Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Drama Politik Happy Ending
25 Desember 2020 21:25 WIB
Tulisan dari Sugeng Winarno tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh: Sugeng Winarno*
Benar kata lagu yang ditulis musisi senior Ian Antono dan sastrawan Taufiq Ismail yang dinyanyikan dengan apik oleh Ahmad Albar yang berjudul “Panggung Sandiwara”. Dunia ini bagaikan panggung sandiwara. Kisahnya mudah berubah-ubah. Ada peran wajar, ada pula peran berpura-pura.
ADVERTISEMENT
Demikian halnya dengan dunia politik tanah air. Penuh dengan sandiwara. Beberapa saat setelah Presiden Jokowi mengumumkan enam menterinya yang baru, Di media sosial (medsos) beredar meme gambar Jokowi, Ma’ruf Amin, Prabowo Subianto, dan Sandiaga Uno dalam satu frame dengan tulisan happy ending.
Saya tersenyum melihat meme itu. Komentar para netizen juga beragam. Ada yang serius, namun tak sedikit yang komentar lucu-lucu. Pesan satire dalam meme itu sangat jelas dan mengena. Ibarat dalam teori stand up comedy, punchline-nya pecah. Gernya berantakan.
Viralnya meme happy ending itu tak terlepas dari pengumuman enam menteri baru yang dilakukan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Kini negeri ini punya kabinet baru sebelum datangnya tahun baru 2021. Formasi kabinet yang diprediksi banyak pengamat dan sejumlah pakar sebagai kabinet happy ending. Kabinet yang merangkul semua pihak yang sebelumnya jadi seteru. Ibarat permainan sinetron, beberapa tokoh yang dulu antagonis kini harus berposisi protagonis.
ADVERTISEMENT
Rivalitas antara Jokowi-Ma’ruf Amin versus Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dalam Pilpres 2019 lalu memang seru. Permainan politik yang penuh drama. Ada kisah tragis, sedih, dan pilu, pun juga muncul kisah kocak yang bikin kita terbahak-bahak. Kontestasi Pilpres yang sempat melahirkan keterbelahan masyarakat. Para pengikut masing-masing gerbong sampai berseteru cukup seru. Para pendukung kedua kubu di dunia maya juga tak kalah seru. Munculnya pasukan Cebong lawan Kampret sangat gaduh di jagat maya kala itu.
Menyatunya Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno ke kubu Jokowi merupakan hal baru dalam catatan politik tanah air. Dalam konteks pemilu presiden di Indonesia, belum pernah ada capres maupun cawapres yang kalah kemudian menjadi menteri bagi lawan politiknya yang terpilih. Fenomena ini memang baru pertama kali terjadi dan menjadi sejarah baru dalam perpolitikan di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Tak Ada Teman dan Musuh yang Abadi
Inilah realitas politik. Sejatinya tak ada teman dan musuh yang abadi. Semua dikendalikan oleh kepentingan. Siapa ingin apa, melalui siapa, dan dengan cara bagaimana. Dalam politik juga berlaku tak ada makan siang yang gratis. Siapa pun yang dinilai berjasa juga wajar mendapat imbalan yang setara. Dalam politik juga memungkinkan orang menghalalkan segala cara, demi kekuasaan dan melanggengkan posisi.
Politik juga soal bagi-bagi kekuasaan. Karena kekuasaan pada pucuk pimpinan mungkin tak bisa lagi absolut, hingga harus ada pendelegasian wewenang. Untuk itu, kekuasaan harus didistribusikan dengan merata, agar sang penguasa bisa menjalankan roda kekuasaannya dengan nyaman.
Atas nama pertimbangan aman dan nyaman, bisa jadi kubu yang berpotensi berlawanan harus dirangkul, digandeng dan diajak jalan bersama dalam satu gerbong. Pihak yang dulunya bisa saja berseberangan arah, kini harus diajak berjalan bersama dan seirama.
ADVERTISEMENT
Harapannya, orkestrasi kekuasaan terdengar merdu. Tak muncul suara sumbang yang dapat merusak harmoni irama yang sedang dipimpin sang pucuk penguasa.
Dalam demokrasi, harmoni yang indah tak mesti tercipta hanya lewat orang-orang yang bersuara sama. Demokrasi mempersyaratkan suara-suara kelompok lain sebagai penyeimbang. Suara-suara yang menjalankan fungsi kontrol atas kekuasaan yang sedang berlangsung. Ketika orang-orang yang dulu menjalankan fungsi kontrol dan kini harus berada dalam gerbong yang sama, maka situasi ini juga bisa berbahaya, terutama bagi tegaknya demokrasi.
Sejumlah pengamat menilai, formasi kabinet baru Presiden Jokowi diambil dengan pertimbangan profesionalisme. Nah, kalau memang demikian yang terjadi tentu ini pertimbangan yang baik. Artinya, penentuan orang-orang di kabinet itu bukan sekadar atas dasar bagi-bagi kekuasaan, namun benar-benar atas dasar profesionalisme kerja. Yang utama adalah bagaimana kabinet Jokowi yang baru ini mampu membawa perubahan yang lebih baik, selain juga bisa membuat semua pihak senang (happy ending).
ADVERTISEMENT
Orkestrasi Merdu
Masuknya pasangan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno dalam kabinet Jokowi saat ini mestinya juga bisa mengakhiri seteru antara pasukan Cebong dan Kampret yang segala ini gaduh di dunia maya. Munculnya friksi dan keterbelahan masyarakat haruslah berlalu. Kabinet happy ending ini mestinya akan terdengar merdu. Pak Jokowi sebagai konduktor atau dirigen orkestra tentu akan lebih gampang menyajikan nada-nada yang merdu.
Namun merdunya orkestrasi kabinet baru ini semoga tak memperburuk demokrasi. Karena kerja kabinet bukanlah kerja layaknya paduan suara. Harmoni dalam orkestrasi tak bisa bermakna hanya dari suara yang sama dan seragam. Justru munculnya perbedaan suara yang beragam itulah yang harus diorkestrasi menjadi lantunan suara yang merdu.
Menghadapi situasi pandemi Covid-19 saat ini memang tak gampang. Pemerintah dan semua pihak dihadapkan pada situasi yang sangat sulit. Segala kegaduhan dan seteru sedapat mungkin diakhiri. Semua yang mungkin pernah berseteru hendaknya bisa menyatu, bekerja bersama demi atasi wabah dan ciptakan sejahtera.
ADVERTISEMENT
Semoga enam menteri baru dalam kabinet Jokowi mampu bekerja dengan baik dan sanggup menyelesaikan beragam permasalahan bangsa. Amanah besar sebagai menteri semoga tak diselewengkan dengan turut menyuburkan korupsi.
Masyarakat dan semua pihak semoga tak lelah untuk selalu mengkritisi dan memantau perilaku para pejabat publiknya.
Semoga kabinet baru racikan Presiden Jokowi kali ini benar-benar mampu membawa kemajuan dan kemakmuran negeri ini hingga akhir yang membahagiakan (happy ending). (*)
*). Penulis Adalah Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang