Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kenapa sih Koruptor di Indonesia Nggak di Hukum Mati seperti Negara Maju Lain?
24 Desember 2024 17:18 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Ahmad Fahmi Fadilah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Korupsi adalah salah satu permasalahan yang paling merusak di Indonesia. Sebagai tindakan yang menggerogoti fondasi negara, korupsi membawa dampak buruk pada kepercayaan publik, pembangunan ekonomi, dan keadilan sosial. Namun, meski banyak kasus korupsi besar yang melibatkan pejabat tinggi, hukuman yang dijatuhkan seringkali dianggap terlalu ringan oleh masyarakat. Salah satu pertanyaan yang sering diajukan adalah mengapa koruptor di Indonesia tidak dihukum mati seperti di beberapa negara lain. Jawabannya mencakup berbagai aspek yang saling berkaitan, mulai dari hukum, sosial, politik, hingga budaya.
ADVERTISEMENT
Sistem hukum di Indonesia pada dasarnya tidak secara jelas memberikan hukuman mati untuk kasus korupsi, kecuali dalam kondisi tertentu. Dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hukuman mati dapat dijatuhkan jika korupsi dilakukan dalam keadaan tertentu, seperti saat negara berada dalam keadaan krisis atau bencana. Namun, dalam praktiknya, klausul ini hampir tidak pernah diterapkan. Penafsiran tentang "keadaan tertentu" sering kali menjadi perdebatan, dan meskipun Indonesia pernah mengalami krisis ekonomi atau pandemi, penegak hukum jarang mengaitkan situasi tersebut dengan penggunaan pasal ini. Selain itu, penerapan hukuman mati di Indonesia sering kali dianggap bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia yang diatur dalam konstitusi dan berbagai perjanjian internasional yang telah diratifikasi.
Komitmen terhadap hak asasi manusia menjadi salah satu alasan utama mengapa hukuman mati tidak digunakan untuk kasus korupsi. Indonesia telah meratifikasi sejumlah konvensi internasional yang menentang hukuman mati, seperti Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Meskipun hukuman mati masih diterapkan untuk kasus tertentu seperti narkoba dan terorisme, tekanan internasional untuk mengurangi penggunaannya tetap kuat. Dalam konteks korupsi, banyak pihak berpendapat bahwa hukuman mati adalah tindakan yang tidak proporsional. Prinsip dasar hak asasi manusia menekankan bahwa setiap individu, termasuk koruptor, memiliki hak untuk hidup. Selain itu, korupsi sering kali dilakukan dalam kerangka yang kompleks sehingga hukuman mati tidak selalu efektif sebagai langkah pencegahan.
ADVERTISEMENT
Budaya politik dan sosial di Indonesia juga memengaruhi pandangan terhadap hukuman bagi koruptor. Dalam masyarakat yang masih mengutamakan nilai patronase dan budaya kekeluargaan, korupsi sering kali dianggap sebagai bagian dari sistem yang telah mengakar. Hal ini membuat masyarakat cenderung lebih toleran terhadap korupsi, terutama jika pelaku dianggap "berjasa" atau memiliki hubungan emosional dengan komunitas tertentu. Di sisi lain, pelaku korupsi yang memiliki kekuatan politik atau finansial sering kali mampu membangun opini publik yang mendukung keringanan hukuman mereka, baik melalui media maupun jaringan sosial.
Korupsi di Indonesia sering kali melibatkan pejabat tinggi dan elit politik. Sistem hukum yang sering dianggap "tumpul ke atas dan tajam ke bawah" membuat hukum cenderung lebih lunak terhadap mereka yang memiliki kekuasaan dan pengaruh. Kondisi ini menciptakan resistensi terhadap penerapan hukuman mati karena banyak pihak merasa langkah tersebut akan membuka kotak Pandora yang mengungkap lebih banyak kasus korupsi di kalangan elit. Dalam lingkungan di mana kekuasaan dan hukum sering kali beririsan, penerapan hukuman mati untuk koruptor menjadi sangat sulit.
ADVERTISEMENT
Selain itu, lemahnya sistem penegakan hukum di Indonesia menjadi tantangan besar. Proses hukum yang panjang, birokrasi yang rumit, dan adanya praktik suap dalam sistem peradilan sering kali membuat hukuman bagi koruptor menjadi ringan. Penegakan hukum yang tegas dan transparan merupakan prasyarat utama untuk menerapkan hukuman mati. Namun, masih banyak tantangan yang harus diatasi sebelum sistem hukum mampu menangani kasus korupsi secara adil dan efektif. Dalam situasi ini, hukuman mati mungkin dianggap sebagai langkah yang terlalu ekstrem dibandingkan dengan reformasi sistemik yang lebih mendesak.
Pendekatan restoratif juga mulai mendapatkan perhatian dalam penanganan kasus korupsi di Indonesia. Pendekatan ini menekankan pengembalian kerugian negara daripada sekadar menghukum pelaku. Misalnya, pelaku korupsi dapat diwajibkan untuk mengembalikan seluruh hasil korupsi beserta denda yang besar, selain menjalani hukuman penjara. Pendekatan ini dianggap lebih produktif karena fokus utamanya adalah memulihkan kerugian yang diderita oleh masyarakat dan negara. Namun, pendekatan ini juga memiliki kelemahan karena dapat memberi kesan bahwa pelaku korupsi dapat "membeli" kebebasan mereka dengan membayar denda.
ADVERTISEMENT
Efektivitas hukuman mati dalam mencegah korupsi juga menjadi perdebatan. Studi menunjukkan bahwa tingkat kejahatan tidak selalu berkurang dengan hukuman yang lebih berat. Pencegahan korupsi lebih efektif dilakukan melalui reformasi sistemik, seperti transparansi dalam pemerintahan, penguatan lembaga pengawasan, dan pendidikan antikorupsi. Negara-negara yang berhasil menekan tingkat korupsi, seperti Singapura dan negara-negara Skandinavia, lebih mengandalkan sistem hukum yang kuat, budaya antikorupsi, dan penegakan hukum yang konsisten daripada hukuman mati. Hal ini menunjukkan bahwa solusi terhadap korupsi membutuhkan pendekatan yang lebih holistik dan berkelanjutan.
Di sisi lain, hukuman mati untuk koruptor juga menimbulkan dilema moral dan etika. Banyak pihak berpendapat bahwa menghukum mati seseorang, meskipun mereka bersalah atas kejahatan besar, adalah tindakan yang tidak manusiawi. Pandangan agama yang menekankan pentingnya pengampunan dan kesempatan untuk bertobat sering kali memperkuat argumen ini. Dalam masyarakat yang pluralistik seperti Indonesia, penerapan hukuman mati untuk koruptor dapat memicu perdebatan yang panjang dan mendalam.
ADVERTISEMENT
Alasan mengapa koruptor di Indonesia tidak dihukum mati sangat kompleks dan melibatkan berbagai faktor hukum, sosial, politik, dan budaya. Meskipun hukuman mati mungkin tampak sebagai solusi yang sederhana dan tegas, tantangan sebenarnya adalah membangun sistem yang adil, transparan, dan efektif dalam mencegah serta menangani korupsi. Reformasi sistemik dan perubahan budaya politik menjadi langkah yang jauh lebih penting untuk memastikan bahwa kejahatan korupsi dapat diminimalisir dan keadilan dapat ditegakkan.