Konten dari Pengguna

Pendidikan yang Humanis: Belajar dari Pak Malik

Sudarnoto Abdul Hakim
Akademisi dan pengamat sosial keagamaan dan politik
8 Oktober 2020 22:18 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sudarnoto Abdul Hakim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pendidikan Foto: kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pendidikan Foto: kumparan
ADVERTISEMENT
Prof. Malik Fadjar telah wafat beberapa waktu yang lalu. Mencermati perjalanan hidupnya, tidak berlebihan untuk menyebutkan bahwa almarhum adalah seorang tokoh yang sangat atentif dan caring (peduli) kepada siapapun tanpa melihat latar belakang agama, etnis dan juga sosial. Kehangatan dan welas asih yang ditunjukkan, semangatnya yang selalu menyala untuk menyapa, memotivasi, mengarahkan, dan menasehati memberikan gambaran dan kesan yang sangat kuat bahwa Prof. Malik adalah seorang yang humanis relijius. Watak humanis relijius inilah yang menjadi salah satu kekuatan pentingnya dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Bahkan, watak ini jugalah yang mempengaruhi pemikiran dan gagasan-gagasannya antara lain dalam melakukan transformasi dan modernisasi khususnya pendidikan Islam di Indonesia. Semuanya didedikasikan untuk kemajuan dan martabat manusia.
ADVERTISEMENT
Salah satu ciri humanisme, sebagaimana yang dikenal di dalam pemikiran filsafat, ialah kepeduliannya terhadap harkat dan martabat manusia. Manusia, dalam pandangan ini, mempunyai tempat atau kedudukan yang istimewa dan sempurna (Ahsan al-Taqwim) secara biologis, ruhani, dan intelektual dibandingkan dengan makhluq lain. Inilah Truth Receivers yang tidak dimiliki oleh makhluq manapun. Atas berbagai kelebihan dan kesempurnaan ini, maka manusia haruslah bertanggung jawab penuh disamping untuk membangun peradaban juga memperteguh dan menjunjung tinggi nilai-nilai keluhuran yang -- dalam keyakinan Prof. Malik-- telah banyak disediakan terutama oleh ajaran agama. Karena itulah, gagasan-gagasan yang harus dibangun termasuk dalam mengembangkan dan memajukan pendidikan haruslah didasarkan kepada landasan “kemanusiaan” dan sekaligus “Ketuhanan.” Ini basis filosofinya.
ADVERTISEMENT
Semantika Merdeka.
Salah satu nilai luhur atau dimensi kemanusiaan yang sangat penting menjadi perhatian ialah kata "Merdeka." Secara teologis, kata merdeka ini perlu dipahami sebagai salah satu esensi Tauhid yaitu “bebas dari belenggu keyakinan terhadap banyak tuhan termasuk dari pandangan serba duniawi.” Cak Nur mengistilahkan sebagai “sekularisasi” yaitu tidak menempatkan yang profane sebagai sakral; Tauhid adalah “desakralisasi alam.” Inilah makna merdeka yang patut diberi perhatian terutama dalam kaitannya dengan upaya membela kemanusiaan yang sejati. Jadi, merdeka adalah terbebaskan dan terselamatkannya manusia dari situasi yang membelenggu dan merusak martabat dan kedaulatan. Ini sangat bersesuaian dengan penjelasan yang tertulis, antara lain, di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Kata merdeka, di kamus ini, mempunyai tiga arti, yaitu: (1). Bebas dari perhambaan, penjajahan, dan sebagainya, berdiri sendiri (2). Tidak terkena atau lepas dari tuntutan; dan (3). Tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu, leluasa. Dengan demikian, ide "merdeka belajar,” yang dulu pernah dilansir oleh Mendikbud RI, misalnya, bisa diasumsikan muncul karena pendidikan kita telah terhambakan, terjajah, sangat tergantung, terlalu banyak tuntutan dan tidak leluasa karena terikat dengan pandangan atau tuntutan yang sangat pragmatis partikularistik. Pendidikan tidaklah boleh disederhanakan dan apalagi disempitkan sebagai sebuah industri yang melahirkan mesin teknikal kehidupan tanpa ruh atau jiwa. Tentu perlu pembuktian yang kuat dan diskusi khusus terkait dengan asumsi bahwa pendidikan kita ini terjajah dan menjajah, terbelenggu dan membelenggu dan pendidikan kita tidak melahirkan orang-orang yang merdeka tapi orang-orang yang "bermental kalah" dan bukan petarung gigih. Riset empirik sangat diperlukan soal ini.
