Konten dari Pengguna

Rebranding TVRI Era Budaya Digital

Dr. Sumbo Tinarbuko
Pemerhati Budaya Visual, Komunikasi Publik dan Dosen Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta
4 April 2019 0:31 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dr. Sumbo Tinarbuko tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dr. Sumbo Tinarbuko, Pemerhati Budaya Visual, Komunikasi Publik, Dosen Komunikasi Visual Fakultas Seni Rupa dan Program Pascasarjana ISI Yogyakarta. Ilustrasi: Akhmad Fadly
zoom-in-whitePerbesar
Dr. Sumbo Tinarbuko, Pemerhati Budaya Visual, Komunikasi Publik, Dosen Komunikasi Visual Fakultas Seni Rupa dan Program Pascasarjana ISI Yogyakarta. Ilustrasi: Akhmad Fadly
ADVERTISEMENT
Direktur Utama TVRI, Helmy Yahya, kepada pers seperti dikutip harian Kompas (30/3/2019) mengatakan, peluncuran logo baru TVRI berlangsung pada Jumat, (29/3/2019) malam di Auditorium TVRI, Senayan, Jakarta. Momentum peluncuran logo baru TVRI Pusat juga diikuti 29 stasiun lokal TVRI di 29 kota.
ADVERTISEMENT
"Ini logo kedelapan Lembaga Penyiaran Publik (LPP) yang berdiri pada 24 Agustus 1962," ungkap Helmy Yahya. Dikatakannya, logo TVRI sebelumnya telah dipakai lebih dari 12 tahun.
"Kita sekarang memasuki era digital yang tidak bisa dielakkan. Karena itulah, logo TVRI berbentuk bulatan besar yang menggambarkan dunia dan bulatan kecil lainnya yang menggambarkan Indonesia. Logo baru ini menekankan, budaya Indonesia adalah bagian dari peradaban dunia," terang Direktur Utama TVRI, Helmy Yahya.
Sementara itu, Kepala Stasiun TVRI Jogja, Tri Widiarto, kepada wartawan Harianjogja.com (2/4/2019) Herlambang Jati Kusumo mengatakan, "Logo baru TVRI pada 2019 semakin memicu TVRI Jogja untuk selalu memberikan konten yang terbaik bagi masyarakat dan menjadi pengungkit untuk bersaing di tingkat internasional."
Logo Televisi Republik Indonesia yang baru Foto: wikipedia
Bagi Kepala Stasiun TVRI Jogja, keberadaan logo baru, selain menyampaikan TVRI sebagai pemersatu bangsa juga sebagai langkah TVRI siap menuju kancah dunia. Di samping itu, paparnya, pergantian logo TVRI diharapkan mampu mengubah budaya organisasi dan budaya kerja menjadi semakin baik.
ADVERTISEMENT
"Hal itu perlu diupayakan agar lebih menarik teman-teman generasi milenial. Di sisi lainnya, wajib dilakukan guna menggaet kaum milenial. Untuk mendekatkan diri kepada generasi milenial, saat ini TVRI Jogja telah gencar berbagi program lewat media sosial," papar Tri Widiarto.
Jejak Digital
Keinginan dan harapan Helmy Yahya telah diejawantahkan Presiden Direktur DMID Group, Daniel Surya, yang diberi mandat untuk melakukan proses rebranding TVRI.
Dalam buku panduan identitas TVRI yang digarap DMID Group di bawah komando Presiden Direktur, Daniel Surya, dituliskan, ‘’TVRI adalah media publik dengan integritas tinggi untuk menyuarakan berbagai nilai, budaya dan keberagaman yang menjadi kebanggaan Indonesia melalui konten programnya yang berkualitas ke seluruh lapisan masyarakat hingga ke berbagai penjuru tempat."
ADVERTISEMENT
"Karena itulah TVRI harus bisa membawa kebanggaan Indonesia dalam peradaban dunia."
Kehendak baik Direktur Utama TVRI Helmy Yahya untuk menghadirkan rebranding TVRI Pusat bersama 29 stasiun lokal TVRI di 29 kota layak didukung oleh siapa pun. Terutama penggemar dan pemirsa TVRI.
Mengapa demikian? Karena pemikiran orang nomor satu di kantor pusat TVRI ini, berdasarkan realitas sosial yang sedang berkembang di kalangan masyarakat Indonesia. Helmy sangat yakin keberadaan TVRI pada era digital ini menjadi tempat merepresentasikan jejak peradaban bangsa Indonesia.
