Konten dari Pengguna

Alasan Mengapa Kita Harus Membela Palestina

Syafri Arifuddin Masser
Juru tulis: puisisyafri, peresensi di resensi.co.id, buruh suara di Radio Banua Malaqbi, relawan lterasi di Kamar Literasi & Teras Aksara Mamuju
16 Mei 2021 9:04 WIB
comment
8
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syafri Arifuddin Masser tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto Hosny Salah dari Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Foto Hosny Salah dari Pixabay
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Seperti yang lalu-lalu Israel seakan tak pernah diam merisak keberlangsungan hidup dan merusak kekhusyukan ibadah warga Palestina. Di bulan ramadan yang penuh karim harus ternoda oleh kebanalitasan militer Israel. Orang-orang Palestina terpaksa kembali menyingsingkan lengan bajunya dan merapal lebih kuat lagi doa-doanya, sebab mereka tahu, kematian bisa saja mendekapnya dengan tiba-tiba dari arah mana saja.
Israel setiap waktu terus memperluas teritori negaranya. Luas wilayah yang diambil dulunya hanya sehasta, sejengkal, sedepa, kini ketika melihatnya di atlas, Palestina pelan-pelan terhapus dari peta dunia. Sebuah negara yang berubah pelik setelah 1948—tahun di mana eksodus besar-besaran orang Yahudi menginjakkan kakinya di sana setelah tragedi traumatik Holocaust di eropa.
Konflik antara Palestina dan Israel ini membawa kita pada kebencian membabi buta kepada entitas Yahudi tanpa membedakannya ia sebagai agama dan ia sebagai Zionis atau ideologi negara. Dalam salah satu artikel pendek saya di sini, saya menyinggung mengapa kita terlampau membenci Yahudi. Kecenderungan kita membenci dengan membabi buta sesuatu hal adalah pangkal dari kebencian yang berbahaya. Kita perlu hati-hati dengan itu. Jangan sampai kita membenci suatu kaum dan membuat kita tidak adil terhadapnya.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, penting mengalamatkan kebencian itu pada sesuatu yang telah benar-benar kita tahu alasan historisnya, agar tujuan kebencian itu dapat memantik girah dan kemarahan kolektif untuk menghapus segala bentuk penindasan di dunia, khususnya di Palestina.
Yahudi di Israel sama seperti agama lain dalam suatu negara di mana penganutnya memiliki ragam aliran. Sebagaimana bermacam Islam yang kita anut di Indonesia, misalnya, ada yang tunduk patuh terhadap pemimpin negara selama ia seorang muslim dan ada yang menolak negara kecuali ia yang bersistem islam dan demokrasi yang sedang berjalan ini dianggap thogut. Islam memiliki nilai-nilai universal (rahmatanlil alamin) dalam tujuannya dan berbeda-beda dalam praktiknya.
Begitu pula Yahudi sebagai agama abrahamik yang dalam perjalanannya membentuk banyak sekte. Menggeneralisasi kebencian terhadap Yahudi adalah tindakan tidak adil dalam pikiran sebab ada pula yahudi, baik itu rabbi pun intelektualnya yang menolak agenda Zionis Israel.
ADVERTISEMENT
Kita perlu membedakan Yahudi sebagai agama dan Israel sebagai negara yahudi—yang menjadi sebuah entitas negara (politik). Sebagaimana masyarakat Indonesia yang punya nasionalisme tribal: NKRI harga mati. Tidak semua warga Indonesia sependapat dengan itu, sebab sebagian yang lain menganggap Indonesia adalah negara penjajah untuk apa yang terjadi di Papua. Hal ini pun berlaku untuk kekejaman Zionis Israel yang tentu tidak disepakati orang Yahudi secara keseluruhan.
