Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Wacana Amandemen dan Penguatan Prinsip Check and Balance di Lembaga Legislatif
12 Desember 2023 13:19 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari George Soros Setiawan Day tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Wacana Amandemen atau perubahan atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 kembali bergulir, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang merupakan sebagai hukum tertinggi yang ditetapkan secara konstitusional yang tentunya perlu ada perubahan dan juga penambahan dalam UUD 1945 itu sendiri. yang menjadi tujuan dari Amandemen yaitu guna untuk mengubah atau memperbaharui tulisan dan substansi konstitusi dalam hal ini sebagian maupun seluruhnya, agar dapat menyesuaikan dengan kondisi yang terdapat sekarang atau kondisi yang sesuai pada zamannya. Seperti kondisi politik, ideologi, ekonomi, pertahanan dan keamanan, serta kondisi sosial dan juga budaya.
ADVERTISEMENT
Melihat secara history, amandemen UUD NRI Tahun 1945 dilakukan pertama kali pasca rezim orde baru lebih tepatnya pada tahun 1999 Sebagai perubahan pertama, tahun 2000 sebagai perubahan kedua, tahun 2001 sebagai perubahan ketiga, dan sampai dengan tahun 2002 sebagai perubahan keempat, yang total keseluruhannya menghasilkan 4 kali perubahan atau amandemen yang tentunya menambah dan juga mengubah substansi yang termaktub di dalam UUD NRI Tahun 1945. Selanjutnya, pasca disahkanya Amandemen keempat yang melahirkan beberapa lembaga tinggi negara yang di antaranya Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY).
Alasan yang melatarbelakangi amandemen UUD 1945 pasca rezim orde baru, yaitu antara lain yang pertama Presiden yang memiliki kekuatan kekuasaan yang terpusat langsung sehingga menimbulkan banyaknya pelanggaran, yang kedua minimnya perlindungan hukum bagi Masyarakat serta penegakkan HAM masih belum berjalan dengan baik sebagaimana mestinya, yang ketiga berimplikasi praktik KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) di dalam pemerintah yang sentralistik dan juga tidak transparansi, yang keempat masih banyaknya pasal demi pasal yang fleksibel sehingga berakibat terciptanya multitafsir, dan yang kelima penyetaraan kekuasaan (check and balance) antar Lembaga negara yaitu Lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya prinsip Check and balance merupakan sebuah prinsip ketatanegaraan penyetaraan antara kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang sama sama sederajat dan saling control antara satu sama lain. Kekuasaan dapat diatur, dibatasi, maupun dikontrol dengan sebaik-baiknya, sehingga penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) oleh aparat penyelenggara negara atau orang-orang yang sedang menduduki jabatan di dalam Lembaga-lembaga negara dapat dicegah dan tanggulangi (Sunarto, 2016:159).
Jika menilik pada fenomena sekarang prinsip check and balance antar lembaga legislatif (DPR dan DPD) yang berada di dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dapat dilihat masih tergolong rendah dikarenakan beberapa alasan, yang selanjutnya akan diulas oleh penulis lewat tulisan kali ini agar pada saat peng-amandemen UUD NRI Tahun 1945 yang selanjutnya bisa tertata Kembali terkait check and balance antara Lembaga legislatif sehingga bisa menciptakan keseimbangan di dalamnya.
ADVERTISEMENT
Lemahnya Prinsip Check and Balance antara Lembaga Legislatif
Prinsip Check and Balance yang di cita-citakan guna memberikan kedudukan yang sederajat bagi lembaga-lembaga negara dari segi fungsi,tugas maupun wewenang dan saling mengontrol nyatanya belum berjalan dengan semestinya, Hal ini bisa dilihat pada lembaga legislatif yaitu antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang menjadi bagian anggota dari Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), meskipun demikian terlihat memiliki kedudukan yang sama sebagai lembaga negara, namun pada kewenangannya serasa dominan ke DPR.
Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No.17 Tahun 2014 tentang MD3, yang mengatur sekian rupa tentang ketiga lembaga legislatif ini. Adapun demikian, dalam pasal 2 Undang-Undang No.17 Tahun 2014 menjelaskan bahwa “MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum”. Menilik pada pasal di atas tersebut berarti setiap anggota yang berada di MPR di isi oleh para anggota DPR dan juga DPD, yang sebelumnya diisi oleh DPR yang selanjutnya ditambahkan dengan utusan daerah dan golongan.
