Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Memahami Sekstorsi, Kekerasan Seksual Berbasis Gender Online
10 Maret 2024 9:56 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Suprihatin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Perkembangan zaman yang kian modern, ternyata belum mampu menghentikan jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan. Kecanggihan teknologi berbasis internet justru memunculkan varian baru dalam ragam kekerasan terhadap perempuan
, yakni kekerasan seksual berbasis gender online (KBGO).
ADVERTISEMENT
KBGO atau KBG yang difasilitasi teknologi merupakan tindakan atau aksi yang dilakukan melalui medium teknologi dengan niatan atau maksud melecehkan korban berdasarkan gender atau seksual. Jika tidak berdasarkan gender, maka kekerasan tersebut dapat dikategorikan sebagai kekerasan umum di ranah digital. Kekerasan online tersebut penting dibedakan dari bentuk kekerasan lainnya, karena akan menentukan upaya pencegahan dan solusi yang perlu dilakukan.
Committee on the Elimination of Discrimination against Women (CEDAW) mendefinisikan KBGO sebagai kekerasan yang ditujukan kepada perempuan karena dia perempuan atau kekerasan yang memengaruhi seorang perempuan secara tidak proporsional, termasuk kerusakan atau penderitaan fisik, mental atau seksual, tindakan intimidasi, pemaksaan dan perampasan kebebasan. Perempuan dianggap sebagai pihak yang paling rentan mengalami KBGO, meskipun tidak menutup kemungkinan bahwa lelaki juga bisa menjadi korban KBGS.
ADVERTISEMENT
Sejak awal perkembangan internet, KBGO merupakan masalah serius yang telah menjadi fenomena global. Hal ini diperburuk oleh kondisi pandemi Covid-19. Federal Bureau of Investigation (FBI) mengeluarkan pernyataan resmi tentang peningkatan risiko cybersex di negara-negara Asia Tenggara sebagai akibat dari pandemi Covid-19 dan karantina. Pernyataan dari FBI ini sejalan dengan data tentang tingginya tingkat KBGO di Indonesia yang meningkat hampir 400% dalam kurun waktu satu tahun sebagai dampak dari tingginya tingkat pengguna internet dan tingkat pengguna media sosial selama pandemi Covid-19 di Indonesia.
Kondisi ini secara tidak langsung berdampak pada peningkatan kasus KBGS di Indonesia. Data Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2020, menunjukkan peningkatan kasus KBGS selama pandemi Covid-19, temuan pada data Lembaga Penyedia Layanan menunjukan bahwa KBGO pada tahun 2020 meningkat menjadi 510 kasus, yang mana pada tahun sebelumnya terdapat 126 kasus. Mengutip Dini Pramita, Samuel Abrijani Pangerapan selaku Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika, menyebutkan bahwa kasus kekerasan seksual secara online di Indonesia sudah tergolong gawat, dari tahun 2015 hingga April 2021, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) sudah menangani 330 ribu kasus pornografi dan 23 di antaranya merupakan kasus pemerasan seksual atau disebut sekstorsi (sextortion).
ADVERTISEMENT
Sekstorsi merupakan bentuk KBGO yang dilakukan dengan memeras korban. Pelaku akan memanfaatkan foto atau video pornografi milik korban yang didapatkan baik secara hacking, maupun diberikan secara langsung oleh korban atas dasar kepercayaan dalam suatu hubungan. Foto atau video tersebut, lantas disalahgunakan oleh pelaku sekstorsi dengan memberikan ancaman guna memeras korban baik secara materil maupun secara seksual.
Dari beberapa contoh kasus yang penulis ketahui, para pelaku ini umumnya memanfaatkan media sosial untuk mencari korban. Seringkali korban yang diincar adalah para perempuan setengah baya yang sudah menikah. Pelaku umumnya menggunakan foto profil palsu dengan menggunakan wajah pria yang dianggap rupawan dengan karakter profesi tentara atau pria asing yang mengaku bekerja sebagai ekspatriat di perusahaan minyak.
