Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.8
Konten dari Pengguna
Politik Prabowo: Merangkul Semua atau Biarkan Ada Oposisi?
28 Februari 2025 17:29 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Syaefunnur Maszah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Editorial The Jakarta Post dalam artikel “Balancing Democracy” (28 Februari 2025) menyoroti tantangan demokrasi Indonesia di era pemerintahan Prabowo Subianto. Artikel tersebut menggarisbawahi bagaimana oposisi melemah, terutama setelah penangkapan Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). PDI-P, yang sebelumnya mendukung pemerintahan Jokowi, kini menjadi partai di luar koalisi, meskipun tidak secara eksplisit menyatakan oposisi terhadap pemerintahan Prabowo. Situasi ini memunculkan pertanyaan besar: apakah Prabowo akan merangkul semua partai politik di Senayan ke dalam koalisinya atau tetap membiarkan beberapa partai seperti PDI-P, NasDem, dan PKS berada di luar pemerintahan?
ADVERTISEMENT
Prabowo memiliki ambisi besar dalam membangun stabilitas politik di pemerintahannya. Sejak awal, ia berupaya membangun koalisi besar yang mencakup hampir semua partai politik utama. Dengan semakin sempitnya ruang oposisi, Prabowo tampaknya ingin mengonsolidasikan kekuatan politiknya agar kebijakan-kebijakan strategisnya tidak terganggu oleh tekanan parlemen. Jika semua partai masuk dalam koalisi, maka pemerintahan akan lebih solid dalam menjalankan program-programnya tanpa gangguan signifikan dari oposisi.
Namun, ada konsekuensi dari pendekatan ini. Jika semua partai masuk koalisi, mekanisme check and balance akan melemah. Kritik dan pengawasan terhadap kebijakan pemerintah bisa menjadi tumpul, karena parlemen lebih berperan sebagai stempel kebijakan eksekutif ketimbang sebagai lembaga kontrol. Situasi ini berisiko menciptakan stagnasi demokrasi dan meningkatkan potensi penyalahgunaan kekuasaan, sebagaimana dikhawatirkan dalam editorial The Jakarta Post. Demokrasi yang sehat memerlukan oposisi yang kuat untuk memastikan kebijakan pemerintah tetap berpihak pada rakyat.
ADVERTISEMENT
Sebaliknya, jika masih ada partai-partai yang bertahan di luar pemerintahan, seperti PDI-P, NasDem, dan PKS, Prabowo akan menghadapi oposisi yang lebih tegas. Hal ini bisa menjadi tantangan bagi pemerintahannya, terutama dalam menghadapi kebijakan yang kontroversial, seperti kebijakan ekonomi dan revisi regulasi penting. Namun, di sisi lain, oposisi yang kuat juga dapat memberikan legitimasi yang lebih besar bagi kebijakan pemerintah jika dapat bertahan dari kritik yang konstruktif.
Dari perspektif kepentingan rakyat, keberadaan oposisi yang kritis tetap diperlukan. Jika semua partai bergabung dengan pemerintah, masyarakat akan kehilangan representasi suara kritis di parlemen yang dapat mengawal kebijakan agar tetap transparan dan akuntabel. Oposisi berperan penting dalam memperjuangkan kepentingan rakyat, terutama dalam isu-isu yang mungkin terabaikan oleh pemerintah yang terlalu dominan.
ADVERTISEMENT
Bagi Prabowo, membiarkan beberapa partai di luar koalisi bisa menjadi strategi politik untuk menjaga keseimbangan. Dengan tetap ada oposisi, pemerintahannya dapat menghindari tuduhan membangun sistem otoritarian yang membungkam suara kritis. Selain itu, mempertahankan oposisi dalam batas tertentu bisa menjadi cara untuk meredam potensi konflik internal dalam koalisi yang terlalu besar dan heterogen.
Pada akhirnya, pilihan Prabowo dalam membentuk koalisi akan sangat menentukan arah demokrasi Indonesia ke depan. Jika ia memilih menyatukan semua partai ke dalam koalisinya, stabilitas pemerintahan akan meningkat, tetapi demokrasi bisa terancam oleh lemahnya oposisi. Sebaliknya, jika beberapa partai tetap berada di luar koalisi, meskipun berisiko menimbulkan ketegangan politik, hal itu justru bisa memperkuat demokrasi dengan adanya mekanisme kontrol yang lebih baik terhadap jalannya pemerintahan.
ADVERTISEMENT