Catatan verbal dan catatan visual jejak peradaban bangsa Indonesia yang direkam dan diproduksi oleh TVRI Pusat bersama 29 stasiun lokal TVRI. Dipercaya mampu menjadi jejak digital peradaban bangsa Indonesia. Keberadaanya menjadi sumbangan sekaligus sumber inspirasi bagi generasi milenial.
ADVERTISEMENT
Untuk mengenalkan serta menunjukkan keberadaan jejak peradaban bangsa Indonesia, program rebranding TVRI layak dilakukan dan dijalankan berkesinambungan. Hal ini perlu digarisbawahi karena pada era peradaban digital sekarang ini brand diposisikan sebagai panglima perang yang merepresentasikan garis perjuangan dan jati diri dari TVRI.
Rebranding TVRI dihadirkan untuk merepresentasikan kualitas nilai yang memberikan unsur pembeda secara signifikan antara brand milik lembaga penyiaran yang satu dengan lainnya. Hal yang sama terjadi di era perdagangan modern. Mereka menjual brand dan bukan produk. Apalagi produk yang diperdagangkan, semuanya hampir sama.
Agar brand memiliki kekuatan yang bersifat humanis, perlu dibuat kesepakatan baru antar para pihak. Sebab pada dasarnya, sebuah brand, dalam konteks branding lembaga penyiaran TVRI, keberadaannya tidak sekadar membuat serta merancang nama brand saja. Kemudian diparafrasekan dan divisualkan dengan pendekatan desain komunikasi visual menjadi sebuah desain logo lengkap dengan identitas visualnya.
ADVERTISEMENT
Sebab sejatinya, brand tidak sama dengan merek. Ibarat raga manusia, merek sekadar nama pribadi manusia. Ketika pendapat umum masih menganggap brand identik dengan merek. Realitas sosial yang muncul, nama tersebut (baca: merek) senantiasa berjarak dengan objek yang diberi nama.
Atas dasar itulah disodorkan konsep baru yang medekonstruksi brand bukan kembaran dari merek. Sebab brand adalah merek plus-plus. Keberadaannya meliputi segenap jiwa raga dari sang manusia itu sendiri. Brand harus dijaga dalam posisi sebagai kata kerja. Bukan kembali pada posisi asal, yakni tetap menjadi kata benda.
Budaya Layar
Ketika TVRI Pusat bersama 29 stasiun lokal TVRI di 29 kota melakukan upaya rebranding, keberadaannya diharapkan mampu menyuarakan berbagai nilai kebaikan, kebudayaan dan kearifan lokal serta keberagaman adat istiadat masyarakat Indonesia. Program tontonan dan tuntunan yang diproduksi TVRI harus dapat menjadi kebanggaan bangsa Indonesia.
ADVERTISEMENT
Suka tidak suka, TVRI Pusat bersama 29 stasiun lokal TVRI di 29 kota menjadi bagian dari budaya layar. Keberadaan TVRI dalam konteks budaya layar sudah menjadi bagian dari hidup dan kehidupan masyarakat dunia.
Pengikut budaya layar ditandai dengan aktivitasnya yang senantiasa bersinggungan dengan layar televisi, komputer dan telepon pintar yang terhubung dengan jaringan internet. Ketika bekerja mencari nafkah, layar komputer, telepon pintar berikut koneksi internet menjadi kebutuhan mutlak yang tidak bisa dipisahkan selama 8 jam di kantornya. Begitu juga layar televisi dan layar telepon genggam selalu standby 24 jam penuh di sampingnya.
Jika dirunut lebih jauh, budaya layar ini ditengarai sejalan pemikiran McLuhan tentang medium yang berasal dari perubahan dan kemudian menimbulkan pergantian bersifat paralel. Dengan demikian dapat dikatakan, budaya layar berhasil membangun ruang publik baru dan komunitas maya baru dengan memanfaatkan piranti elektronik.
ADVERTISEMENT
Budaya layar dinilai sukses mewadahi masyarakat modern. Mereka sejatinya sangat haus melakukan interaksi sosial secara realistis dengan sesamanya. Sayangnya, hal itu tidak bisa direalisasikan karena mereka terjebak deadline dan rutinitas administrasi yang membelenggu pekerjaannya.