ADVERTISEMENT
Pelaku kemudian akan menghubungi korban melalui pesan di media sosial dengan berpura-pura ingin berkenalan. Setelah pelaku mendapatkan kepercayaan dari korban, maka mereka akan berkomunikasi secara intensif hingga korban memberikan nomor kontak. Relasi terus dilakukan secara intensif hingga terjalin komunikasi yang lebih intim. Dari kedekatan relasi tersebut, pelaku kemudian akan mulai meminta sejumlah uang. Awalnya hal ini disampaikan secara halus dengan berbagai alasan. Ketika keinginan tersebut tidak dipenuhi oleh korban, maka pelaku akan menggunakan foto-foto atau video dari hubungan mereka untuk memeras korban dengan ancaman akan menyebarkannya kepada pasangan, keluarga, atau relasi korban untuk mempermalukan. Korban yang ketakutan kemudian diharapkan akan menuruti permintaan pelaku dan mentransfer sejumlah uang yang diinginkannya.
ADVERTISEMENT
Lindungi Diri, Cegah Sekstorsi
Pengancaman, pemerasan, dan penyebaran konten pornografi milik korban yang dilakukan oleh pelaku sekstorsi jelas telah merampas hak korban atas perlindungan diri pribadi dan hak korban atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman sebagaimana dijamin oleh konstitusi yang termaktub pada Pasal 28 G ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebelum diundangkannya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), tidak ada satu peraturan perundang-undangan pun yang mengatur tindak pidana sekstorsi secara eksplisit dan komprehensif.
Dengan kondisi yang demikian, tindakan preventif merupakan salah satu hal penting yang perlu diketahui sebagai upaya melindungi diri sendiri maupun orang-orang di sekitar kita dari ancaman sekstorsi. Apa saja yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya sekstorsi?
ADVERTISEMENT
Pertama, melindungi privasi dan data pribadi di internet. Hal ini meliputi akun media sosial, akun marketplace, dan akun-akun platform digital yang terbuka sistemnya di perangkat telepon seluler. Hal ini penting mengingat tingkat penggunaannya yang cukup tinggi, dan pembuatan akun-akun tersebut mensyaratkan pengguna untuk mengunggah data diri. Beberapa orang bahkan mencantumkan informasi pribadi yang sangat lengkap di profil media sosialnya secara terbuka mulai dari asal sekolah, alamat rumah, alamat kantor, profil pasangan dan keluarga. Data pribadi yang terbuka di media sosial meningkatkan risiko untuk digunakan untuk melakukan pemerasan atau tindakan-tindakan kriminal lainnya.
Kedua, berhati-hati dan selalu melakukan verifikasi ketika ada yang mengajak berkenalan terutama dari orang yang tidak dikenal di dunia nyata. Kita bisa mengecek akun profilnya terlebih dahulu sebelum menerima pertemanannya. Jika merasa pertemanan tersebut tidak berdampak signifikan, maka kita dapat menolak permintaan tersebut secara langsung dan memblokir yang bersangkutan.
ADVERTISEMENT
Ketiga, tidak mudah memberikan informasi nomor telepon maupun informasi akun media sosial kepada orang lain. Keduanya berpotensi disalahgunakan baik untuk melakukan sekstorsi kepada kita maupun relasi kita ataupun untuk menggali informasi-informasi yang lebih detil tentang diri kita, pekerjaan kita, aktivitas sehari-hari, maupun keluarga dan teman dekat kita.
Keempat, menggunakan kata kunci (password) yang kuat untuk akun-akun media sosial maupun platform digital yang kita gunakan. Akan lebih baik jika ada autentifikasi dua langkah yang bisa kita gunakan sebagai pelindung ganda. Misalnya ketika telepon seluler hilang atau tertinggal.
