Konten dari Pengguna

Perairan Nusantara Masa Kolonial Hindia-Belanda

Fahreza
mahasiswa yang sedang mencari jalan ninjanya
9 Oktober 2024 12:46 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fahreza tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Latar Belakang
Selama periode awal abad Masehi, penduduk Nusantara sudah mengenal perdagangan jalur laut. Mereka terlibat aktif memperdagangkan berbagai komoditas dalam perdagangan internasional melalui jalur strategis seperti Selat Malaka. Selain menjadi target perdagangan, penduduk Nusantara juga berperan sebagai pelaku yang mengendalikan perdagangan. Hal ini terbukti dengan adanya kerajaan-kerajaan maritim besar, yakni Sriwijaya dan Majapahit, yang memainkan peran krusial dalam perdagangan di Nusantara selama berabad-abad.
ADVERTISEMENT
Pada periode berikutnya, kerajaan-kerajaan bercorak Islam di Nusantara memperkuat perdagangan antar-pulau, terutama perdagangan rempah-rempah. Kerajaan seperti Aceh, Demak, Banten, Makasar, dan Ternate memegang peranan penting dalam perdagangan antara abad ke-15 dan ke-17, sebelum kedatangan bangsa Barat.
Saat bangsa Barat datang, jalur perdagangan Nusantara semakin penting secara global. Hal ini disebabkan oleh posisi strategis Nusantara yang selain luas, juga didominasi oleh lautan. Laut Jawa, misalnya, menjadi pusat jaringan maritim sebagai penghubung wilayah di Nusantara bahkan sampai ke Asia Tenggara.
Sumber foto dari Arsip ANRI (Kegiatan pengiriman hasil bumi yang laku di pasaran Eropa dari pelabuhan Palembang tahun 1802)
Kedatangan bangsa Barat, terutama melalui VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), membawa perubahan radikal dalam dinamika maritim Nusantara. Mereka tidak hanya memperkuat kontrol atas jalur perdagangan, tetapi juga memanfaatkan konflik lokal melalui taktik devide et impera. Akhirnya, perdagangan yang sebelumnya dikelola masyarakat lokal berpindah tangan ke kekuatan asing.
ADVERTISEMENT
Konsep Batas Laut Wilayah Kolonial Hindia-Belanda
Pada awalnya, Belanda mengadopsi konsep batas laut bernama “mare liberum” yang diperkenalkan oleh Hugo Grotius pada tahun 1609. Konsep ini menyatakan bahwa laut adalah milik bersama dan tidak dapat dikuasai oleh negara mana pun. Prinsip ini mendukung kepentingan Belanda untuk mengeksplorasi laut dan bersaing dengan Portugis serta Spanyol.
Namun, ketika Belanda menguasai pelabuhan strategis melalui VOC, mereka mulai menerapkan monopoli perdagangan dan melarang pelayaran bagi beberapa suku, termasuk Makasar. Hal ini menimbulkan perlawanan dari Makasar, yang meyakini bahwa laut adalah milik semua bangsa. Kebijakan VOC memperluas kontrol mereka ke wilayah lain, seperti Jawa, dan menekan perdagangan pribumi serta memaksa pedagang yang sudah ada sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Setelah VOC bubar pada tahun 1799, pemerintah Hindia-Belanda meneruskan kebijakan monopoli dan pembatasan pelayaran asing. Dominasi maritim ini diperkuat dengan kehadiran KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschappij) pada tahun 1888.
Melalui “Staatsblad” (lembaran negara) 1939 No. 442, pemerintah kolonial mengeluarkan undang-undang yang menetapkan wilayah laut teritorial Hindia-Belanda adalah tiga mil dari garis air surut, berdasarkan jangkauan tembak meriam kapal. Kebijakan ini masih berlaku hingga Indonesia merdeka pada tahun 1945.
