Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Perlunya Grand Strategy dalam Melawan Diabetes Nasional
15 Mei 2024 10:55 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Sofie Wasiat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Saat ini tengah viral di media sosial tentang curhatan para Gen-Z (mereka yang lahir Tahun 1997-2012) yang terkena diabetes pada usia muda akibat pola hidup/konsumsi yang tidak sehat. Baru-baru ini pun Kementerian Kesehatan merilis Survei Kesehatan Indonesia (SKI) Tahun 2023, di mana dilaporkan bahwa terdapat peningkatan prevalensi Diabetes dari 10,9% (Riskesdas, 2018) menjadi 11,7% (Tahun 2023), di mana proporsi diabetes tipe 2 yang sering kali terkait dengan gaya hidup tidak sehat seperti pola makan, gaya hidup kurang aktif, dan obesitas ditemukan lebih banyak dibandingkan dengan diabetes tipe 1.
ADVERTISEMENT
Menurut International Diabetes Federation (IDF), Indonesia menempati peringkat kelima negara dengan jumlah penyandang diabetes terbanyak di dunia yaitu sejumlah 19,5 juta orang pada Tahun 2022, dan diprediksi akan bertambah hingga 28,6 juta pada Tahun 2045 apabila tidak ditangani dengan baik. Banyaknya penyandang diabetes menjadi isu penting karena selain mengancam kesehatan, juga akan memengaruhi perekonomian di suatu negara. Perlu diketahui bahwa beban pembiayaan Diabetes di Indonesia mengalami kenaikan dari Tahun 2018 yaitu Rp 4,9 triliun menjadi Rp 6,4 Triliun pada Tahun 2022 (BPJS Kesehatan) dan akan meningkat hingga 10,22 triliun hingga Rp 23,59 triliun pada Tahun 2045 apabila tidak ditangani dengan baik (Kompas, 2023).
Fakta di Lapangan yang Berkontribusi Pada Peningkatan Diabetes Nasional
Untuk mengatasi tantangan diabetes di Indonesia, penting untuk mengetahui bagaimana kondisi di lapangan dapat berkontribusi pada peningkatan risiko diabetes. Berikut ini adalah fakta-fakta diperoleh dari beberapa sumber :
ADVERTISEMENT
• Konsumsi gula di Indonesia melebihi yang direkomendasikan Kemenkes (50 gram/hari), dengan rata-rata mencapai 160gram/hari (BPS, 2021)
• Survei Konsumsi Gula dan Karbohidrat Masyarakat Tahun 2023 menunjukkan bahwa masyarakat gemar menambah takaran gula pada makanan/minuman.
• Data dari Susenas 2021 menyimpulkan bahwa semakin kaya seseorang, semakin tinggi konsumsi gula mereka.
• Terdapat pertumbuhan penjualan Minuman Kekinian lebih dari 8500% di Indonesia (Grabfood, 2018)
• Minuman Berpemanis dalam Kemasan berkontribusi 23,7% dari konsumsi gula perkapita, sedangkan minuman Minuman Kekinian Boba berkontribusi 25% konsumsi gula perkapita (LPEM UI, 2023)
• Indonesia merupakan negara dengan nilai pasar Boba tertinggi di Asia Tenggara (Momentum Works, 2021)
• Mayoritas konsumsi minuman kekinian / boba mayoritas berasal dari kelas atas (Hasil Survei Jajak Pendapat, 2022)
ADVERTISEMENT
• Kurangnya aktivitas fisik seseorang, di mana proporsi diabetes umur 18-59 yang melakukan aktivitas fisik kurang 1,3x lebih tinggi dibandingkan yang melakukan aktivitas cukup (SKI, 2023).
• Hanya 27,14% dari total penduduk Indonesia yang aktif berolahraga (Susenas, 2021)
IDF menambahkan bahwa lebih dari 90% penyandang diabetes tipe 2 disebabkan oleh faktor sosial ekonomi, demografi, lingkungan, dan genetik. Sedangkan faktor utamanya meliputi urbanisasi, populasi yang menua, kurangnya aktivitas fisik, dan meningkatkan pravelensi obesitas. Oleh karenanya, dapat disimpulkan bahwa tingginya penyandang diabetes di Indonesia merupakan isu kompleks yang harus diawali dengan tumbuhnya kesadaran masyarakat dalam berpola hidup sehat, khususnya mengurangi konsumsi makanan/minuman mengandung gula.
Rencana Pengenaan Cukai MBDK Tidak Akan Banyak Berpengaruh Pada Konsumsi Gula Masyarakat
Beberapa tahun belakangan ini, Pemerintah telah merencanakan langkah serius dalam memerangi tingginya Diabetes, antara lain dengan cara menerapkan Pengenaan Cukai terhadap Minuman Berpemanis dalam Kemasan (MBDK). Di mana saat ini Pemerintah menargetkan Pengenaan Cukai MBDK sebesar Rp 4,39 triliun dalam Perpres No. 76 Tahun 2023 tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024. Tujuan dari pengenaan ini adalah untuk meningkatkan harga eceran produk MBDK dan diharapkan akan mengurangi tingkat konsumsinya.
ADVERTISEMENT
Beberapa studi elastisitas menunjukkan permintaan produk MBDK hanya akan berkurang seiring dengan naiknya harga, di samping itu perlu diketahui bahwa masih terdapat faktor sosio-ekonomi yang mempengaruhi tingkat konsumsi masyarakat. Salah satunya menurut data Susenas BPS 2021, diketahui bahwa semakin kaya seseorang maka semakin besar konsumsi gulanya. Sehingga, wajar apabila kenaikan harga tersebut tidak akan terlalu mempengaruhi kelompok menengah ke atas.
