Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Culture Shock di Rantau
16 Juni 2022 16:58 WIB
Tulisan dari SRI RAHAYU tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Culture shock atau gegar budaya merupakan perasaan saat seseorang merasa tertekan dan terkejut ketika berhadapan dengan lingkungan serta budaya baru. Hal itulah yang dirasakan olehku, perempuan yang lahir dan dibesarkan di pedesaan. Tepatnya daerah Kabupaten Bandung, yang berbatasan langsung dengan kota Garut. Jadi, tentu saja adat dan kebiasaan yang melekat pada diriku layaknya orang pedesaan.
ADVERTISEMENT
Untuk pertama kalinya, aku harus meninggalkan kampung halaman. Merantau ke kota Depok, yang sebelumnya tak pernah aku jejaki. Sudah menjadi konsekuensiku, jika memilih kuliah di luar kota berarti harus mau meninggalkan kampung halaman.
Pagi hari pada 7 Maret 2022, aku berangkat ke Depok. Sebelumnya, berpamitan dulu kepada kedua orangtuaku. Saat itu, aku berusaha keras agar air dipelupuk mataku tidak turun menghujani pipi. Rasanya tak ingin berada jauh dari jangkuan kedua orang tuaku.
Aku sampai di Depok saat senja sudah di tempat peraduannya, ufuk barat. Baru beberapa saat saja, aku sudah merasa tak nyaman oleh hawa panas ciri khas kota metropolitan. Tentu saja ini menjadi hal baru yang ku rasakan, sebab di kampung halamanku suhunya cenderung dingin.
ADVERTISEMENT
Setelah cukup lama tinggal di Depok, aku menyadari banyak hal yang berbeda dibanding ketika di kampung halaman. Terutama dalam masalah harga bahan pokok yang lebih tinggi. Berawal dari niatku untuk masak sendiri, sehingga harus membeli bahan masakan. Memang harganya cukup mahal, tapi setidaknya lebih hemat dibanding harus bolak-balik membeli lauk di warteg.
Kebiasaanku saat di rumah tidak pernah memasak, sedangkan ketika merantau terpaksa harus memasak sendiri. Setiap hari memikirkan harus makan dengan apa? rupanya begitulah yang dirasakan ibuku. Harus memutar otak setiap kali akan memasak, menu apa yang cocok supaya tidak bosan memakannya.
Selain itu, aku juga harus terbiasa dengan penggunaan bahasa Indonesia. Dari mulai yang biasa hingga bahasa Indonesia gaul, ini banyak digunakan oleh anak muda zaman sekarang. Jujur saja, awalnya aku gugup untuk berkata. Takut salah ngomong, bahkan sering keceplosan menggunakan bahasa Sunda. Namun seiringnya waktu, aku mampu mengimbangi bahasa dan cara mengobrol orang-orang di sekitarku.
ADVERTISEMENT
Kemudian ada hal yang membuatku aneh saat berangkat ke kampus, aku melewati seorang bapak-bapak yang duduk berjualan di pinggir jalan. Saat lewat, tentu saja yang aku lakukan adalah membungkuk sembari berucap, “Permisi Pak.” Respon dari penjual itu hanya tersenyum seraya berkata, “Biasa aja neng, gitu amat,” hal itu tentu saja membuatku bingung.
Karena di kampungku, membungkuk dan mengucapkan permisi saat melewati orang lain adalah hal yang wajib dilakukan. Sebagai bentuk sopan santun dan menghargai. Namun rupanya, di tempat yang aku jejaki saat ini cukup mengucap, “Permisi,” saja.
Meski begitu, banyak pelajaran berharga yang aku dapat selama merantau di kota ini aku menjadi bisa karena terbiasa. Tetap melanjutkan langkah untuk menempuh pendidikan, meski sering merasa tidak betah oleh keadaan.
ADVERTISEMENT
Ada sebuah buku yang melatarbelakangi segala sesuatu yang aku lakukan saat ini, aku termotivasi oleh buku berjudul Negeri 5 Menara, karya Ahmad Fuadi. Di dalam buku itu terdapat kalimat yang maknanya luar biasa, "Man Jadda Wa Jadda." Yang artinya, siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil.
Kemudian, ada sebuah kalimat yang aku ingat hingga sekarang, “Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang. Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan.” Dua kalimat itu mampu membiusku untuk berani menuntut ilmu dan mengejar cita-cita di perantauan, bahkan saat harus jauh dari kedua orangtua.
Penulis: Sri Rahayu