Konten dari Pengguna

Nostalgia bareng JUFOC Komunikasi UMM (1)

Sugeng Winarno
Pegiat Literasi Media, Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)
29 September 2024 9:25 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sugeng Winarno tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Potong tumpeng, menandai pembukaan Dies Natalis JUFOC ke 35
zoom-in-whitePerbesar
Potong tumpeng, menandai pembukaan Dies Natalis JUFOC ke 35
ADVERTISEMENT
JUFOC (Jurnalistik Fotografi Club). Club (klub) inilah yang mengenalkan saya pada dunia fotografi. Dulu, lama sekali, sekitar tahun 1993, saya mulai menjadi bagian dari JUFOC.
ADVERTISEMENT
JUFOC itu klub peminat fotografi mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Sebagai mahasiswa Ilmu Komunikasi di masa itu, dunia fotografi awalnya bagi saya adalah sesuatu yang benar-benar baru.
Saat itu, fotografi terbilang hobi yang mahal. Tak banyak orang punya kamera. Tak murah pula harga roll film. Tak gampang juga memroses cuci cetak film di kamar gelap. Salah sedikit saja bisa kobong alias terbakar hasil cetak fotonya.
JUFOC mengajarkan saya bahwa fotografi itu ada ilmunya. Fotografi itu bukan sekedar urusan jeprat-jepret merekam obyek secara visual. Memahami bukaan diafragma (f) dan shutter speed (s) saja butuh waktu yang cukup lama. Belum lagi urusan komposisi, sudut pengambilan gambar (angle), pencahayaan (lighting), dan hal teknis fotografi yang lain.
ADVERTISEMENT
Saat itu, kamera digital belum ada. Kamera manual atau analog yang kami pelajari dan gunakan. Kamera merk Yashica, salah satu kamera yang cukup populer waktu itu. Di pasaran, ada juga merk; Nikon, Canon, Pentax, Olympus, dan Minolta. Di JUFOC, tak banyak yang punya kamera. Kamera foto masih menjadi barang mahal dan cukup langka ketika itu.
Foto bersama di acara Dies Natalis JUFOC ke 35.
Salah satu kegiatan di JUFOC adalah berburu (hunting) foto. Kegiatan ini sangat menarik, tetapi harus dibayar dengan ongkos yang tak murah. Saya dan beberapa teman JUFOC kalau hunting foto harus urunan untuk beli negatif film. Waktu itu roll film yang banyak dipasaran adalah merk Kodak, dengan ciri khas warna kuning, dan FujiFilm, dengan warna khas biru. Ada juga merk Agfa. Bagi saya dan teman-teman sering pakai merk Hori, karena harganya yang murah.
ADVERTISEMENT
Kami hunting foto berkelompok, karena kameranya juga harus bergantian. Yang punya kamera di bagi agar bergabung dengan yang hanya bawa roll film. Tiap kelompok hunting-nya bergantian dengan jumlah frame foto yang terbatas. Satu roll film biasanya berisi 36 frames, dengan bonus tambahan sekitar satu atau dua frames. Kalau satu kelompok beranggotakan lima orang, maka satu anak biasanya hanya kebagian sekitar 7 frames.
Saat itu yang punya kamera keren teman saya namanya Jadmiko, angkatan 1992. Kameranya Nikon. Lensanya tak hanya tipe standar, tapi sudah dilengkapi tele. Ada juga Sentot, teman satu angkatan saya ini memang penggemar berat fotografi. Dia punya beberapa kamera. Ada juga Rena Handayani, cewek anggota JUFOC asal ibukota ini kameranya juga cukup keren.
ADVERTISEMENT
Sementara saya, setelah beberapa lama gabung JUFOC, baru bisa nabung buat beli kamera. Kamera merk Yashica yang ada di rak penjual kamera bekas di Pasar Besar Malang akhirnya mampu saya miliki. Solikin, sang penjual kamera bekas itu merelakan kamera koleksinya saya miliki setelah tawar menawar cukup alot waktu itu.
Selain belajar mengambil gambar, kami di JUFOC juga berajar mencuci film. Namun yang mampu kami lakukan waktu itu hanya untuk foto hitam putih alias black white/BW. Kalau untuk foto berwarna, biasanya kami bawa ke studio foto. Mencetak foto juga membutuhkan biaya yang tak murah. Tak jarang, pasca hunting, roll film kami simpan dulu, menunggu punya uang buat bayar cetak foto.
ADVERTISEMENT
Untuk foto hitam-putih, kami bisa lakukan proses pencucian hingga pencetakan sendiri di kamar gelap yang ada di lab JUFOC. Untuk mencuci fim kami gunakan alat; gulungan roll film, developer tank, changing bag, gunting, thermometer, sarung tangan, gelas ukur, timer, baskom air, corong, dan penjepit kertas. Untuk mencuci film kami juga gunakan larutan Acifix dan Developer.
Pameran Foto, bagian acara Dies Natalis JUFOC 35.
Salah satu senior yang sudah mumpuni fotografi waktu angkatan saya adalah Eko Sunaryo atau biasa kami panggil Mas Okem. Pria asal Pacitan ini memang super tekun mempelajari fotografi. Kami semua ikuti dan percaya arahan Mas Okem, walaupun terkadang saat kita praktik mencucui film hasilnya hangus alias gosong semua. Mencuci film adalah proses yang memang tak mudah. Teori bisa saja dikuasai, namun saat di kamar gelap, bisa jadi teori itu ambyar semua.
ADVERTISEMENT
Tak jarang roll film yang kami cuci kurang cahaya (under) atau justru kelebihan cahaya (over). Parahnya, tak jarang foto dari hasil hunting yang sudah sangat kita harapkan hasilnya justru hanya muncul warna gelap pekat di kertas foto.
Di JUFOC waktu itu kami memang sering coba-coba (trial error) bersama. Belajar bersama menjadi metode yang kami pilih di JUFOC waktu itu. Sesekali JUFOC juga mengikuti seminar fotografi. Waktu itu tak banyak juga fotografer di Malang. Beruntung waktu itu JUFOC berkesempatan menghadirkan Paul Zakariya, salah satu fotografer profesional, senior di MPC (Malang Photography Club).
Sebagian peserta yang hadir berfoto bersama.
Nostagia bareng JUFOC memang menyenangkan. Tetap bisa dikenang dan tak mudah terlupa. Cerita di ruang-ruang perjumpaan JUFOC saat saya dan teman-teman kuliah dulu benar-benar berkesan.
ADVERTISEMENT
Kini, JUFOC telah berusia 35 tahun. Acara Dies Natalis di gelar di Kota Batu, 29-29 September 2024. Ratusan mantan anggota JUFOC hadir. Kami semua saling lepas rindu, obati kangen, dan bernostalgia. JUFOC sejatinya lebih dari sekedar klub fotografi, namun telah menjadi ruang bertumbuh, membangun persaudaraan, persahabatan, kebersamaan, dan kekeluargaan.
Saya JUFOC, saya bangga,………. (bersambung)
Ditulis oleh Sugeng Win, JUFOCER!