Konten dari Pengguna

Memahami Bencana Komunikasi

Dr. Sumbo Tinarbuko
Pemerhati Budaya Visual, Komunikasi Publik dan Dosen Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta
25 Maret 2019 19:19 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dr. Sumbo Tinarbuko tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi media sosial. Foto: PhotoMIX-Company via Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi media sosial. Foto: PhotoMIX-Company via Pixabay
ADVERTISEMENT
Pada tahun politik ini, pergerakan lini masa media sosial memancarkan aura panas. Berita bohong alias hoaks, ujaran kebencian, serta nyinyisme sepanjang detik berkelebat lewat media sosial.
ADVERTISEMENT
Dalam perspektif komunikasi publik, hoaks, ujaran kebencian, dan nyinyisme menjadi penanda baru merebaknya budaya komunikasi kekerasan. Keberadaannya senantiasa mengedepankan kekerasan verbal maupun kekerasan visual.
Para pengguna media sosial yang 'lemah imannya' cenderung menjadi pengikut komunikasi kekerasan verbal dan kekerasan visual. Pada akhirnya, fenomena komunikasi kekerasan verbal dan kekerasan visual seakan menjadi bagian dari batang tubuh komunikasi verbal-visual yang dihalalkan oleh ruang dan waktu menurut versi media sosial.
Pengikut komunikasi kekerasan verbal dan kekerasan visual kemudian secara alamiah berserikat dan berjejaring. Mereka sengaja mengeluarkan pernyataan kontroversial tanpa dilandasi pemikiran matang seturut dengan kematangan usianya.
Terpenting, mereka menyeriusi diri dengan mengeluarkan pendapat yang disandarkan pada tren komunikasi kekerasan verbal dan kekerasan visual di media sosial. Demi mengejar segepok fulus, mereka menjalankan kerja komunikasi dengan mengedepankan komunikasi kekerasan verbal dan kekerasan visual.
ADVERTISEMENT
Bagi pelaku tidak berbayar, mereka melakukan kerja komunikasi semacam itu demi mendulang popularitas diri lewat perolehan 'jempol biru like'. Modus operandinya dengan senantiasa membagikan informasi yang di dalamnya mengandung unsur kekerasan verbal dan kekerasan visual berwujud ujaran kebencian.
Selain motif ekonomi dan popularitas, mereka menargetkan agar dirinya menjadi bagian penting dari jagat realitas media sosial. Dari sana, mereka kemudian memosisikan diri sebagai tokoh masyarakat yang senantiasa dirujuk media massa cetak dan elektronik sebagai narasumber pemberitaan.
Tuna Komunikasi
Dalam perspektif komunikasi publik, para pemuja komunikasi kekerasan verbal dan kekerasan visual ditengarai menjadi produsen miskomunikasi yang tuna komunikasi. Mereka pun cacat dalam berbahasa di media sosial. Mereka melakukan jalan pintas seperti itu karena tuturan budi bahasanya tidak sejalan dengan pijakan perilakunya.
ADVERTISEMENT
Pada tahun politik ini, hal itu terjadi karena perubahan struktur sosial dan gaya hidup modern. Bagi pemuja komunikasi kekerasan verbal dan kekerasan visual, kedua hal tersebut menjadi lahan subur guna menyemaikan bibit-bibit kekerasan verbal dan kekerasan visual lewat media sosial yang sangat permisif.
Terhadap fenomena tuna komunikasi dalam cacat dalam berbahasa, ditengarai para pemuja komunikasi kekerasan verbal dan kekerasan visual telah terperosok ke dalam suatu ambiguitas sosial. Mereka seakan tidak bisa lagi memfokuskan mana yang benar dan salah. Mereka mengalami kebingungan sosial untuk menentukan mana yang baik dan buruk. Hati dan perasaan mereka beku membatu untuk menimbang mana yang bermoral dan sebaliknya.
Kepadatan Kota Jakarta. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Harus diakui, produsen miskomunikasi yang memproduksi kekerasan verbal dan kekerasan visual adalah sekelompok manusia kontemporer. Mereka hidup sejahtera di dalam masyarakat konsumer. Sayangnya mereka merupakan kelompok manusia yang senantiasa merasa kesepian di tengah keramaian.
ADVERTISEMENT
Lebih menyedihkan lagi, di tengah popularitas dan bergelimang harta kekayaan, mereka adalah manusia kosong nirspiritualitas. Yang terjadi kemudian, mereka tidak memiliki rasa kebahagiaan yang sesungguhnya. Mereka pun kehilangan kebijaksanaan dan jati diri.
Bahasa Kalbu
Pertanyaannya kemudian, pada tahun politik ini, kenapa bangsa Indonesia dilanda bencana komunikasi? Kenapa fenomena komunikasi kekerasan verbal dan kekerasan visual hingga hari ini semakin mengeras? Apa yang mereka cari dalam perseteruan ini?
Benarkah fenomena komunikasi kekerasan verbal dan kekerasan visual sudah dihalalkan? Betulkah fenomena komunikasi kekerasan verbal dan kekerasan visual sudah menjadi bahasa baru untuk mewujudkan kehendak dan keinginan akan suatu hal oleh para pihak?
ADVERTISEMENT
Apa yang harus dilakukan untuk menghilangkan fenomena kekerasan verbal dan kekerasan visual di Indonesia? Apakah rasa asih dan cinta kasih antarumat manusia sudah mulai pudar dari bumi Indonesia?
Atas pertanyaan tersebut, mari bersama-sama kita jawab dan carikan jalan keluarnya dengan sebaik-baiknya dan sebenar-benarnya. Hal itu menjadi penting karena sejatinya menjalani hidup dan kehidupan di dunia ini selalu beriringan dengan hadirnya ribuan tanda. Baik tanda yang berasal dari sesama umat manusia. Tanda yang diproduksi oleh alam raya. Atau pun tanda-tanda zaman yang diguratkan Tuhan.
Ilustrasi diskusi Foto: Pixabay
Oleh karena itu, sebagai makhluk sosial harus memiliki kesadaran penuh saat menjalankan proses komunikasi. Lebih bagus lagi saat menjalankan proses komunikasi dilakukan dengan pendekatan komunikasi dialogis.
ADVERTISEMENT
Pendekatan proses komunikasi dialogis diyakini mampu menanggulangi bencana komunikasi. Sebab sejatinya komunikasi dialogis adalah sebuah proses komunikasi yang dilakukan seorang komunikator kepada komunikan alias target sasaran.
Dalam menjalankan proses komunikasi dialogis, pesan yang disampaikan memanfaatkan jasa baik media komunikasi–salah satunya media sosial–kepada komunikan dengan mengedepankan aspek rasa asih dan cinta kasih.
Yang membedakan proses komunikasi dialogis dengan komunikasi kekerasan verbal dan kekerasan visual adalah aksentuasi untuk menyampaikan pesan verbal ataupun visual dengan mengedepankan bahasa kalbu. Kamusnya bermukim di dalam hati sanubari insan makhluk sosial yang memposisikan dirinya sebagai komunikator.
Bahasa kalbu yang menjadi ujung tombak komunikasi dialogis ini mampu menggerakkan getar-getar syaraf nalar perasaan dari komunikan. Keberadaannya secara egaliter sanggup menerima pesan kasih sayang lewat frekuensi komunikasi dialogis dalam balutan rasa cinta kasih.
ADVERTISEMENT
Dr. Sumbo Tinarbuko, Pemerhati Budaya Visual, Komunikasi Publik dan Dosen Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta
Dr. Sumbo Tinarbuko, Pemerhati Budaya Visual, Komunikasi Publik, dan Dosen Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta