Konten dari Pengguna

Praktik Euthanasia Dalam Perspektif Hukum dan Kode Etik Dokter di Indonesia

Surya Aidil
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
14 Oktober 2024 11:10 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Surya Aidil tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi tenaga medis dengan pasien di rumah sakit. Source: https://unsplash.com/photos/african-anesthesiologist-in-uniform-making-dropper-for-sick-senior-woman-while-she-lying-in-bed-at-hospital-NZUUdNykfqU
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi tenaga medis dengan pasien di rumah sakit. Source: https://unsplash.com/photos/african-anesthesiologist-in-uniform-making-dropper-for-sick-senior-woman-while-she-lying-in-bed-at-hospital-NZUUdNykfqU
ADVERTISEMENT
Mungkin istilah euthanasia sudah tidak asing terdengar di telinga beberapa orang. Euthanasia sendiri memiliki pengertian yaitu merupakan tindakan mengakhiri hidup seseorang dengan cara yang disengaja yang bertujuan/bermaksud untuk menghilangkan penderitaan orang tersebut dikarenakan sang penderita penyakit memiliki kondisi medis yang tidak dapat untuk disembuhkan. Kartono Mohamad, mantan ketua umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, mengklasifikasikan euthanasia ke dalam dua kategori berdasarkan dari cara euthanasia dilakukan yaitu euthanasia aktif dan euthanasia pasif. Euthanasia aktif merupakan tindakan mempercepat proses kematian, dapat dengan memberikan suntikan atau melepaskan alat-alat pembantu medis, seperti saluran asam, melepas pemacu jantung atau sebagainya. Euthanasia aktif dilakukan saat kondisi pasien masih menunjukkan adanya harapan hidup dan tanda-tanda kehidupan. sedangkan euthanasia pasif merupakan tindakan yang dilakukan atas permintaan pasien ataupun tidak atas permintaannya sendiri. Tindakan ini dilakukan saat dokter atau tenaga medis lain secara sengaja tidak lagi memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien.
ADVERTISEMENT
Indonesia sendiri merupakan negara yang menganut prinsip ketuhanan dan keagamaan sebagaimana disebutkan dalam sila pertama dalam Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, yang merupakan falsafah dan fundamental norm di Indonesia. Tentu dengan supremasi norma ketuhanan di Indonesia menimbulkan dilematik serta perdebatan ketika berbicara mengenai praktik euthanasia di Indonesia, baik di kalangan dokter, praktisi hukum, maupun kalangan agamawan. Polemik ini muncul diakibatkan praktik euthanasia dianggap bertentangan atau bisa dibilang berbanding terbalik dengan asas ketuhananan, yaitu hidup dan mati manusia merupakan hak prerogatif tuhan itu sendiri, kita sebagai manusia tidak berhak untuk mengakhiri hidup kita sendiri ataupun orang lain dengan alasan apapun. Dalam perspektif Hukum Islam di Indonesia sendiri, praktik euthanasia sebelumnya pernah sudah pernah dibahas di dalam Debat Publik Forum No. 19 Tahun IV, 01 Januari 1996 oleh Ibrahim Husein selaku Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia Pusat pada saat itu, ia berpandangan bahwa Islam memperbolehkan penderita AIDS dieuthanasia apabila memenuhi beberapa persyaratan seperti obat atau vaksin tidak ada; kondisi kesehatan yang semakin buruk; atas permintaan sendiri dan/atau keluarganya serta atas persetujuan dokter; dan adanya peraturan perundang-undangan yang mengizinkannya. Namun, jika kita lihat dari perjalanan sejarah dimana suatu larangan yang hanya dikemukakan oleh pendapat para pemuka agama dan tidak ada hukum yang secara tegas melarang hal demikian di dalam kitab-kitab suci, aturan demikian cenderung dapat berubah-ubah suatu saat seiring adanya pendapat yang baru.