Ada banyak yang membenci Yahudi karena negara di mana mayoritas yahudi bermukim: Israel, sampai sekarang masih menjadi negara kolonial moderen selama kurang lebih lima puluh tahun terhadap ekspansinya di Palestina. Artinya, kita perlu mengalamatkan protes dan kemarahan itu kepada gerakan nasionalis internasional Zionis Israel yang dengan sengaja telah melakukan penindasan, pengusiran, dan pembunuhan terhadap warga Palestina.
ADVERTISEMENT
Kita kerap diperhadapkan pada objektivitas dalam melihat konflik Palestina dan Israel. Bahwa Israel membunuh masyarakat sipil Palestina sebagai bentuk perlawanan terhadap sayap militer Hamas yang membombardir Israel dengan rudal-rudalnya. Lalu kita mulai menyepakati bahwa di setiap perang tak ada jalan damai dengan kekerasan karena perang akan memakan korban di kedua kubu, dan mulai memandang bahwa memberikan perlawanan militer ke Israel adalah tindakan yang salah.
Lalu pelan-pelan menyepakati kalau satu-satunya jalan penyelesaian konflik adalah dialog. Namun, bagaimana bisa berdialog dengan orang yang dengan sengaja merampas rumahmu dan membangun rumahnya sendiri di atas tanahmu, dan karena pembelaan atas hakmu kau melemparinya dengan batu lalu ia membalasamu dengan tembakan bedil. Dialog macam apa yang dapat mengatasi orang semacam itu?
ADVERTISEMENT
Kita perlu memetakan konflik Israel dan Palestina agar kita punya keberpihakan pada yang tertindas. Kita harus paham, bahwa jika menganggap Israel dan Palestina tengah berperang dalam kekuatan yang sama dalam perebutan wilayah, maka kita harus tahu siapa yang punya tanah dan siapa yang merebut. Siapa yang dengan kekuatan militernya menjajah dan siapa yang terjajah.
Siapa yang diembargo dan siapa yang diisolasi. Siapa yang memerintah dengan rasialis, dan melanggengkan kebijakan politik apartheid-nya, siapa yang punya kekuatan negara-negara sekutu di belakangnya dan siapa yang selalu berjuang sendirian? Ketika semua itu sudah terjawab maka empati kita sudah tahu ditujukan kepada siapa.
Sebagai orang Indonesia pembelaan kita kepada Palestina bisa dilandaskan dari pembukaan UUD 45 yang berbunyi "Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan." Dengan semangat yang telah dirumuskan para pendiri bangsa itu, seharusnya kita marah ketika melihat Palestina—negara awal yang mengakui keberadaan Indonesia—yang masih terjajah.
ADVERTISEMENT
Sebagai muslim kita dapat berpegang pada sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam: 'Tolonglah saudaramu yang berbuat zhalim (aniaya) dan yang dizhalimi" (H.R. Shahih Bukhari-2263) karena seyogyanya kita saudara maka ketika saudara menangis, jika tidak bisa membantunya melawan, setidak-tidaknya kita menyeka air matanya.
Sebagai manusia, kita bisa melandaskan keberpihakan kita pada Deklarasi Universal HAM pasal 3: "Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan, dan keselamatan sebagai individu." bahwa, manusia berhak hidup merdeka dan tidak hidup dalam keterjajahan. Dan sebagai intelektual sebagaimana yang disebut oleh Edward Said maka intelektual tak dapat apolitis sebab ia bertugas merepresentasikan penderitaan kolektif dan menguniversalkan krisis.
Kita tidak perlu menjadi indonesianis untuk marah pada Israel dan membela Palestina, atau menjadi muslim untuk memberi empati kepada sesama orang islam, atau seorang intelektual yang menyuarakan penderitaan Palestina. Kita hanya perlu jadi manusia yang memanusiakan manusia dan memiliki sikap solider.
ADVERTISEMENT
Jika kematian George Floyd di Amerika dapat memantik semangat perjuangan antirasisme dengan #blacklivesmatter di barat, maka kematian rakyat sipil Palestina sudah lebih dari cukup untuk mengatakan: #palestinianlivesmatter di seantero dunia!