Selain itu, kebutuhan manusia modern itu semakin hari kian membutuhkan ruang dan waktu. Ruang adalah media untuk melakukan komunikasi dengan siapa pun. Sedang pada unsur waktu, setiap individu senantiasa membutuhkan tontonan, tuntunan, hiburan dan informasi produk barang dan jasa dengan cepat dan efisen. Maka keberadaan budaya layar dengan dukungan peralatan elektronik dan internet mendapatkan tempat terhormat bagi pengikutnya.
Karena budaya layar senantiasa memfasilitasi ruang dan waktu yang dibutuhkan manusia guna mengumandangkan eksistensinya. Maka budaya layar menyediakan kesempatan bagi setiap individu untuk melakukan hal itu. Budaya layar menyerahkan dirinya menjadi sarana merepresentasikan realitas diri pribadi follower-nya melalui piranti elektronik dan internet.
ADVERTISEMENT
Pada titik inilah, fenomena sosial merebaknya budaya layar menimbulkan kontradiksi sekaligus memunculkan paradoks yang tidak dapat dihindarkan antara satu dengan lainnya. Dan hal ini menjadi gejala alamiah dalam kehidupan jagat virtual.
Pendidikan Layar Televisi
Kambing hitam atas merebaknya fenomena sosial yang bersifat kontradiksi sekaligus paradoks dialamatkan kepada layar televisi. Pada titik ini, sudah menjadi rahasia umum manakala layar televisi menjadi virus yang mampu menyebarkan ‘kejelekan’ sekaligus ‘kebaikan’ dalam waktu bersamaan.
Televisi telah menjadi ‘orang tua baru’ bagi anak-anak yang ditinggal seharian oleh orang tuanya demi mencari sesuap nasi. Sementara layar televisi bagi remaja dan orang dewasa bagaikan buku pelajaran yang mengajarkan budaya hedonis dan konsumtif dalam menapaki kehidupan modern ini.
ADVERTISEMENT
Dalam layar televisi hadir tukang sulap yang mampu menyihir penonton. Mereka membimbing penonton agar mengganti gaya hidup tradisional dengan gaya hidup modern.
Pendidikan ala layar televisi mengajarkan bagaimana cara berpikir, berbicara, berdebat, berkelahi, menyerang dan menciptakan budaya baru. Mereka juga dilatih untuk mengedepankan pertimbangan emosional dalam konteks memenuhi kebutuhan konsumsi. Hasil dari pendidikan layar televisi dapat disimak berupa perilaku konsumtif. Ditengarai, mereka membeli produk barang dan jasa melebihi apa yang dibutuhkan. Bahkan cenderung berlebihan.
Di dalam layar kaca didendangkan pula sebuah dogma baru: kekayaan duniawi harus diburu. Sebab kehormatan dan keberhasilan seseorang ditakar dengan seberapa banyak uang yang dimilikinya. Artinya, kuasa uang menjadi penanda kasta sosial seseorang di tengah gejolak zaman yang semakin anomali ini. Dampaknya, manusia menjadi semakin egois di dalam mempertahankan hidupnya. Segala jalan ditempuh demi mendapatkan segenggam kehormatan duniawi.
ADVERTISEMENT
Dahsyatnya, ajaran semacam itu mendapatkan persemaiannya yang subur di dalam ladang hati, sikap dan gaya hidup sebagian besar masyarakat Indonesia yang mengaku modern. Semuanya itu semakin menegaskan keterpurukan kita sebagai masyarakat yang miskin imajinasi. Sekumpulan besar individu yang cenderung menisbikan keselarasan nalar perasaan dan akal pikiran.
Maka tidaklah berlebihan manakala kita mengharapkan TVRI lewat upaya rebranding mampu menghidupkan imajinasi kreatif rakyat Indonesia. Program tontonan dan tuntunan yang diproduksi TVRI harus dapat menjadi kebanggaan bangsa Indonesia. Hal ini perlu menjadi prioritas pihak TVRI.
Mengapa? Karena sebagian besar masyarakat Indonesia sedang terserang sindrom mati rasa perasaannya akibat terpaan gendam visual perikehidupan semu yang ditayangkan lewat layar televisi.
Upaya rebranding TVRI diharapkan dapat menghidupkan dan mengembangkan aspek moralitas, kreativitas dan budi pekerti dalam payung kearifan lokal. Janji TVRI yang tertuang dalam konsep rebranding seperti dituliskan di atas harus segera diwujudkan.
ADVERTISEMENT