Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Urgensi Inovasi dan Penanganan Berkelanjutan untuk Antisipasi Banjir
25 Februari 2023 14:52 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Abd Malik Efendi, SH tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Musim hujan beberapa bulan terakhir ini nampaknya memberikan dampak serius bagi Kabupaten Banyuwangi. Kota yang terkenal dengan nama The Sunrise Of Java itu, belakangan ini sedang mendapat perhatian publik. Namun bukan lagi viral karena urusan destinasi wisata baru atau meningkatnya angka kunjungan wisatawan, melainkan hashtag #PrayForBanyuwangi. Pantas saja karena sejumlah wilayah di Kabupaten Banyuwangi belakangan ini sedang jadi jujugan banjir.
ADVERTISEMENT
Tentulah hal ini adalah masalah serius, dan memang seharusnya menjadi penanganan prioritas. Karena berkaitan dengan image Kabupaten Banyuwangi sebagai kota pariwisata merupakan pertimbangan yang besar dalam memulai inovasi baru untuk melakukan antisipasi dan penanganan banjir ke depan. Bagaimana jadinya jika sentral pariwisata dan peningkatan UMKM yang selama ini digalakkan oleh pemerintah setempat, tiba-tiba menjadi kawasan yang langganan banjir? Oleh sebab itu upaya-upaya yang akan dikerjakan oleh pemerintah Kabupaten Banyuwangi juga harus memperhatikan beberapa wilayah yang saat ini sudah solutif dari perkara banjir, meskipun beberapa di antaranya masih terus berjuang dengan inovasi-inovasi terbarunya.
Bicara banjir hari ini, adalah bicara soal sejarah mereka yang tinggal di kota-kota besar sekarang. Banjir bukanlah hal baru bagi mereka yang tinggal di kota-kota dengan populasi penduduk yang tinggi, bahkan ada juga yang hingga ribuan tahun baru bisa menyelesaikan persoalan banjir. Bisa dibayangkan betapa kompleksitasnya persoalan banjir, ada yang baru berjuang, ada yang sedang berjuang, ada pula yang ribuan tahun perjuangannya melawan kode alam bernama banjir ini.
ADVERTISEMENT
Kota Curitiba, Brasil
Mulai dari julukan kota kumuh, Macet dan banjir Hingga jadi kota hijau terbaik di dunia. Kota ini terletak di Brasil bagian tenggara, Ibu Kota dari Provinsi Parana. Di tahun 1970-an, ternyata bertahun-tahun sebelumnya kota ini juga mengalami permasalahan yang umum dalam kondisi negara berkembang. Mulai dari ledakan populasi penduduk, kemiskinan, kemacetan, sampah dan banjir.
Kemampuan analisis yang tajam terus dibangun dengan penuh komitmen bertahun-tahun lamanya oleh warga Curitiba Brasil, maka jangan heran jika Kota Curitiba telah menemukan kunci strategi untuk berbenah diri dalam keterpurukannya. Dengan berkomitmen dalam tiga sektor, yaitu berbenah dari sektor transportasi dan tata ruang, kedua berbenah dalam mekanisme pengelolaan sampah, dan yang ketiga adalah berbenah secara khusus dalam mengatasi banjir.
ADVERTISEMENT
Khusus dalam sektor penanganan banjir, Kota Curitiba memperbanyak Ruang Terbuka Hijau (RTH) pada tebing-tebing sepanjang aliran sungai sempadan. Sementara dalam penanganan sampahnya, Pemerintah Kota Curitiba melakukan metode pembelian sampah, penukaran sampah, pendidikan lingkungan hidup dan kampanye program “Semua Bersih” hingga di tingkat Rukun Tetangga (RT) yang bersifat partisipatif.
Kota Tokyo, Jepang
Negara Jepang mengatasi banjir dengan membangun gorong-gorong raksasa bawah tanah. Ide gila namun sangat cemerlang ini telah rampung pada tahun 2006 lalu, setelah 13 tahun proses pengerjaan hingga dikategorikan sebagai fasilitas pemecah banjir terbesar di dunia.