ADVERTISEMENT
Dalam vokabulari Nusantara, pernah dikenal kata "Mardijkers" (abad ke 17-18) yang berarti "budak yang telah dimerdekakan." Kata ini sebetulnya serapan dari kata Sanksekerta "Maharadhika" yang berarti "senang dan sejahtera." Mereka adalah penduduk Batavia para tawanan yang dijadikan budak-belian oleh Belanda. Mereka bekerja sebagai pembantu tukang-tukang Belanda membuat mebel. Mereka dijanjikan akan diberikan kebebasan dengan syarat mau menjadi anggota Gereja Refomasi, gereja bagi penganut agama Kristen, oleh karena itu mereka disebut Mardijker atau "orang yang dimerdekakan." Jadi, merdeka adalah "terbebas atau pembebasan dari perbudakan" supaya semakin "senang dan sejahtera."
Jika mengikuti arti kata ini, maka pendidikan bisa dimaknai sebagai upaya sadar dan sistimatis untuk "memerdekakan atau membebaskan masyarakat dari berbagai bentuk perbudakan yang sudah dipastikan membelenggu agar masyarakat memperoleh kebahagiaan dan kesejahteraan." Seperti di atas, perlu keyakinan penuh dengan evident yang kuat apakah masyarakat kita ini memang sedang diperbudak dalam berbagai bidang oleh pemikiran, ideologi atau suatu kekuatan tertentu yang membuat orang tidak berdaya secara psikis, intelektual, social dan ekonomi dan mungkin juga poliitik. Jika benar, maka diperlukan perjuangan panjang untuk "melawan dan membebaskan" sekaligus "menawarkan" kehidupan baru yang lebih menjanjikan, lebih adil dan bahkan juga menyenangkan dan mensejahterakan di masa depan melalui pendidikan yang tepat.
ADVERTISEMENT
Dalam Bahasa Inggris ada beberapa kata yang bermakna merdeka antara lain ialah "independent, free, sovereign, autonomous, self-reliant, self-sufficient, emancipation, liberation." Jika dikaitkan dengan perbincangan di atas, maka vokabulari Inggris ini bisa juga menjadi prinsip-prinsip penting yang semestinya bisa diterapkan dalam dunia pendidikan kita dengan basis agama dan nilai-nilai keluhuran yang universal. Tidak mudah pasti utuk membangun atau mewujudkan otonomi pendidikan, pendidikan yang emansipatoris dan liberarif. Akan tetapi, tidak mustahil untuk diperjuangkan dan diwujudkan.
Memanusiakan Manusia
Sebetulnya, hakikat pendidikan adalah memanusiakan manusia. Istilah “memanusiakan manusia” ini sesungguhnya merupakan upaya yang terus menerus untuk membuat manusia menjadi berbudaya, berakal budi dan berkeadaban. Hal ini dilakukan agar sesama manusia harus saling menjaga, menghormati, melindungi, membantu dan membesarkan, bukan sebaliknya. Penanaman sikap memanusiakan manusia ini berlandaskan kepada prinsip keadilan, kesetaraan, kesederajatan, kebersamaan. Hal-hal inilah yang diantaranya juga menjadi perhatian penting dalam konsep HAM yang harus senantiasa ditegakkan dan dilindungi. Negara dengan demikian haruslah memberikan jaminan utuh bagi terimplementasikannya upaya-upaya pendidikan memperkuat kemanusiaan yang adil dan beradab. Inilah yang juga menjadi keyakinan Prof. Malik. Negara harus hadir setiap saat agar dalam menyelenggarakan pendidikan ini tidak terjadi tindakan pembunuhan karakter, diskriminasi, buly, perampasan hak-hak dasar dan asasi manusia yang dilakukan oleh siapapun dan karena sebab dan motif apapun.
