Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Sekelumit Kisah Kampung Adat Pulo Garut
11 Juni 2022 19:44 WIB
Tulisan dari SRI RAHAYU tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Waktu menunjukan pukul 07.30 WIB, dan aku sudah bersiap untuk pergi liputan ke salah satu kampung adat di daerah Garut. Liputan tersebut untuk memenuhi tugas mata kuliah Penulisan Berita. Selain itu, aku juga ingin meng-eksplore daerah Garut yang kental dengan ragam kesenian dan adat istiadatnya. Serta tidak sedikit pula, tempat di daerah Garut yang dijadikan sebagai objek wisata.
ADVERTISEMENT
Kampung adat yang menjadi tujuan utamaku adalah Kampung Pulo, berlokasi di Desa Cangkuang, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut. Uniknya, lokasi pemukiman Kampung Pulo berada di sebuah pulau kecil yang dikelilingi oleh situ. Luas situ Cangkuang sekitar 16 hektar.
Untuk sampai ke Kampung Pulo, aku harus menyebrangi situ, dengan cara menaiki rakit sebagai moda transportasi yang disediakan oleh warga sekitar.
Memasuki area pemukiman Kampung Pulo, aku disambut gapura bertuliskan, “Kampung Pulo” dengan simbol kujang di kedua sisinya.
Tidak ingin melewatkan momen itu, aku lantas mengeluarkan kamera untuk mengambil gambar. Tak lupa juga secarik kertas berisikan acuan daftar pertanyaan, untuk wawancara kepada sesepuh di Kampung Pulo.
Sebelum wawancara, aku berkeliling di area pemukiman Kampung Pulo. Yang ku lihat hanya ada enam rumah dan satu surau saja. Tata letak rumahnya, tiga di sebelah kiri, dan tiga di sebelah kanan (berhadap-hadapan).
ADVERTISEMENT
Kemudian, pemukimannya bersih dari sampah. Pemandangan asri khas pedesaan, yang belum terkontaminasi limbah pabrik ataupun polusi.
Aku berhenti di salah satu rumah yang paling berbeda di antara rumah-rumah yang lain. Rumah ini beratapkan injuk berwarna hitam. Lokasinya juga paling dekat dari masjid.
Aku mengetuk pintu rumah itu sambil mengucapkan salam beberapa kali. Hingga ada satu perempuan keluar dari rumah. Ia mengatakan bahwa ini adalah rumah “kuncen,” atau sesepuh sekaligus penjaga tempat ini. Perempuan tadi adalah istri dari kuncen Kampung Pulo.
Sangat disayangkan, kondisi kuncennya saat itu sedang sakit. Sehingga aku tidak bisa wawancara langsung. Aku pun diarahkan untuk mewawancarai juru pelihara komplek Candi Cangkuang.
Untuk mewawancarai juru pelihara candi cangkuang, aku harus mengunjungi Museum Situs Candi Cangkuang. Sampai di sana, aku disambut senyum ramah oleh juru pelihara.
ADVERTISEMENT
Setelah berkenalan dan mengutarakan maksud ke datanganku, beliau pun mengenalkan dirinya padaku
Jiji Supardi namanya. Sudah mengabdikan diri menjadi juru pelihara komplek Candi Cangkuang dalam kurun waktu yang cukup lama.
Aku memulai wawancara dengan bertanya tentang sejarah Kampung Pulo. Setelah menelaah jawabannya, ternyata dulu Masyarakat Kampung Pulo menganut agama Hindu. Namun setelah Embah Dalem Arif Muhammad menjejaki wilayah ini, beralihlah ke dalam agama Islam. Itu terjadi disebabkan oleh pasukan Embah Dalem Arif Muhammad yang terpaksa mundur saat melawan penjajah Belanda. Berhubung merasa kecewa sekaligus malu oleh Sultan Agung, Embah Dalem Arif Muhammad pun tidak kembali lagi ke Mataram.
Sejak saat itu, Embah Dalem Arif Muhammad mulai menyebarkan agama Islam kepada masyarakat di Kampung Pulo. Hingga akhirnya wafat dan dimakamkan di Kampung Pulo. Yang meninggalkan enam orang anak, lima perempuan dan satu pria.