Fungsi gorong-gorong raksasa di Tokyo Jepang tersebut adalah dengan menyedot aliran sungai ukuran kecil dan menengah kemudian memindahkannya ke sungai yang lebih besar atau yang lebih bisa menampung secara volume airnya, sistem ini dikenal dengan Metropolitan Area Outer Underground Discharge Channel (MAOUDC), merupakan sistem terowongan atau gorong-gorong sepanjang 6,3 kilometer plus dilengkapi dengan fitur ruang-ruang silinder yang melindungi Kota Tokyo Utara dari serangan banjir.
ADVERTISEMENT
Tapi tunggu dulu, “tidak semudah itu, Ferguso!” dibalik keberhasilan jepang dalam mengatasi banjir, ternyata negeri matahari terbit tersebut sudah berabad-abad lamanya melawan banjir yang sering melandanya. Di sisi lain, memang adanya konflik internal Jepang juga mempengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintahan dalam penanggulangan banjir pada waktu itu. Tapi dapat kita simpulkan bahwa perkara banjir adalah bukan perkara ringan, selain butuh waktu juga butuh komitmen khusus untuk penanganannya agar benar-benar teratasi secara permanen.
Belanda
Negeri kincir angin hingga saat ini masih terus berinovasi dalam menangani banjir. Hampir bisa dibilang jika masyarakat Belanda sudah memang harus hidup berdampingan dengan banjir, bayangkan saja mulai sebelum tahun 1995 banjir besar melandanya, hingga saat ini pemerintah masih terus waspada dan sangat berhati-hati dalam mengantisipasi persoalan banjir, berbagai inovasi mereka ciptakan untuk menyelamatkan warganya dari serangan banjir.
ADVERTISEMENT
Letak geografis negara Belanda memang tidak jauh berbeda dengan kota Jakarta, selain berada di dataran rendah, kondisi wilayah rawan banjir di Belanda karena 2/3 wilayahnya berada di bawah permukaan air laut.
Jika dulu Belanda mendirikan tembok-tembok dan bendungan untuk melindungi pemukiman penduduk saat volume air meningkat, berbeda lagi pada tahun 2021 lalu. Pemerintah Belanda justru menciptakan inovasi yang sangat berputar tajam dari kebijakan-kebijakan sebelumnya, saat ini tembok dan bendungan tersebut justru mereka bongkar agar volume tampungan air hujan bisa mengalir ke pemukiman warga.
Pemerintah sadar, penanganan banjir yang terjadi di Belanda bukan lagi perkara mencari solusi dari satu akar masalah, namun perubahan iklim yang tidak menentu tidak bisa membuat mereka berbicara banyak. Sehingga pada saat proyek penanganan banjir yang terakhir kali ini dibuat, CNN mencatat jika masyarakat belanda yang bermukim di wilayah dekat aliran sungai rela kehilangan tanahnya dan menyerahkan ke pemerintah untuk dijadikan sebagai bendungan baru setelah tembok penahan air di bongkar. Proyek tersebut dikenal sebagai “Ruang Untuk Sungai” oleh pemerintah setempat, hingga kini masyarakat yang kehilangan beberapa lahannya sudah tidak lagi takut dengan basah, dan bendungan baru itu menjaga pemukiman mereka agar tetap kering.
ADVERTISEMENT
Dari tiga persoalan banjir yang melanda tiga negara di belahan dunia tersebut dapat diartikan jika letak geografis, perubahan iklim dan kultur masyarakat masih belum bisa menjawab apa yang sebenarnya menjadi titik persoalan tentang penanganan banjir. Kondisi kota yang terus melaju dengan signifikan menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah setempat. Bahkan hingga kini mereka yang sudah berpuluh-puluh tahun menghadapi persoalan banjir masih terus memutar otak dalam berinovasi untuk bisa mengendalikan alam dari sektor perairan tersebut.