Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Revisi UU ITE Disahkan: Masyarakat Harus Cerdas dan Berdaya
9 Desember 2023 13:07 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Suprihatin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) kemarin (6/12) resmi disahkan. Dengan demikian, UU ITE telah mengalami dua kali perubahan sejak diundangkan.
ADVERTISEMENT
Yang pertama, perubahan menjadi UU Nomor 19 Tahun 2016, yang menunjukkan dinamika dan keinginan masyarakat akan penyempurnaan pasal-pasal UU ITE, khususnya ketentuan pidana konten ilegal. Sementara untuk perubahan kedua Undang-Undang ITE, menurut Menkominfo Budi Arie—sebagaimana dikutip dalam berita tersebut—lebih menekankan pada arti penting UU dalam mewujudkan keadilan, ketertiban umum, dan kepastian hukum di masyarakat.
Pro kontra bertebaran di jagad digital berkait disahkannya revisi UU tersebut. Henry Subiakto, Guru Besar Komunikasi Universitas Airlangga menyoroti pasal 27 ayat (1) yang dianggap mengakomodasi semangat seks bebas:
ADVERTISEMENT
Terma “untuk diketahui umum” yang dimuat dalam pasal ini bermakna bahwa harus ada unsur niat untuk diketahui umum, sebagai syarat agar pelaku bisa dipidana berdasar pasal 27 ayat (1) UU ITE. Jika niat penyebarannya dilakukan untuk privasi, perselingkuhan pribadi, menjadi boleh dan tidak bisa dipidana karena bukan untuk diketahui umum.
Artinya, ketika seseorang mengirimkan video porno kepada kita, kepada teman, atau relasinya untuk kepentingan pribadi, maka pasal 27 ayat 1 UU ITE yang baru disahkan ini tidak bisa menjerat pelaku. Karena yang bisa dijerat hanya penyebaran konten yang bertujuan untuk diketahui umum.
Negara Gagal Lindungi Publik, Masyarakat Harus Cerdas dan Berdaya
Meskipun menjadi tugas negara untuk melindungi publik, namun kenyataan telah disahkannya revisi UU ITE ini menjadi fenomena yang mau tidak mau mesti disikapi. Masyarakat yang cerdas, terliterasi, dan berdaya menjadi kunci yang dapat meminimalisasi dampak yang ditimbulkan. Tentu ini menjadi tantangan tersendiri mengingat angka literasi digital di Indonesia masih berada pada level sedang.
ADVERTISEMENT
Laporan hasil pengukuran indeks literasi digital Indonesia tahun 2022 yang dirilis Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) bersama Katadata Insight Center (KIC), pada bulan Februari 2023 lalu menyebutkan bahwa indeks literasi digital Indonesia pada 2022 berada di level 3,54 poin dari skala 1-5.
Secara umum tingkat literasi digital masyarakat Indonesia berada di level "sedang". Indeks tersebut naik 0,05 poin dibanding 2021 yang masih berada di level 3,49. Jika dibandingkan pada 2020, angkanya naik 0,08 poin. Adapun indeks literasi digital dalam laporan ini diukur melalui empat pilar indikator besar, yakni Digital Skills, Digital Ethics, Digital Safety, dan Digital Culture.
Indikator Digital Skills mengukur kecakapan pengguna internet dalam menggunakan komputer atau gawai, mengunggah/mengunduh data, mengecek ulang informasi dari internet, dan sebagainya. Pada elemen ini indeks menunjukkan angka 3,52 poin atau meningkat 8 poin dari tahun sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Digital ethics atau indikator etika digital juga meningkat dari tahun sebelumnya 3,53 poin menjadi 3,68 poin pada 2022. Faktor ini mengukur kepekaan pengguna internet dalam mengunggah konten tanpa izin, berkomentar kasar di media sosial, menghargai privasi di media sosial, dan sebagainya.
Elemen Digital safety atau indikator keamanan digital naik dari 3,10 poin menjadi 3,12. Pilar ini mengukur kemampuan pengguna internet dalam mengidentifikasi dan menghapus spam/malware/virus di komputer atau gawai pribadi, kebiasaan mencadangkan data, pelindungan data pribadi, dan sebagainya.
Berbeda dengan tiga indikator lainnya, indikator Digital Culture justru menurun dari tahun 2021 yaitu dari 3,9 poin menjadi 3,84 poin pada 2022. Pilar ini mengukur kebiasaan pengguna internet dalam mencantumkan nama penulis/pengunggah asli saat melakukan reposting, membuat unggahan dengan mempertimbangkan perasaan pembaca dari suku/agama/pandangan politik berbeda, menikmati dan berbagi konten seni budaya Indonesia di ruang digital, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Hasil survei yang dilakukan terhadap 10.000 pengguna internet berusia 13-70 tahun yang tersebar di 34 provinsi dan 514 kabupaten/kota ini dapat menjadi acuan bahwa masih diperlukan upaya untuk terus melakukan edukasi dan pendampingan melalui literasi digital kepada masyarakat.
Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) bersama Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender (KAKG) telah meluncurkan buku Panduan Sigap Hadapi Penyebaran Konten Intim Non Konsensual dan website ‘Awas KBGO’. Buku panduan tersebut bertujuan untuk memberi edukasi kepada publik atas tindak kekerasan penyebaran konten intim nonkonsensual yang sangat mungkin terjadi di sekitar kita
Menurut Justitia Avila Veda dari KAKG, mayoritas aduan yang diterima KAKG berkaitan erat dengan ancaman penyebaran konten intim dan sextortion. Kondisi ini sangat mengkhawatirkan karena korbannya sebagian besar adalah anak di bawah umur.
ADVERTISEMENT
Panduan Sigap Hadapi Penyebaran Konten Intim Non Konsensual ini dapat diunduh di website Awas KBGO: https://awaskbgo.id. Website Awas KBGO menyediakan informasi-informasi terkait kekerasan berbasis gender online di Indonesia, termasuk layanan pengaduan.
Misinya adalah untuk menjadi pusat informasi dan advokasi terkait kekerasan berbasis gender online di Indonesia. Agar publik mendapatkan pengetahuan dan korban mudah mengakses bantuan yang dibutuhkan. Ini tentu menjadi kabar baik di tengah kekhawatiran kita akan dampak dari perubahan UU ITE.