diperlukan untuk menyeimbangkan kebutuhan anggaran negara yang semakin besar. Selama beberapa tahun terakhir, defisit anggaran menjadi tantangan akibat pandemi COVID-19 yang memaksa pemerintah meningkatkan belanja untuk sektor kesehatan dan bantuan sosial.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mengatakan bahwa kenaikan ini diharapkan mampu meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak tanpa terlalu bergantung pada utang luar negeri. “Tarif PPN 12% masih dalam batas wajar dibandingkan negara lain di Asia Tenggara yang rata-rata mematok PPN di angka 10%-15%” ujarnya.
Kebijakan ini berdampak langsung pada masyarakat, khususnya kelompok menengah ke bawah. PPN merupakan pajak yang dibebankan pada konsumsi barang dan jasa, sehingga kenaikan tarif ini otomatis meningkatkan harga. Dampaknya terutama terasa pada barang kebutuhan pokok yang tidak termasuk dalam daftar pengecualian PPN.
ADVERTISEMENT
Harga sembako naik, listrik juga lebih mahal. Beban hidup makin berat” keluh Ratna, seorang ibu rumah tangga di Jakarta. Kondisi ini memunculkan kekhawatiran bahwa daya beli masyarakat akan melemah dan pertumbuhan ekonomi bisa melambat. Namun, pemerintah menegaskan bahwa barang kebutuhan pokok, layanan pendidikan, dan layanan kesehatan tetap bebas dari PPN untuk melindungi masyarakat rentan. Program bantuan sosial seperti Kartu Prakerja dan subsidi pangan juga terus digulirkan untuk mengurangi dampak kenaikan ini.
Di sisi lain, kenaikan PPN ini menjadi tantangan bagi pelaku usaha. Usaha kecil dan menengah (UMKM) khawatir bahwa kenaikan harga jual akibat tarif PPN yang lebih tinggi akan menurunkan minat konsumen. Selain itu, biaya operasional juga meningkat karena harga bahan baku yang naik. “Kenaikan PPN 12% bikin kami harus menyesuaikan harga. Tapi, kami juga harus hati-hati agar pelanggan tidak kabur” ujar Syarif, pengusaha tekstil di Bandung.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, pelaku usaha besar menilai kebijakan ini lebih netral. Mereka melihat bahwa stabilitas fiskal yang dihasilkan dari kenaikan PPN akan mendukung iklim usaha yang lebih kondusif. “Kalau dana dari kenaikan PPN ini dikelola untuk pembangunan infrastruktur dan pendidikan, dampaknya akan positif dalam jangka panjang” kata Arifin, seorang eksekutif di perusahaan multinasional.
Untuk meminimalkan dampak negatif kebijakan ini, pemerintah sudah menyiapkan beberapa langkah mitigasi. Salah satunya adalah memberikan insentif pajak untuk UMKM dan sektor strategis lainnya. Selain itu, pemerintah juga akan meningkatkan transparansi dan efisiensi dalam penggunaan dana dari penerimaan PPN.
Pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia, Faisal Basri, menyarankan agar pemerintah fokus pada reformasi pajak secara menyeluruh. “Kenaikan tarif PPN harus diimbangi dengan pengawasan ketat terhadap praktik penghindaran pajak dan meningkatkan kepatuhan wajib pajak” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Kenaikan PPN menjadi 12% adalah langkah strategis pemerintah untuk meningkatkan pendapatan negara di tengah tantangan ekonomi global. Namun, kebijakan ini membawa konsekuensi yang signifikan bagi masyarakat dan dunia usaha. Oleh karena itu, kerja sama antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat sangat penting untuk memastikan kebijakan ini memberikan manfaat yang optimal tanpa mengorbankan kestabilan ekonomi. Sebagai warga negara, kita perlu memahami tujuan dan dampak dari setiap kebijakan yang diterapkan. Dengan begitu, kita dapat bersama-sama menghadapi tantangan yang ada dan mendukung pembangunan nasional secara berkelanjutan.