Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Pertanggungjawaban Hukum dalam Kasus Perundungan (Bullying) Dokter PPDS FK UNDIP
24 September 2024 8:29 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Steven Tan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Fakta-Fakta Kasus Perundungan (Bullying) Dokter PPDS FK UNDIP
Dikutip dari NU Online, seorang mahasiswa dari Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Diponegoro (UNDIP) dr. Aulia Risma Lestasi melakukan tindakan bunuh diri di kamar kosnya, Lempongsari, Kecamatan Gajahmungkur, Semarang, Senin (12/8/2024). Dalam buku harian yang ditinggalkan oleh Korban, disebutkan bahwa perlakuan oleh para senior terhadap Korban merupakan salah satu faktor yang berkontribusi terhadap beban mental yang dihadapi Korban saat itu.
ADVERTISEMENT
Selain buku harian yang ditinggalkan Korban, juga didapatkan sumber informasi lainnya berupa rekaman voice note Korban kepada orang tuanya yang menyiratkan bahwa Korban pada saat itu menghadapi perundungan, pemerasan, dan eksploitasi yang dilakukan dokter senior UNDIP.
Sebelumnya, Dekan FK UNDIP, Yan Wisnu Prajoko sendiri setelah melakukan investigasi terhadap kasus tersebut, menyatakan bahwa belum adanya laporan yang mengindikasikan adanya pemalakan terhadap Korban, maupun terhadap mahasiswa PPDS lainnya. Namun, pada hari Jumat (13/9/2024), Yan Wisnu Prajoko mengakui adanya indikasi perundungan atau bullying dalam berbagai bentuk atau derajat pada PPDS. Selain itu, Yan Wisnu juga mengakui adanya pemungutan iuran Rp 20 (dua puluh) hingga Rp 40 (empat puluh) juta yang dibebankan kepada mahasiswa baru (maba) PPDS selama 1 (satu) semester atau 6 (enam) bulan.
ADVERTISEMENT
Pertanggungjawaban Hukum Para Pelaku
Sampai saat artikel ini ditulis (21/9/2024) masih belum terdapat pengaturan khusus mengenai tindakan perundungan (bullying) terhadap orang dewasa. Namun, Pasal 345 KUHP menyebutkan bahwa
Sebagai tambahan, dalam Pasal 219 ayat (1) huruf d Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 (UU Kesehatan) menyatakan bahwa peserta didik spesialis/subspesialis yang didayagunakan oleh Fasilitas Pelayanan Kesehatan berhak untuk mendapat perlindungan dari kekerasan fisik, mental, dan perundungan.
Jika alasan utama atau yang mendorong Korban melakukan tindakan bunuh diri adalah perundungan yang dilakukan oleh para senior, maka mereka dapat dikenakan sanksi pidana penjara sesuai dengan ketentuan KUHP tersebut. Selain itu, para pihak universitas dan pihak rumah sakit atau fasilitas kesehatan tempat Korban menjalankan pendidikannya juga dapat digugat untuk memberikan pertanggungjawaban secara Perdata dan mengenakan sanksi administratif berupa pencabutan izin praktik kepada para pihak yang terlibat secara langsung dengan tindakan perundungan tersebut.
ADVERTISEMENT
Perlu diingat, jika dalam hal dikeluarkannya peraturan pidana yang mengatur secara khusus mengenai tindakan perundungan terhadap orang dewasa setelah terjadinya kasus ini, maka peraturan tersebut tidak dapat berlaku kepada para pihak, terutama pelaku perundungan. Hal tersebut disebabkan karena adanya asas Non-Retroactivity dalam Hukum Pidana yang melarang suatu peraturan untuk berlaku secara surut.
Di sisi lain, kita juga dapat berfokus kepada aspek lain dalam kasus ini, yakni iuran atau tagihan yang diakui oleh Yan Wisnu bernilai 20 (dua puluh) - 40 (empat puluh) juta yang dikenakan kepada para maba PPDS, termasuk korban sendiri. Terdapat 2 (dua) kemungkinan pengklasifikasian tindakan tersebut dalam Hukum Pidana. Yang pertama adalah jika iuran tersebut ditagih oleh seseorang atau kelompok orang yang tidak memiliki jabatan (orang biasa) dan tidak memiliki dasar yang sah atas pemungutan, maka dapat dikategorikan sebagai tindakan pemeresan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 368 KUHP yang berbunyi:
ADVERTISEMENT
Kemungkinan kedua adalah jika iuran tersebut dipungut atas perintah dari seseorang atau kelompok orang yang memiliki jabatan, atau melalui wewenangnya tanpa adanya dasar atau alasan yang membenarkan, maka tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai tindakan korupsi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 (UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) yang berbunyi:
ADVERTISEMENT
Akhir kata, keadaan yang dialami dr. Aulia Risma Lestasi merupakan sesuatu yang sangat memprihatinkan bagi korban dan juga menunjukkan keadaan pendidikan di Indonesia, khususnya mahasiswa PPDS yang masih jauh dari kata ideal. Di mulai dari budaya senioritas yang masih sangat kental dan pemakluman terhadap hal atau budaya yang seharusnya tidak dimaklumi. Penulis berharap agar para pihak yang terkait dalam kasus ini mendapatkan keadilan yang seadil-adilnya.
Daftar Pustaka