Konten dari Pengguna

Santri, dari 'Subkultur' ke 'New Culture'

Syahirul Alim
Penulis Lepas tentang agama, sosial, dan politik. Tinggal di Tangerang Selatan
20 Oktober 2020 10:56 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syahirul Alim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi santri Foto: Dok. Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi santri Foto: Dok. Pixabay
ADVERTISEMENT
Dikotomisasi yang diciptakan oleh Geertz mengenai santri, abangan, priyayi dalam struktur sosial masyarakat Jawa, ternyata cukup kuat menanamkan nilai distingsi figuratif terutama dalam konteks memposisikan istilah "santri" belakangan ini. Santri seolah berada dalam nuansa eksklusif lengkap dengan rasa primordialitasnya: sebagai kelompok elite Muslim yang taat beragama, berlatar budaya pesantren tertentu, lekat dengan simbol Islam tradisional. Apa yang belakangan muncul dalam kategorisasi "new santri" pun tampaknya tidak lebih dari suatu transformasi yang kadang luput dari rangkaian sejarah panjang Islam di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Santri, memang lekat dengan konotasi budaya Islam di Indonesia, sebab lingkungan pesantren yang melahirkan santri merupakan "subkultur" yang keberadaannya mungkin lebih tua dari Nusantara itu sendiri. Sebagai subkultur, berarti istilah santri mengandung citra keagamaan, budaya, tradisi, dan nilai kearifan lokal yang kerap tampil menjadi simbol perlawanan atas segala bentuk aktivisme modernitas. Dalam banyak hal, santri tetap lebih mengedepankan nilai-nilai pluralitas, inklusivitas dengan kecenderungan moderatisme sebagai cara pandang yang berimbang, tidak berpihak kepada siapa pun atau golongan manapun.
Dalam banyak hal, dikotomisasi Gertz jelas bermasalah, terutama dalam keberhasilannya membongkar subkultur menjadi "new culture" yang sama sekali lepas dari sejarah panjang perkembangan Islam di "Negeri Bawah Angin", seperti Indonesia. Terutama setelah disahkannya RUU Pesantren—sekalipun di sana-sini masih terdapat protes dari kalangan "santri kota"-makna santri justru terasa sempit hanya disematkan kepada kelompok Islam tertentu seraya meminggirkan kelompok lainnya bahkan dalam tahap tertentu terabaikan dari sebuah realitas sejarah.
ADVERTISEMENT
Bagi saya, santri bukan sekadar simbol seremonial, terlebih menonjolkan kesan eksklusivisme. Santri adalah setiap Muslim yang memiliki cara pandang inklusif, sehingga nilai-nilai moderatisme yang terserap dari ajaran agama begitu hidup dalam ruhnya, termanifestasikan dalam sikap dan perilaku sehari-hari. Santri tidak menyibukkan dirinya dengan identitas kekelompokan manapun, bahkan hampir tidak peduli dengan simbolisme keagamaan tertentu. Santri itu seperti 9 tokoh ketika mempersiapkan kemerdekaan Indonesia yang tidak melibatkan unsur komunis, sosialis, bahkan radikalis. Mereka sangat yakin pada waktu itu, bahwa Indonesia dapat terwujud melalui persatua yang adil dan beradab, dengan cara mengedepankan pluralitas bukan eksklusivitas.