Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Lonceng Kematian Orang Berpendidikan
20 Maret 2019 8:48 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
Tulisan dari Dr. Sumbo Tinarbuko tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Muhammad Romahurmuziy. Atas peristiwa penangkapan mantan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan tersebut, Tajuk Rencana Kompas edisi 18 Maret 2019 menuliskan catatannya dengan judul "Darurat Korupsi Politisi".
ADVERTISEMENT
Pada bagian lain, Tajuk Rencana Kompas juga membuka catatan lama terkait dengan perilaku koruptif yang dilakukan orang nomor satu pada sejumlah partai politik dan lembaga negara. Di antaranya: Luthfi Hasan Ishaaq (2013), Presiden Partai Keadilan Kesejahteraan (PKS); Anas Urbaningrum, Ketua Umum Partai Demokrat; Setya Novanto, Ketua Umum Partai Golkar sekaligus Ketua DPR Republik Indonesia; Surya Dharma Ali, Menteri Agama; Akil Mochtar dan Irman Gusman, keduanya menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi dan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Tajuk Rencana Kompas juga mewartakan, sepanjang tahun 2018, KPK menangkap 21 kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi. Selain kepala daerah, pejabat penyelenggara negara, politisi, dan ketua partai politik. Ternyata KPK juga meringkus koruptor yang memiliki profesi sebagai polisi, jaksa, hakim, pengacara, pengusaha, dan duta besar.
ADVERTISEMENT
Cacat Moral
Jejak digital memaparkan data faktual, para tersangka korupsi yang ditangkap KPK memiliki latar pendidikan tinggi. Mereka insan terpelajar berpendidikan sarjana dan magister. Bahkan beberapa tersangka memiliki gelar akademik doktor.
Para pelaku kejahatan kerah putih yang ditangkap KPK sejatinya orang yang mujur. Mereka adalah manusia beruntung yang berhasil mengenyam pendidikan tinggi (sarjana, magister, dan doktor) dari perguruan tinggi ternama dan terakreditasi memuaskan.
Dalam perspektif budaya visual, para koruptor yang diringkus KPK tergolong kelompok orang berpendidikan. Hal itu dibuktikan dengan kepemilikan gelar akademis yang ada di dalam pelukannya.
Sayangnya, pada konteks ini, mereka terjerumus menjadi manusia cacat moral. Kecacatan tersebut terpaksa melekat erat dalam napas kehidupannya sehari-hari. Mereka menjadi cacat moral karena terperangkap jebakan kuasa uang. Mereka tergiring menjadi kelompok penyembah ideologi hedonisme dan matrialisme.
ADVERTISEMENT
Secara de jure, mereka adalah insan terpelajar pemilik sah ijazah sarjana, master, dan doktor. Tetapi secara defacto mereka mendekonstruksi dirinya menjadi orang tidak terpelajar. Orang tidak berpendidikan. Orang yang mengingkari kepemilikan talenta intelektual karunia Tuhan. Orang yang dengan sengaja mempermalukan dirinya. Orang yang sengaja membanting harga dirinya agar tercebur ke dalam jurang kenistaan.
Atas sikap konyol semacam itu, mereka digolongkan sebagai insan terpelajar penyandang catat moral.
Berdasarkan realitas sosial, kenyataan mental dan spiritual semacam itu, penyandang cacat moral, sah dinilai sebagai penyandang cacat yang sesungguhnya. Kecacatan tersebut secara kasat mata muncul dari aspek batiniah, kemudian merembet pada perilaku lahiriah dari sang insan terpelajar.
Selanjutnya, energi negatif tersebut menyebar bagaikan virus flu di musim penghujan. Menyerbu ke seluruh nadi kehidupan sang penyandang cacat moral tersebut.
ADVERTISEMENT
Amsal cacat moral lainnya tervisualkan atas beringasnya insan terpelajar. Mereka menjadi kesurupan saat menanggapi dan menyikapi realitas sosial yang tidak sebangun dengan kehendak rasa serta pikirannya. Mereka melakukan perlawanan sosial secara membabi buta. Diwujudkan dalam sebentuk aktivitas kekerasan fisik. Dioplos dengan kekerasan verbal sekaligus kekerasan visual.
