Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Sistem Pemilu Proporsional Tertutup Lebih Efisien, Namun dengan Syarat
8 Juni 2023 11:48 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Abd Malik Efendi, SH tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Catatan sejarah Republik Indonesia, dalam merumuskan aturan pemilu yang digunakan masih terkenang dua peraturan. Adapun dua peraturan tersebut yakni proporsional tertutup dan proporsional terbuka.
ADVERTISEMENT
Penerapan sistem proporsional tertutup pernah diaplikasikan pada tahun 1955, tahun 1971, tahun 1977, tahun 1982, tahun 1987, tahun 1992, tahun 1997, dan tahun 1999. Sedangkan untuk sistem terbuka diterapkan pasca-reformasi tahun 1998, hingga pemilu tahun 2004, tahun 2009, tahun 2014, dan tahun 2019.
Pilihan pada sistem proporsional tertutup kala itu, tidak bisa dilepaskan dari asal-usul atau suka duka dalam praktik peraturan pemilu-pemilu di masa Orde Baru.
Sistem yang diterapkan zaman itu dinilai telah mengerdilkan suara rakyat yang diwakilinya, dan lebih merepresentasikan suara elite parpol. Dari pengalaman pahit itulah, para pembentuk Undang-Undang di tahun 2003 mengubah arah kebijakannya menjadi sistem proporsional terbuka.
Seperti yang diketahui, dalam sistem proporsional tertutup, pemilih diyakinkan dengan hanya bisa memilih parpol saja. Pemilih juga tidak tahu dan tidak bisa memilih langsung siapa calon anggota legislatif (Caleg) yang terpilih dan bakal menjadi anggota dewan di DPR maupun di DPRD.
Caleg terpilih adalah mereka yang diajukan parpol berdasarkan nomor urut, misalnya parpol mendapatkan jatah dua kursi maka caleg terpilih adalah caleg dengan nomor urut 1 dan 2. Dalam sistem ini banyak yang mengkritisi "sama saja beli kucing dalam karung".
ADVERTISEMENT
Sementara, peraturan proporsional terbuka berjalan sebaliknya. Pemilih bebas memilih siapa caleg yang akan mewakilinya di DPR dan DPRD. Meskipun proporsional terbuka secara teori nampak lebih memperlihatkan nilai-nilai demokrasi karena meningkatkan peran serta pemilih, namun juga selalu menuai banyak kritikan baik dari tokoh agama, akademis dan praktisi khususnya bagian dalam pemilu legislatif.
Bahkan saya juga berpendapat bahwa dalam praktiknya, sistem terbuka yang kita kenal saat ini tidak menghasilkan sistem demokrasi yang diharapkan setelah reformasi 1998 dulu. Tetapi justru menciptakan suasana demokrasi yang pragmatis dan tidak sehat.
Hal itu tercipta akibat maraknya politik uang, keterikatan antar kandidat, dan penggunaan politik identitas dengan emosi yang membanjiri persepsi masing-masing partisipan tentang SARA, sehingga menyebabkan polarisasi masyarakat seperti yang terjadi pada pemilu sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Selain itu, untuk menghindari hadirnya oportunis politik atau caleg kutu loncat, sistem proporsional tertutup lebih efisien namun juga harus dilengkapi dengan syarat.
Seperti misalnya caleg harus sudah menjadi anggota partai dengan kurun waktu tertentu, paling tidak tiga tahun sebelum pendaftaran calon misalnya, atau dibuatkan regulasi di internal semua parpol yang pada intinya mencegah agar kejadian-kejadian yang sudah terjadi tidak terulang kembali.
Namun, bila akan dilakukan peninjauan sistem pemilu oleh pembentuk undang-undang, maka mestilah dilakukan secara terbuka dan akuntabel dengan terlebih dahulu merumuskan secara jelas tujuan-tujuan pemilu yang hendak dicapai.
Harus dipastikan bahwa pilihan atas sistem pemilu adalah koheren dengan sistem kepartaian, sistem perwakilan, dan sistem pemerintahan agar cita-cita demokrasi kita mampu terkonsolidasi kuat.
ADVERTISEMENT
Lagi pula, perubahan sistem pemilu yang mendekati agenda pemilu serta mendapat dukungan dari partai yang sedang berkuasa juga menjadikan indeks demokrasi kita kian menurun.
Terkait dengan pemilu 2024? Tentu saja, kondisi objektif saat ini jelas tidak mampu mengubah sistem pemilu, terutama dalam hal metode pemungutan suara, karena pihak penyelenggara sudah mulai melaksanakan.
Dalam hal ini, saya sependapat dengan salah satu peserta, aktivis dan konstituante Titi Anggraini yang juga sebagai ahli dalam perkara tindak lanjut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 terkait Pemilihan Umum (UU Pilkada) yang akan dilaksanakan pada Senin (15/5/2023) di ruang sidang pleno MK.
Karena tahapan pemilu sedang berlangsung dan memasuki fase-fase yang menentukan. Sebaiknya setiap pihak yang terlibat fokus mempersiapkan diri secara optimal untuk semua tahapan dan pencegahan serta antisipasi berbagai potensi masalah. Tentunya harus melihat dan mengevaluasi serta merefleksi penyelenggaraan pemilu serentak di tahun 2019 lalu.
Sistem pemilu dengan segala jenis dan karakteristiknya baik proposional tertutup atau terbuka merupakan kebijakan hukum yang terbuka bagi pembuat undang-undang. Artinya, pilihan legislator dalam memilih sistem pemilu yang lebih cocok, harus menyesuaikan dengan negara dan tujuan yang ingin dicapai dari sistem pemilu tersebut.
ADVERTISEMENT
Sistem proporsional terbuka dengan suara terbanyak maupun sistem tertutup, keduanya sangat bermanfaat sepanjang hal itu sesuai dengan keadaan dan tujuan yang ingin dicapai dari Undang-Undang Pemilu.
Jika hanya mengacu pada keselarasan hukum melalui putusan Nomor 22-24/PUU-VI/2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD berdasarkan suara terbanyak—dan Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pemilu dengan sistem proporsional terbuka lebih relevan karena telah memberikan kebebasan kepada rakyat untuk menentukan calon legislatif yang dipilih—itu juga tidak berdasar pada harapan demokrasi kita saat ini. Sebab kenyataannya demokrasi kita telah melahirkan demokrasi yang pragmatis seperti saat ini dengan metode sistem pemilu proporsional terbuka.
Oleh sebab itu, sistem yang menjadikan kegagalan kita dalam menggapai suasana demokrasi yang kuat dan sehat harus segera diubah. Sistem proporsional tertutup bisa kembali menjadi kepercayaan masyarakat namun dengan syarat.
ADVERTISEMENT
Syarat apa itu? Yaitu tidak hanya menjadikan parpol sebagai kendaraan dan merepresentasikan kepentingan elite parpol, tetapi juga harus menjadikannya sebagai alat perjuangan untuk menyalurkan suara rakyat yang sesungguhnya. Jadi perubahannya tidak hanya pada sistem pemilunya, namun juga syarat bagi para calon dan seluruh partai politik.