ADVERTISEMENT
Lantas, bagaimana sih pengaturan mengenai praktik euthanasia ini di Indonesia? Apabila kita mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang saat ini masih berlaku di Indonesia yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946, aturan mengenai pengakhiran hidup seseorang atas permintaan orang itu sendiri telah dijelaskan dalam Pasal 344 KUHP yang berbunyi “Barangsiapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh, dihukum penjara paling lama dua belas tahun”. Jadi, telah jelas dalam KUHP Indonesia melarang praktik euthanasia ini, baik itu dari permintaan pasien itu sendiri. Terlebih lagi, apabila kita berpikir secara logika, permintaan euthanasia oleh pasien itu sendiri sama saja dengan perbuatan bunuh diri. Dalam KUHP juga tidak dicantumkan perihal pengeculian untuk seseorang dapat melakukan euthanasia, oleh karena itu atas dasar alasan apapun baik dari segi penderitaan yang dirasakan pasien, penyakit yang tak dapat diobati dan alasan-alasan lain, praktik euthnasia tidak dapat dibenarkan di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Nah setelah kita mengetahui pengaturan euthanasia di dalam KUHP, perlu juga kita tilik bagaimana sih aturan mengenai praktik euthanasia ini dalam kode etik kedokteran di Indonesia. Selain yang telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di Indonesia, dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) juga telah ditegaskan dan semakin memperjelas pengaturan terkait praktik Euthanasia ini di Indonesia khususnya dari perspektif tenaga medis. Tepatnya telah dijelaskan dalam Pasal 11 tentang Pelindung kehidupan, yang menyebutkan “Setiap dokter wajib senantiasa mengingat kewajiban dirinya dalam melindungi hidup makhluk insani.” Dalam kode etik tersebut juga dimaktubkan cakupan pasal per pasal didalamnya, cakupan Pasal 11 terkait praktik euthanasia ini dijelaskan dalam ayat (2) dan (3). Ayat (2) berbunyi “Seorang dokter dilarang terlibat atau melibatkan diri ke dalam abortus, euthanasia, maupun hukuman mati yang tidak dapat dipertanggungjawabkan moralitasnya.” Dan ayat (5) yang berbunyi “Seorang dokter dilarang menggugurkan kandungan (abortus provocatus) tanpa indikasi medis yang membahayakan kelangsungan hidup ibu dan janin atau mengakhiri kehidupan seseorang yang menurut ilmu dan pengetahuan tidak mungkin akan sembuh (euthanasia)”. Dokter merupakan profesi yang mulia
ADVERTISEMENT
Dari beberapa penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa praktik euthanasia di Indonesia sampai detik ini tidak terlegitimasi serta dilarang untuk dilakukan oleh Undang-Undang Pidana Indonesia dan Kode Etik Kedokteran di Indonesia. Dapat dikonklusikan juga bahwa dari apa yang telah dipaparkan diatas menunjukkan lengkaplah sudah praktik euthanasia ini bertentangan dengan Norma keagamaan, Peraturan Perundang-undangan dan juga etika. Sampai saat ini, walaupun topik ini terus menjadi perdebatan di kalangan akademisi, tenaga medis, praktisi hukum, pemuka agama, dan pemerintah, hukum yang berlaku di Indonesia tetap melarang praktik demikian. John Locke berpendapat bahwa "Walaupun manusia itu berada dalam keadaan bebas, tetapi bukan berarti dia berada dalam keadaan berizin: walaupun manusia dalam status itu mempunyai kebebasan yang tidak bisa dihalangi, namun dia tidak mempunyai hak untuk merusak diri sendiri." Berangkat dari pendapat tersebut dapat ditarik kesimpulan John Locke menganggap tindakan yang merusak diri sendiri seperti bunuh diri, euthanasia, dan sebagainya itu bertentangan dengan hak kodrati manusia yang esensinya adalah untuk mempertahankan hidup dan melestarikan umat manusia. Walaupun tujuan euthanasia adalah untuk mengakhiri penderitaan seseorang, tetaplah dianggap bertentangan dengan Hak Asasi Manusia dan Hak Kodrati serta bukan hal yang solutif apabila mengakhiri penderitaan dengan membiarkan atau membuat orang tersebut mati.
ADVERTISEMENT
Daftar Pustaka:
Euthanasia, Ketika Mengakhiri Hidup Dianggap sebagai Jalan Keluar. https://www.alodokter.com/euthanasia-ketika-mengakhiri-hidup-dianggap-sebagai-jalan-keluar. Alodokter. Diakses pada 14 Oktober 2024.
John Locke, Two Treatise of Government. 270 - 271
Kusmaryanto, C. B. (2021). Hak Asasi Manusia Atau Hak Manusiawi?. Jurnal HAM, 12(3), 521-532.
Rada, A. (2013). Euthanasia dalam perspektif hukum islam. Perspektif, 18(2), 108-117.