Kelima, sedapat mungkin tidak menggunakan perangkat elektronik milik publik. Jika pun terpaksa menggunakannya maka kita perlu memastikan untuk selalu keluar akun (log out) dan menghapus riwayat penggunaannya agar tidak disalahgunakan.
ADVERTISEMENT
Keenam, menghindari meminjam atau meminjamkan perangkat elektronik milik kita kepada orang lain. Hal tersebut juga berpotensi memungkinkan pencurian data atau penggunaan akun-akun kita tanpa izin.
Sudah Terjadi, Apa Yang Bisa Dilakukan?
Dalam buku Panduan Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) yang diterbitkan Safenet, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan ketika kita atau orang terdekat kita menjadi korban kejahatan sekstorsi.
Pertama, dokumentasikan hal-hal yang terjadi. Jika memungkinkan kita perlu mendokumentasikan semua hal secara detail. Misalnya dengan meng-capture pesan-pesan, foto, video yang dikirim oleh pelaku. Umumnya ketika menjadi korban, seseorang akan mengalami ketakutan sehingga cenderung menghapus semua percakapan atau pesan yang diterima dari pelaku. Dokumentasi ini akan berfungsi menjadi barang bukti yang perlu dilampirkan ketika kita membuat laporan. Dokumen yang dibuat secara kronologis, dapat membantu proses pelaporan dan pengusutan pada pihak berwenang, misalnya platform online tempat terjadinya KBGO atau kepolisian.
ADVERTISEMENT
Kedua, pantau situasi yang dihadapi. Meski tidak dianjurkan, kita dapat melakukan pemetaan risiko apakah mungkin menghadapi pelaku sendirian? Apakah mungkin untuk melakukan dokumentasi sendiri? Pantau dan nilai situasi yang sedang dihadapi dan putuskan yang paling baik dan aman untuk dilakukan diri.
Langkah ketiga meminta bantuan. Kita dapat mencari tahu individu, lembaga, organisasi, atau institusi terpecaya yang dapat memberikan bantuan terdekat dari lokasi tinggal, seperti bantuan pendampingan hukum melalui Lembaga Bantuan Hukum (LBH), pendampingan psikologis seperti layanan konseling, dan bantuan terkait keamanan digital.
Beberapa lembaga yang menyediakan layanan pendampingan sbb.:
Komnas Perempuan. Komnas Perempuan menyediakan saluran khusus pengaduan melalui telepon di 021-3903963, atau melalui surel ke: [email protected].
Dinas Pemberdayaan Perempuan & Anak. Di level provinsi maupun kota, Dinas Pemberdayaan Perempuan & Anak telah memiliki unit Puspaga (Pusat Pembelajaran Keluarga) yang menyediakan layanan pengaduan. Di Surabaya layanan Puspaga dapat diakses melalui situs: https://ppa-dp3appkb.surabaya.go.id/login.
ADVERTISEMENT
SAFEnet. Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) adalah organisasi masyarakat sipil yang memperjuangkan hak-hak digital, termasuk hak untuk mengakses internet, hak untuk bebas berekspresi, dan hak atas rasa aman di ranah digital. SAFEnet menyediakan layanan pengaduan yang dapat diakses melalui situs: https://aduan.safenet.or.id/.
Langkah keempat yang perlu dilakukan korban adalah memblokir pelaku. Putus semua jalur komunikasi. Pemutusan jalur komunikasi bertujuan mengurangi trauma korban, selain itu pelaku tidak memiliki kesempatan untuk terus mengintimidasi korban melalui berbagai saluran pesan.
Langkah kelima yakni melapor. Peristiwa kekerasan berbasis online dapat dilaporkan kepada platform yang bersangkutan dengan melampirkan bukti-bukti dokumentasi yang dimiliki korban. Platform media online tersebut nantinya akan memblokir akun pelaku atau melakukan take down unggahan-unggahan pelaku setelah melakukan validasi***
ADVERTISEMENT