Kebijakan Maritim Kolonial di Hindia-Belanda
Kebijakan maritim di Hindia-Belanda berfokus pada dua hal utama. Pertama, penerapan liberalisasi Pelabuhan Batavia, yang diharapkan dapat meningkatkan kedatangan kapal asing dan aktivitas ekonomi. Kedua, pendirian Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM) pada tahun 1888, yang bertujuan mengembangkan jejaring pelayaran domestik serta memperkuat pengaruh Belanda di perairan Nusantara.
ADVERTISEMENT
1. Liberalisasi Pelabuhan Batavia
Liberalisasi Pelabuhan Batavia adalah salah satu kebijakan maritim pemerintah kolonial Belanda yang berorientasi pada aktivitas ekonomi pelabuhan. Kebijakan ini muncul sebagai warisan VOC yang menghubungkan berbagai titik pelabuhan menjadi pusat perkembangan kota-kota pantai. Di sisi lain, Singapura dengan sistem perdagangan bebas (free trade) menjadi pesaing yang signifikan, sehingga pemerintah kolonial Belanda menanggapi dengan melakukan liberalisasi Pelabuhan Batavia sebagai pelabuhan internasional.
Namun, kebijakan liberalisasi Pelabuhan Batavia dianggap sebagai "liberalisasi setengah hati" karena tidak sepenuhnya bebas, mengingat tarif bea cukai masih berbeda di setiap pelabuhan dan jenis kapalnya. Akhirnya, Singapura berhasil menarik lebih banyak aktivitas perdagangan, yang merugikan pemerintah kolonial Belanda.
Sebagai respons, pemerintah kolonial melakukan beberapa upaya untuk melonggarkan kebijakan demi mempertahankan perdagangan di Nusantara, seperti: penyeragaman tarif bea cukai di semua pelabuhan, internasionalisasi beberapa pelabuhan agar kapal asing bisa berlabuh, dan penetapan paspor kapal, di mana kapal lokal diberi izin berlayar tahunan, sementara kapal asing harus memperbarui paspornya secara berkala guna melindungi industri pembuatan kapal di Hindia-Belanda.
ADVERTISEMENT
2. Pendirian KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschappij)
Tahun 1888 merupakan tahun didirikannya KPM sebagai langkah penting untuk mengatasi masalah pengiriman di Hindia-Belanda. Sebelum ada KPM, pengiriman di Hindia-Belanda menggunakan sistem tender, di mana pemerintah menjalin kontrak dengan perusahaan swasta untuk pengiriman barang dan penumpang. Dalam hal ini, pemerintah Hindia-Belanda bekerja sama dengan NISM (Nederlandsch Indisch Stoomvaart Maatschappij), sebuah perusahaan Inggris di bidang pengiriman tingkat lokal hingga internasional.
Seiring berjalannya kerja sama, mulai timbul kekhawatiran dari pemerintah kolonial atas kontrolnya di bidang pengiriman. Penyebabnya adalah perpindahan pusat NISM dari Batavia ke Singapura, yang mengakibatkan ketidakstabilan pengiriman barang dan berakhir menimbulkan ketidakpuasan pemerintah Hindia-Belanda.
KPM pun didirikan untuk mengatasi situasi tersebut, dengan tugas utama menjalankan pengiriman reguler antar-pulau, terutama di bagian timur Hindia-Belanda. KPM juga memperbesar pengaruhnya untuk menjadi alat integrasi politik dan ekonomi. Perusahaan ini mengembangkan rute pengapalan baru yang mencakup hampir seluruh wilayah Hindia-Belanda dan bekerja sama dengan pedagang lokal untuk menyediakan kargo. Dalam beberapa kasus, KPM bahkan menawarkan kredit kepada pedagang lokal untuk mendukung aktivitas perdagangan mereka.
ADVERTISEMENT
Referensi:
Santoso, A. (2015). Naskah Sumber Arsip Kemaritiman. Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia.
Mulya, L. (2014). Kebijakan maritim di Hindia Belanda: Langkah komersil pemerintah kolonial. Mozaik, 7(1), 1-18.
Singgih, T. S. (2010). Konsep Batas Wilayah Negara Di Nusantara: Kajian Historis. Citra Leka dan Sabda.