Hal itu mengakibatkan terjadinya kerusakan fisik atas berbagai fasilitas umum yang ada di ruang publik. Cacat moral lainnya dapat disaksikan ketika anak muda dari kalangan insan terpelajar menjalankan garis perjuangannya lewat jalur radikalisme, tindakan intoleransi, dan perilaku persekusi.
Paparan tersebut menguatkan sinyalemen yang mengasumsikan harkat dan martabat kemanusiaan orang berpendidikan hilang tanpa menyisakan sedikit pun ingatan positif sebagai sosok insan terpelajar. Hal itu dilakukannya demi memuaskan egoisme pribadi dan kelompoknya. Simpul pangkalnya sebenarnya berujung dari terjadinya miskomunikasi akibat buntunya proses berkomunikasi secara egaliter antar para pihak.
ADVERTISEMENT
Industri Pendidikan
Sementara itu, rusaknya mental spiritual yang menggerogoti tubuh orang berpendidikan ditengarai karena mereka kurang memiliki kepekaan ‘ajar’. Dalam konteks pendidikan formal, seharusnya kepekaan ‘ajar’ dibagikan sebagai tuntunan untuk menyelaraskan akal sehat dan nalar perasaan insan terpelajar. Sayangnya, kepekaan ‘ajar’ sengaja diabaikan secara sistematis oleh pemerintah.
Pengabaian tersebut tercermin dari kurikulum dan pola pengajaran yang diterapkannya selama ini. Pengajaran diperintahkan untuk berjalan sendiri. Keberadaannya sengaja diceraikan dari aspek pendidikan. Realitas sosialnya, sekolah, dan kampus sebagai institusi pendidikan formal, diperintahkan sekadar mengajarkan ilmu pengetahuan kepada peserta didik.
Perintah selanjutnya, tugas utama guru dan dosen sebagai pengajar sekaligus pendidik, secara sistematis dipreteli. Sekarang mereka justru di-casting menjadi administrator pendidikan yang mengurusi thethek bengek administrasi pendidikan dalam takaran kuantitatif yang terstruktur dan capaiannya pun harus juga terukur.
ADVERTISEMENT
Dampaknya, sekarang lembaga pendidikan diposisikan sebagai komoditas industri pendidikan. Format semacam itu menyebabkan peserta didik harus berkenan menerima proses indoktrinasi penyeragaman pola pikir serta penyetaraan perilaku dan selera tata rasa.
Hasilnya, keberadaan lembaga pendidikan tinggi dalam konteks industri pendidikan bersalin rupa. Ia menjadi sarana komersial berburu jabatan, pangkat, derajat, dan kasta modern bergengsi tinggi.
Atas dasar hal itu, kini kehadiran lembaga pendidikan tinggi tidak lagi dipandang sebagai lembaga sosial. Ia bukan lagi sebuah lembaga sosial yang disematkan peran sosial untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ia harus rela menanggalkan peran sosial sebagai sebuah lembaga yang dikalungi tugas mulia untuk menyemai rangkaian ilmu pengetahuan dalam konteks nilai-nilai kemanusiaan yang berbudaya, adil, dan bermartabat.
ADVERTISEMENT
Jika kondisi semacam ini tidak segera dipangkas dengan semangat revolusi mental. Lalu diganti dengan pola pendidikan dan pengajaran yang di dalamnya mensyaratkan proses belajar mengajar untuk memerdekakan ide, akal sehat serta nalar perasaan peserta didik secara bertanggung jawab dan bermartabat. Maka, fenomena lonceng kematian orang berpendidikan secara kuantitas ditengarai akan meningkat tajam dari tahun ke tahun.
Dr. Sumbo Tinarbuko
Pemerhati Budaya Visual dan Dosen Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta