Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kampanye Pemilu 2019 Sudah Berlalu
16 April 2019 1:04 WIB
Tulisan dari Dr. Sumbo Tinarbuko tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dr. Sumbo Tinarbuko
Pemerhati Budaya Visual, Komunikasi Publik, Dosen Komunikasi Visual Fakultas Seni Rupa dan Program Pascasarjana ISI Yogyakarta
ADVERTISEMENT
Lewat akun media sosial, saya tuliskan pertanyaan sekaligus tantangan bagi parpol, caleg dan capres: ‘’Kampanye telah usai. Apakah parpol, caleg dan capres, mau membersihkan sampah visual iklan politik yang sudah mereka tebarkan di ruang publik?’’. Ulasan dan tanggapan pun berhamburan di kolom komentar.
Para komentator merasa pesimis kepada parpol, caleg dan capres. Mereka tidak yakin para peserta kampanye Pemilu 2019 memiliki niat baik mau membersihkan piring kotor sisa pesta semalam. Sikap pesimis warga masyarakat seperti terpampang dalam kolom komentar media sosial menjadi sebuah kewajaran. Hal itu terjadi akibat sikap masa bodoh yang dipamerkan para caleg, capres dan parpol peserta kontestasi Pemilu 2019.
Kemerdekaan Visual
Fenomena menjamurnya sampah visual iklan politik selama kampanye capres dan caleg ini, dalam perspektif budaya visual membuat keberadaan Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi cacat tercoreng. Mengapa demikian? Daerah Istimewa Yogyakarta seharusnya secara politik mengambil peran sebagai kota budaya. Sebuah kota dengan payung kebudayaan yang layak menjadi wilayah percontohan sekaligus memberi inspirasi bagi pelaksanaan kampanye politik capres dan caleg yang komunikatif, santun, nyeni dan berbudaya.
ADVERTISEMENT
Selama kampanye, mereka seenaknya memasang dan memakukan sampah visual di ruang publik. Dengan sombongnya mereka melakukan kekerasan visual. Mereka menjarah ruang terbuka hijau dan taman kota. Mereka secara sepihak mengubah fungsi tiang telepon, tiang listrik dan tiang rambu lalu lintas menjadi media ilegal pemasangan APK. Yang paling menyedihkan, peserta kontestasi pemilu 2019 menyiksa pohon dengan menancapkan paku untuk memasang APK.
Masalahnya kemudian, dalam kampanye Pemilu 2019, cukupkah caleg, capres dan parpol hanya bermodalkan popularitas dan gelontoran fulus untuk belanja APK? Tentu tidak cukup. Sebab realitas sosial di lapangan memaparkan catatannya. Ketika popularitas dan elektabilitas mereka hanya ditakar lewat tebaran iklan politik dan APK di ruang publik. Hal itu tidak menjadikan jaminan dirinya dipilih calon pemilih. Artinya, serbuan iklan politik dan APK bergambar wajah dirinya berikut janji politik di bawahnya tidak otomatis mendongkrak elektabilitas.
ADVERTISEMENT
Realitas sosial lainnya juga memberikan catatan kritis. Caleg, capres dan parpol wajib memiliki pengalaman lapangan yang sudah teruji ruang dan waktu. Pengalaman lapangan dan pendidikan politik wajib mereka miliki. Kewajiban itu merupakan bagian dari proses kaderisasi politik yang harus diperjuangkan sang caleg, capres dan parpol untuk menjadi modal sosial.
Merek Berkualitas
Mereka harus memiliki merek diri dengan kualitas ciamik. Sebab takaran kualitas diri merek peserta kontestasi Pemilu 2019 dapat dibuktikan lewat segepok karya nyata yang bermanfaat bagi masyarakat. Modal sosial semacam itu menjadi dasar bagi calon pemilih untuk menilai ikhtiar sang caleg. Apakah mereka mampu memahami permasalahan sosial, budaya, dan ekonomi yang membelit keseharian hidup warga masyarakat.
Bagi calon pemilih, komunikasi politik yang dijalankan peserta kontestasi Pemilu 2019 lewat iklan politik dan APK dianggap fatamorgana politik. Seakan ada padahal tidak ada. Seolah membela dan melayani rakyat. Tetapi sejatinya justru terlihat tidak merakyat.
ADVERTISEMENT
Karena itulah, ketika kampanye telah usai dan sampah visual iklan politik menjadi bencana sosial di ruang publik. Pada titik inilah kita semakin yakin. Sejatinya peserta kontestasi Pemilu 2019 adalah calon tenaga kerja yang menyewa kendaraan politik dari parpol. Mereka adalah calon karyawan yang melamar pekerjaan sebagai pegawai di kantor DPRD, DPR RI, DPD RI dan Istana Kepresidenan. Bukan calon pelayanan masyarakat yang mengayomi dan mengayemi (membuat ayem) masyarakat.