ADVERTISEMENT
Memanusiakan manusia, artinya bahwa pendidikan antara lain dimaksudkan sebagai upaya preventif agar kemanusiaan tidak terinjak-injak, martabat tidak ditindas dan kehormatan tidak dirampas, serta nama baik tidak dirusak karena sebab dan motif apapun. Tidak boleh terjadi lagi ada peserta didik yang terpaksa melakukan tindakan kekerasan karena secara psikologis tertekan menghadapi cercaan atau dicibir karena menunggak uang sekolah. Sudah terlalu banyak catatan tentang tragedi kemanusiaan bahkan terjadi di lembaga pendidikan kita. Bisa jadi, banyak anak sekolah, mahasiswa dan bahkan orang tua yang merasakan bahwa sekolah atau kampus ternyata merupakan tempat yang secara psikologis semakin terasa tidak menyenangkan, membuat stress karena terlalu banyak aturan dan tuntutan yang membelenggu dan membuat banyak orang menjadi tidak berdaya serta tidak memiliki kemampuan berkreasi dan berinovasi. Bisa jadi juga, banyak yang merasakan dan berkeyakinan bahwa lembaga pendidikan ternyata sudah menjadi tempat transaksi finansial yang akan menyingkirkan mereka yang tak berkemampuan karena hanya orang dari kelas sosial tertentu saja yang bisa memenuhi tuntutan transaksi. Pendidikan menjadi destinasi di mana segregasi dan ketidak adilan sosial diawetkan, diskriminasi terjadi secara kasat mata dan secara tidak langsung menjadi bara antagonisme dan pertentangan sosial. Ini yang dilawan oleh Prof. Malik.
ADVERTISEMENT
Memanusiakan manusia, artinya juga upaya terus menerus dan sistimatis untuk menyiapkan dan mendidik manusia agar (1) memiliki kemampuan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (2) beriman, berkepribadian luhur atau berakhkaq mulia (3) nasionalis. Itulah sebabnya, pendidikan yang diterapkan adalah pendidikan yang Berketuhanan Yang Maha Esa, sebagaimana yang ditegaskan dalam Sila Peratama dari Pancasila. Jadi, keberpihakan pendidikan itu haruslah difokuskan kepada (1) aspek ideologi yaitu keyakinan kepada agama dan ketaatan kepada ideologi bangsa, (2) aspek tata nilai luhur diarahkan kepada Akhlaq, (3) aspek kognitif penguasaan Iptek, dan (4) aspek keterpanggilan membangun kehidupan supaya maslahat.
Atas dasar itu semua, maka sudah saatnya jerat jerat atau belenggu sistem dan budaya tradisional pendidikan direview secara mendasar dengan memperkokoh dan menggerakkan spirit kemerdekaan. Belenggu pendidikan itu bisa berlapis dan sangat kuat sehingga memang membutuhkan upaya atau ijtihad kolektif yang sungguh kuat. Ijtihad ini yang dijadikan langkah menerobos tradisionalisme pendidikan sambil menawarkan ide paradigmatik pendidikan yang merdeka dan memerdekakan dan juga yang memanusiakan manusia. Merdeka dan memerdekakan artinya tidak boleh ada kolonialisme, diskrimimasi, dehumanisasi, segregasi sosial, belenggu intelektual, dan budaya transaksional pendidikan. Sumber tradisionalisme pendidikan yang membelenggu ini bermacam-macam antara lain politik pendidikan, Filsafat pendidikan, leadership pendidikan di pusat-pusat pendidikan, sistim ilmu pengetahuan dan budaya pendidikan serta SDM yang tersedia. Jika sumber-sumber ini tidak dibongkar, maka pendidikan dalam pengertian esensial akan tetap terancam mati. Yang tersisa adalah industri persekolahan dan perkuliahan yang transaksional dan mungkin oligarkis serta tak akan mampu serta selalu gagal melahirkan manusia Indonesia yang utuh dan sesungguhnya.