ADVERTISEMENT
Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) merupakan sebuah Lembaga yang lahir di era reformasi pada tahun 2004 pasca amandemen ke 4 UUD 1945, Yang menjadi permulaan awal hadirnya DPD yaitu menata Kembali Parlemen agar parlemen seimbang dan juga mampu menyerap aspirasi-aspirasi Masyarakat di seluruh penjuru Indonesia.
Sebelum amandemen UUD 1945 DPR yang awalnya berdampingan dengan utusan golongan yang isi nya merupakan dari berbagai profesi dan bidang sebagai bentuk perwujudan dari masing-masing golongan. Selanjutnya fungsi, maupun wewenang DPD diatur dalam Perubahan ke 3 UUD 1945 pada pasal 22D dan pasal 23F UUD 1945.
Sebelum itu, jika melihat dari segi kewenangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang termaktub di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perubahan ketiga pada pasal 22D yang menjelaskan, bahwa:
ADVERTISEMENT
1. Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat terkait rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
2. Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, Pendidikan dan agama.
3. Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai: otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, Pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan uraian pada pasal sebelumnya sudah terlihat dengan sangat jelas bahwa keberadaan Dewan Perwakilan Daerah di parlemen saat ini terlihat seperti tidak pada arah yang jelas, melihat dari DPD dalam menjalankan kewenangan legislasi, DPD hanya mengajukan pendapat dan membahas, sedangkan untuk kewenangan mengesahkan pada akhirnya hanya di eksekusi oleh DPR. Dalam hal ini pun dapat terlihat bahwa DPD tidak memperoleh fungsi legislasi yang tidak utuh.
DPD sebagai produk lembaga dari amandemen konstitusi UUD NRI Tahun 1945 yang diharapkan mampu sebagai penyeimbang untuk sistem dua kamar (bikameral) yang kuat dan efektif di dalam parlemen dapat dilihat bahwa Terbatasnya kewenangan DPD ini menimbulkan pernyataan bahwa keberadaannya hanya merupakan ordinesi dari DPR atau pelengkap dalam sistem perwakilan. Padahal semestinya dalam sistem bikameral masing-masing kamar diberikan kewenangan yang relatif berimbang dalam menciptakan check and balances (Saldi Isra, 2003:226).
ADVERTISEMENT
Antara Wacana atau Terealisasikannya Amandemen Kelima
Terealisasikannya sebuah amandemen kelima sekiranya bukanlah sesuatu hal yang mudah untuk dilaksanakan oleh seorang politikus yang memiliki kursi di parlemen yang bertanggung jawab atas partai politiknya, dalam artian semua anggota-anggota partai yang menduduki kursi di parlemen pada hakikatnya harus menyampaikan apa yang menjadi kebijakan partainya, apabila petinggi partainya tidak menyetujui adanya amandemen maka salah satu fraksi di MPR harus kompak untuk menolak adanya usulan amandemen UUD NRI Tahun 1945.
Adapun demikian jika melihat Secara konstitusional UUD NRI Tahun 1945 telah menyediakan suatu pasal atau ketentuan khusus yang mengatur mengenai prosedur terkait perubahan Undang-Undang Dasar. Ketentuan tersebut dapat ditemukan pada Pasal 37 UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi:
ADVERTISEMENT
1) Untuk mengubah UUD sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota MPR harus hadir.
2) Putusan di ambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 jumlah anggota yang hadir.
Sudah menjadi kewenangan dari MPR untuk mengubah serta menetapkan UUD NRI Tahun 1945 sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang no. 17 Tahun 2014 pada pasal 4 huruf (a) yang menjelaskan bahwa “MPR berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;” oleh sebab itu apabila ingin mengusulkan sebuah amandemen haruslah melalui para anggota-anggota yang menduduki kursi di MPR tersebut. Selanjutnya, ketentuan yang mengatur untuk pengusulan amandemen terdapat pada pasal 25 sampai dengan pasal 32 UU no.17 Tahun 2014.
Apabila wacana amandemen atas UUD NRI Tahun 1945 bisa terealisasikan secepatnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka yang perlu di tekan kan Kembali oleh pemberian usulan amandemen yaitu pemberian penguatan kewenangan yang lebih bagi lembaga DPD RI dalam menjalankan fungsi legislasi dan juga pengawasan agar prinsip check and balance antara kedua kamar yakni DPD dan DPR bisa berjalan seimbang tanpa adanya yang lebih dominan.
ADVERTISEMENT
Walaupun demikian jika amandemen pada kali ini hanyalah sebuah wacana belaka, tetaplah para pemangku jabatan di suatu lembaga negara sewajarnya menjalankan dengan serius tugas maupun fungsionalnya untuk memberikan kesejahteraan kepada masyarakat luas guna untuk menciptakan welfare state bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia ini.