Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Fenomenal dalam Sejarah Demokrasi Indonesia Menjelang Pemilu 2024
1 Februari 2024 6:22 WIB
Tulisan dari Bahtera Muhammad Persada tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Menjadi Polemik bagi dunia Politik Indonesia pasca Presiden ke-7 Bapak Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa presiden boleh berkampanye dengan syarat mengajukan cuti dan tidak menggunakan fasilitas negara. Dalam Pasal 299 ayat (1) UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden mempunyai hak melaksanakan Kampanye”.
Mengingat bahwasannya dalam membaca Pasal 299 ayat (1) UU 7/2017 haruslah dengan lengkap karena pasal tersebut berkaitan dengan pasal lainnya. Ketentuan ini pada intinya memberikan suatu kesempatan kepada Presiden sebagai petahana yang maju dalam pemilihan umum calon Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) untuk periode kedua.
ADVERTISEMENT
Namun permasalahannya, dalam Pemilu 2024 ini posisi Presiden Jokowi bukanlah sebagai kandidat Capres ataupun Cawapres, tetapi anaknya yakni Gibran Rakabuming Raka yang menjadi Cawapres berpasangan dengan Prabowo Subianto sebagai Capres. Sekalipun Presiden Jokowi ingin berkampanye, Presiden Jokowi juga harus mematuhi aturan yakni Pasal 280, 281, dan 282 UU No.7 Tahun 2017.
Khusus perihal pemilu, dalam UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu, beberapa ketentuannya menuntut presiden untuk menjaga netralitasnya. Contoh, Pasal 48 ayat (1) huruf b UU Pemilu diatur bahwa KPU melapor kepada DPR dan Presiden mengenai pelaksanaan tugas penyelenggaraan seluruh tahapan pemilu dan tugas lainnya. Selain itu, dalam Pasal 22 ayat (1) dan (2) UU Pemilu diatur bahwa presiden berperan dalam menetapkan calon anggota KPU yang akan diajukan kepada DPR sehingga presiden dituntut untuk netral selama proses pemilu.
ADVERTISEMENT
Analogi sederhana seperti "Seorang panitia atau anak panitia yang memiliki hubungan erat dengan penyelenggara acara ikut berkontestasi dalam perlombaan". Apakah bisa diterima secara akal sehat bahwa keadaan tersebut akan sangat memicu kecurangan dan dapat merugikan konstestan lain? Apakah ini akan menjadi sebuah kemunduran demokrasi bangsa secara terang terangan tanpa mempedulikan lagi bagaimana pentingnya sebuah etik seorang pemimpin pasca Presiden Jokowi melakukan hal tersebut?
Dari sini dapat dipahami secara seksama bahwa hal tersebut telah masuk dalam kategori sebagai pembohongan publik, karena tingkat pemahaman mayoritas masyarakat kita masih sangat awam dalam memahami bagaimana sebuah undang undang itu dapat mengatur agar presiden tidak melakukan hal yang semena mena diluar kepentingan publik. Presiden Jokowi hanya mementingkan kepentingan pribadi tanpa memikirkan harkat dan martabat negara yang demokratis ini. Pernyataan Presiden Jokowi tentang pejabat publik boleh berkampanye berpotensi melanggar aturan tingkat pidana. Bahkan dapat memicu terjadinya potensi pemakzulan sebagaimana tercantum dalam Pasal 7a UUD RI 1945, tetapi tidak semudah yang dibayangkan karena ada prosedur yang harus dilalui antara lain melalui DPR dan Mahkamah Konstitusi (MK).
ADVERTISEMENT
Dalam acara Rapat Kerja Pimpinan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC). Ibu Sri Mulyani malah mengingatkan jajarannya untuk menjaga netralitas pada Pemilu 2024.
"Tahun pemilu jaga sikap kita, netralitas itu adalah sesuatu yang sudah menjadi keharusan. Anda bisa punya preferensi apa saja lakukan pada saat anda di kotak suara. Itu adalah value yang menunjukkan bahwa kita sebagai manusia diatur oleh undang undang dan diatur oleh tata krama," ujar Ibu Sri Mulyani dalam siaran persnya, Kamis (25/1).
Berbeda dengan Presiden Jokowi, Ibu Sri Mulyani bertolak belakang dengan statment yang dipernyatakan oleh Presiden Jokowi. Sebagai tanda bahwa value seorang itu terlihat bagaimana ia beraktivitas sesuai dengan undang undang yang mengatur, tidak semena mena ataupun cawe cawe dalam menjalankan amanah sebagaimana telah diatur dalam UU. Dan tidak memanipulasi publik dengan menggunakan sebutir UU yang menguntungkan kepentingan pribadi semata.
ADVERTISEMENT