ADVERTISEMENT
Tajdid Pendidikan Muhammadiyah
Sebagai kekuatan civil society muslim tertua dan paling berpengalaman di dalam menyelenggarakan pendidikan di semua tingkatan, Muhammadiyah misalnya, di mana Prof Malik berada menjadi Ketua yang membidangi pendidikan, berpeluang besar untuk melakukan "Tajdid Transformatif Liberatif" khususnya dalam bidang pendidikan ini. Dalam rangka menggerakkan Tajdid era revolusi digital ini, Muhammadiyah bisa menjadi pelopor untuk melakukan "Self Disruption" yang secara esensial arahnya antara lain ialah:
1. Menjadikan Surat Ali Imron 110 sebagai salah satu landasan filosofis dan moral yang mengarahkan pendidikan untuk mengemban tiga misi utama, sebagaimana yang pernah diurai oleh Kuntowijoyo, yaitu:
(a). Humanisasi: menjunjung tinggi, membela martabat dan kedaulatan kemanusiaan tidak membiarkan jika ada yang direndahkan dan diinjak-injak oleh siapapun. Pendidikan menjadi instrumen fundamental yang sangat tepat untuk memperkokoh harkat, martabat dan kedaulatan manusia serta membangun keadaban. Inilah langkah membangun watak yang diarahkan agar setiap orang menemukan jati diri kemanusiaannya, memberikan kepedulian kepada lingkungannya dan memperkokoh budaya luhur yang bersumber dari agama dan Pancasila. Pendidikan juga berarti "humanize human".
ADVERTISEMENT
(b). Liberasi: membebaskan masyarakat dari jerat-jerat kemiskinan, kebodohan, ketidak berdayaan dan dominasi kelompok oligarkis serta berkomitmen kuat untuk menciptakan keadilan. Pendidikan dengan demikian haruslah menjadi alat efektif untuk memperkokoh budaya literasi, mengembangkan kreatifitas dan inovasi serta produktifitas. Dengan memanfaatkan kemajuan teknologi digital semaksimal mungkin, pendidikan menjadi langkah sistematik untuk membangun dan memperkokoh budaya berjejaring, berkonektivitas secara ekstensif dengan spirit kesederajatan (egaliter, tidak diskriminatif), kebersamaan dan kegotong royongan untuk mengelevasi/mengangkat derajat siapapun yang teralienasi dan termarjinalisasi secara sosial, intelektual dan ekonomi. Pendidikan dengan demikian haruslah juga (a) menyenangkan, tidak mengakibatkan disorientasi, tidak membuat jenuh, bosan dan menjengkelkan dan (b) memotivasi untuk selalu bergerak secara produktif dan memperkokoh jiwa enterprenership (c) menginspirasi untuk berkreasi dan berinovasi serta berTajdid dan berTanwir
ADVERTISEMENT
(c.) Transendensi : melindungi agama, memfasilitasi masyarakat agar beriman bertaqwa apapun agama dan kepercayaan mereka. Melindungi masyarakat dari segala bentuk ancaman pehamanan kagamaan yang menentang ideologi bangsa dan merusak kemanusiaan. Pendididikan dengan demikian haruslah berKetuhanan Yang Maha Esa. Karena itu kecenderungan praktek-praktek pendidikan yang berpahamkan kepada ideologi liberalisme, sekularisme, hedonisme, permisivisme berseberangan dengan jiwa masyarakat Indonesia yang berpahamkan ideologi Pancasila.
2. "Self Disruption" dibutuhkan untuk melakukan Tajdid atau perubahan fundamental pada sistem pengelolaan hingga proses belajar mengajar agar adaptif terhadap perubahan yang sangat cepat dan tidak menentu di era Digital Revolution ini. Self disruption haruslah diawali dengan mengubah pola pikir atau ideologi pendidikan saat ini bagi guru atau orangtua agar transformasi perubahan dapat cepat dilakukan. Wallahu a’lam
ADVERTISEMENT
Oleh : Sudarnoto Abdul Hakim
Penulis adalah Associate Profesor di FAH UIN Jakarta, Wakil Ketua Majelis Dikti Litbang PP. Muhammadiyah.