ADVERTISEMENT
Dari situ aku menyadari, mengapa bangunan pokok di Kampung Pulo hanya berjumlah enam rumah dan satu masjid saja. Itu merupakan bentuk simbol dari jumlah anak-anak Embah Dalem Arif Muhammad.
Kampung Pulo ini selalu terdiri dari enam kepala keluarga, dan maksimal jumlah penduduknya tidak boleh lebih dari 26 orang. Kemudian dalam sistem pewarisannya, rumah adat diberikan kepada anak perempuan tertua. Jadi, sistem kekeluargaan di Kampung Pulo mesti mengikuti garis Ibu. Jika ada anak laki-laki yang telah menikah dan pernikahannya sudah menginjak waktu dua minggu, anak laki-laki itu harus ke luar dari Kampung Pulo
Mengingat saat berkeliling tadi, aku melihat daftar pantangan di Kampung Pulo yang dipajang bagaikan papan pengumuman. Di situ tertulis, larangan bekerja dan berziarah pada hari Rabu. Akhirnya aku bertanya kepada juru pelihara, mengapa tidak diperbolehkan?
ADVERTISEMENT
Jawabannya, karena hari Rabu adalah hari pilihan untuk mempelajari sekaligus memperdalam pengetahuan agama. Selain itu, seluruh anggota masyarakat juga dilarang bekerja, serta diharuskan berziarah ke makam Embah Dalem Arief Muhammad.
Hal lain yang menjadi larangan di Kampung Pulo adalah, tidak boleh menambah atau mengurangi jumlah rumah (bangunan pokok). Kemudian, tidak boleh memelihara hewan peliharaan berkaki empat kecuali kucing. Juru pelihara itu menjelaskan, tujuannya untuk menjaga kesucian serta kebersihan Kampung Pulo dari gangguan dan kotoran hewan peliharaan berkaki empat. Terdapat pengecualian bagi kucing, ini berkaitan dengan kepercayaan bahwa hewan tersebut merupakan peliharaan kesayangan Nabi Muhammad Saw.
Jiji juga menceritakan padaku, bahwa di Kampung Pulo dilarang membangun rumah beratapkan mirip bentuk prisma. Hal ini berkaitan dengan kejadian tragis anak lelaki Embah Dalem Arief Muhammad.
ADVERTISEMENT
Dikisahkan saat itu anak lelaki Embah Dalem Arief Muhammad harus dikhitan (sunat). Dilaksanakanlah upacara khitanan, “raden nganten” diarak dalam sebuah tandu berbentuk prisma. Saat diarak, tiba-tiba datang angin kencang yang membuat jatuh “raden nganten” hingga meninggal dunia. Sehingga untuk memperingati kejadian tersebut, Kampung Pulo dilarang membuat atap berbentuk prisma.
Jiji menambahkan, dalam kejadian itu gong besar merupakan alat musik dalam gamelan pengiring. Maka, menabuh gong besar pun menjadi suatu pantangan di Kampung Pulo.
Jiji mengungkapkan bahwa mereka yang tinggal di Kampung Pulo, bertujuan menjaga tradisi/adat leluhur.
Setelah merasa cukup dengan informasi yang didapat, aku berpamitan kepada juror pelihara komplek Candi Cangkuang. Dan melanjutkan mengambil gambar dari beberapa penjuru Kampung Pulo.
ADVERTISEMENT
Tak sampai di situ saja, aku juga menyempatkan diri untuk menyambangi makam Embah Dalem Arief Muhammad. Makamnya berada di samping sebuah candi peninggalan kerajaan Hindu. Candi tersebut hanya satu bangunan saja, di dalamnya terdapat sebuah Arca Dewa Siwa.
Selepas dari sana, aku merasa beruntung bisa menjejaki tanah tempat awal mula penyebaran agama Islam di Garut. Dan rupanya masih ada kampung adat di tengah zaman modern ini.
Penulis: Sri Rahayu