Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Filosofi Bambu: Ngelmu Pring (Bagian 1)
4 September 2023 14:15 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Suprapto-apt tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Di berbagai penjuru belahan dunia, bambu memiliki aspek filosofis dalam beberapa kebudayaan bangsa. Bangsa Tiongkok menjadikan bambu sebagai simbol keteguhan dan ketulusan. Sementara bangsa India menjadikan bambu sebagai tanda atau simbol persahabatan.
Bambu sering kali pula dijadikan sebagai simbol sosok seorang ksatria, jagoan, pendekar bela diri, bahkan dijadikan senjata oleh para pejuang kemerdekaan Indonesia dalam upaya mengusir para penjajah.
Tak jarang apabila kita melihat adegan film pendekar Tiongkok sering menggunakan bambu sebagai senjata, pun dalam film perjuangan di layar kaca Indonesia. Konon, bambu runcing mampu mengalahkan musuh yang menggunakan senjata berteknologi canggih kala itu.
Bambu sebagai salah satu aspek dalam unsur kebudayaan dan kepercayaan masyarakat juga dapat ditemui dalam masyarakat Jawa. Sebagai salah satu etnis terbesar di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara, masyarakat Jawa memiliki berbagai filosofi hidup yang berkaca dari alam sekitar.
ADVERTISEMENT
Seperti pohon bambu, yang tak luput dari penganalogian falsafah Jawa , selanjutnya falsafah bambu sebagai pedoman hidup ini dikenal dengan ngelmu pring (belajar dari bambu) yang merupakan salah satu gambaran karakteristik orang Jawa.
Seorang antropolog Niels Mulder dalam bukunya "Mistisme Jawa: Ideologi di Indonesia" menjelaskan bahwa etnis Jawa di Indonesia berjumlah lebih dari 40 persen dan 85 persen di antaranya memeluk agama Islam, namun beda secara kultural dan tradisi.
Tradisi Jawa dihimpun dari kesusastraan sanskerta selama ribuan tahun seperti Pararaton, Negarakertagama, dan Babad Tanah Jawi. Dari sini kemudian muncullah ajaran kejawen—dan kejawen bukan kategori religius melainkan lebih kepada etika dan sebuah gaya hidup yang diilhami dari pemikiran Jawa.
Sementara itu, salah seorang Indonesianis Ben Anderson dalam tulisannya "Mitologi dan Toleransi Orang Jawa" menyebutkan karakteristik orang sebagaimana tercermin dalam dunia wayang. Wayang adalah pandangan moral yang menjadi pedoman terhadap perilaku orang Jawa. Di sana tergambar sifat-sifat manusia yang dicerminkan lewat tokoh di dalamnya.
Analogi yang demikianlah pada akhirnya memunculkan falsafah-falsafah dalam kehidupan masyarakat Jawa. Oleh karena itulah terkadang orang Jawa memiliki kehidupan yang sangat spesifik.
ADVERTISEMENT
Ki Ageng Soerja Mentaraman, salah seorang filsuf Jawa menyebutkan bahwa manusia sendirilah yang mampu mencapai kesempurnaan dan mengembangkan pengetahuan diri dan pemahaman mereka tentang suatu kehidupan.
Pengembangan pengetahuan dapat diperoleh dengan berbagai macam cara, termasuk di antaranya adalah dengan memahami dan memaknai keberadaan alam lingkungan sekitar. Lalu menganalogikan sesuatu lantas menjadikannya sebuah falsafah dan petuah hidup bijak Dan salah satu yang dapat dianalogikan adalah pohon bambu atau dikenal sebagai ngelmu pring.
Filosofi Bambu (Pring)
Bambu (Jawa: pring), memiliki berbagai ragam jenis di antaranya bambu kuning (pring kuning), bambu cendhani, bambu apus, bambu wuluh, bambu dheling, bambu petung, bambu bonggol, dan bambu ori.
Nama dari jenis bambu tersebut dalam falsafah hidup orang Jawa memiliki makna-makna filosofis tertentu. Adapun makna-makna filosofis bambu di antaranya adalah sebagai berikut.
ADVERTISEMENT
Falsafah ngelmu pring juga menyebutkan bahwa “pring kuwi suket, dhuwur tur jejeg, yen rejeki seret ora usah podo buneg”. Artinya adalah walaupun bambu adalah masuk dalam keluarga rumput namun dapat berdiri tegak, walaupun rejeki sedang seret hendaknya jangan terlalu suntuk dan bersedih hati.
Selain itu, dalam ngelmu pring, kita diajarkan bagaimana hendaknya kita selalu ingat akan mati sebagaimana pada penggalan “menungsa podo eling yen tekan titi wancine bakal digotong nganggo pring, bali neng ngisor lemah podo ngisor oyot pring”.
Hal tersebut memiliki arti yang sangat mendalam, yakni apabila manusia sudah sampai waktunya (dalam hal ini mati) juga akan diusung dengan keranda yang terbuat dari bambu menuju ke tempat peristirahatan terakhir.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana hal ini dapat kita temui dalam upacara kematian masyarakat pedesaan Jawa. Setelah diusung dan dimakamkan, maka sang manusia tersebut akan kembali kepada bumi dan beriringan dengan akar-akar bambu.
Nah, demikian beberapa jenis dan filosofi bambu , yang cukup banyak dan sangat bermanfaat untuk kita ambil pelajarannya. Pada edisi berikutnya kita akan bahas jenis produk dan manfaat bambu untuk kehidupan manusia.