Apalagi saat ini terdapat pola konsumsi baru minuman kekinian (bubble tea/boba, es teh, es kopi susu, dll) yang tren di kalangan remaja dan dewasa dari kelompok masyarakat kelas atas (Survei Jajak Pendapat, 2022). Dan jenis-jenis minuman kekinian ini bukan MBDK sehingga tidak menjadi objek cukai MBDK. Tren konsumsi minuman kekinian tersebut memiliki kontribusi pada konsumsi gula perkapita yaitu 25%, lebih besar dibandingkan dengan konsumsi MBDK sejumlah 23,7% (LPEM UI, 2023). Oleh karenanya, hal ini menimbulkan perhatian khusus mengingat bahwa minuman kekinian jauh lebih tidak terjangkau namun memiliki kontribusi yang sama besarnya dengan MBDK.
ADVERTISEMENT
Berkurangnya tingkat konsumsi MBDK karena cukai, tidak lantas meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap akan pentingnya kesehatan. Bahkan, pengalihan menjadi mengkonsumsi minuman kekinian akan lebih berisiko karena tidak ada pengaturan label informasi kandungan minuman tersebut.
Perlunya Grand Strategy dalam Menurunkan Pravelensi Diabetes di Indonesia: Bukan Hanya Sekadar Mengenakan Cukai MBDK
Melihat bahwa PTM Diabetes Tipe 2 lebih banyak ditemukan pada usia produktif (SKI, 2023) tentu hal ini mempengaruhi pencapaian Bonus Demografi Indonesia Emas 2045. Apalagi menurut SKI (2023) diabetes menjadi salah satu penyumbang terbesar disabilitas selain hipertensi, serta penyebab utama kematian. Disabilitas dan kematian dini akibat PTM tentu berdampak finansial pada individu, keluarga, masyarakat, dan pemerintah, sebagaimana meningkatnya klaim BPJS Kesehatan saat ini.
ADVERTISEMENT
Diabetes yang disebabkan oleh berbagai faktor, memerlukan pendekatan yang lebih holistik dan integratif. Selama ini, program dan kebijakan yang dilakukan Pemerintah dinilai parsial dan belum berkelanjutan, seperti Kampanye Eyes on Diabetes Tahun 2016, Chatbot Tanya Gendis (sudah tidak beroperasi), Pelayanan Minimal Pengendalian Diabetes Melitus, Upaya Kesehatan berbasis Masyarakat, Program Pengelolaan Penyakit Kronis (Prolanis) oleh BPJS Kesehatan.
Banyak hal lain yang perlu dipertimbangkan untuk dilakukan apabila memang Pemerintah serius dalam mengatasi permasalahan ini, seperti menetapkan batas maksimal kandungan gula, peningkatan pengawasan, pembatasan iklan di media sosial/media massa, edukasi dan kampanye besar-besaran di masyarakat, pelabelan Nutri-Grade sebagaimana di Singapura atau Nutri-Score sebagaimana di Eropa berdasarkan jumlah kandungan gula untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan mendorong industri untuk mereformulasi produk agar masuk dalam kategori yang lebih sehat, dll. Hal ini tentu melibatkan pemangku kepentingan lain dari berbagai sektor, sehingga komitmen bersama dalam melakukan kolaborasi sangat diperlukan.
ADVERTISEMENT
Seluruh program tersebut dilakukan terpadu secara kolaboratif dalam suatu bentuk Grand Strategy yang terdiri dari pendekatan pencegahan dan penanganan diabetes. Kita dapat mencontoh best practice yang dilakukan oleh Pemerintah Singapura yang dikenal dengan deklarasi “War on Diabetes” sejak Tahun 2016.
Dalam rencana strategis tersebut, terdapat lima rekomendasi yang dijabarkan dengan rinci mengenai program atau langkah-langkah yang perlu dilakukan. Masyarakat juga dapat memantau perkembangan status dari program-program tersebut melalui https://www.moh.gov.sg/wodcj/,. Sebagai tambahan, Pemerintah Singapura tidak menerapkan cukai terhadap MBDK.
Kesimpulan
Tingginya pravelensi diabetes di Indonesia di samping disebabkan oleh konsumsi gula yang tinggi, juga disebabkan karena menerapkan pola hidup tidak sehat lainnya, untuk itu diperlukan program atau kebijakan yang lebih holistik dan berkesinambungan. Pengenaan cukai mungkin dapat mengurangi sedikit tingkat konsumsi MBDK, namun banyak kerugian lainnya dari sisi perekonomian dengan berkurangnya PPN dan PPH. Cukai MBDK juga diperkirakan tidak meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap apa yang dikonsumsinya. Oleh karenanya, sangat dimungkinkan masyarakat khususnya kelas menengah-atas (konsumen gula terbanyak) akan beralih untuk mengkonsumsi minuman kekinian karena MBDK dan minuman kekinian tersebut akan memiliki keterjangkauan yang tidak jauh berbeda.
ADVERTISEMENT
Langkah yang dapat dilakukan pemerintah adalah bukan hanya sekadar dengan pengenaan cukai MBDK akan tetapi dengan Langkah sebagai berikut :
ADVERTISEMENT