Konten dari Pengguna

Syahwat Kekuasaan Perpanjangan Masa Jabatan Kepala Desa Jadi 9 Tahun

Syahrul Silmi
Dr.(c). Syahrul Silmi, S.H., M.Kn., MH. Mahasiswa S3 Hukum Universitas Diponegoro
27 Februari 2023 16:16 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syahrul Silmi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Massa dari Perkumpulan Aparatur Pemerintah Desa Seluruh Indonesia melakukan unjuk rasa di depan Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (17/1/2023). Foto: ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga
zoom-in-whitePerbesar
Massa dari Perkumpulan Aparatur Pemerintah Desa Seluruh Indonesia melakukan unjuk rasa di depan Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (17/1/2023). Foto: ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga
ADVERTISEMENT
Sejarah masa jabatan kepala desa di Indonesia pernah berlaku sepuluh tahun berdasarkan UU No. 22/1999. Namun beberapa tahun kemudian muncul UU No. 32/2004 yang membatasi jabatan kepala desa menjadi enam tahun.
ADVERTISEMENT
Pada 2021 lalu, sempat terjadi pro dan kontra yang menjadi polemik tafsir berkaitan perhitungan jumlah periodesasi masa jabatan kades yang maksimal tiga periode dimulai sejak UU No. 32/2004 dan sejak UU No. 6/2014.
Melalui Mahkamah Konstitusi dalam putusan No. 42/PUU-XIX/2021 memberikan kepastian bahwa maksimal masa jabatan 3 periode dihitung baik saat keberlakuan UU No. 32/2004 maupun UU No. 6/2014.
"Pemerintahan desa merupakan bentuk administrasi pemerintahan paling bawah dalam struktur pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam perkembangannya, sistem dan bentuk pemerintah desa, termasuk pengisian jabatan kepala desa mengalami perubahan pengaturan sejak Indonesia merdeka hingga pengaturan dalam UU 6/2014," demikian pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) seperti dikutip dari detikcom.
Tuntutan para kepala desa secara terbuka tentunya harus diapresiasi, setidak nya publik kemudian diberikan kesempatan untuk menilai dan menimbang sendiri apakah tuntutan yang di gaungkan oleh kepala desa di Senayan beberapa waktu yang masuk akal atau tidak.
ADVERTISEMENT
Menyampaikan aspirasi juga merupakan hak dari setiap warga negara sebagaimana dijamin pada Pasal 28 UUD 1945 untuk mengungkapkan pendapat, ide atau gagasannya. Begitu pula dari sisi masyarakat juga memiliki keleluasaan untuk menolak ataupun mendukung tuntutan itu.
Namun, setiap argumentasi harus berangkat dari rasionalisasi pemikiran sebagaimana diungkapkan Karl Popper (1945), demokrasi pun harus didukung dengan rasionalisme kritis.
Setiap aksi akan memunculkan reaksi. Secara kelembagaan bisa dilihat dukungan terhadap tuntutan kepala desa mengalir dari parlemen, kementerian, hingga Istana. Semangat mendukung ini kemudian berbanding lurus dengan semangat mengkritik tuntutan yang dianggap "syahwat kekuasaan" ini dari berbagai golongan masyarakat.
Dukungan dari lembaga negara secara terbuka janganlah membuat kepala desa menjadi jemawa. Namun, para kepala desa harus lebih waspada mengingat relasi antara dukungan dan kepentingan kekuasaan sangat erat. Ketakutan yang muncul jika dukungan ini bersyarat transaksional politik di masa pemilu yang akan datang sehingga demokrasi digunakan sebagai alat oligarki, bukan demokratisasi.
ADVERTISEMENT
Kapasitas desa yang menurut Badan Pusat Statistik lebih dari 80 ribu ini sangat berpotensi menjadi mesin politik yang luar biasa massif untuk memenangkan kontestasi politik 2024.
Masa jabatan memang sangat bergantung pada penyelenggaraan pemerintahan desa, namun tujuan utamanya adalah bagaimana penyelenggaraan pemerintahan desa bisa berjalan secara efektif dan efisien serta demokratis. Oleh karenanya, revisi UU Desa pada dasarnya adalah hal yang wajar selama berpedoman pada 3 aspek utama, yakni filosofis, sosiologis, dan yuridis.
Perlu menjadi perhatian dan catatan untuk semua kalangan, revisi UU Desa jangan sampai jatuh pada “syahwat kekuasaan” serta pragmatisme politis. Konfigurasi politik yang dibangun dalam membuat produk hukum harus berangkat dari konfigurasi politik yang demokratis plus prinsip moralis.
ADVERTISEMENT
Isu penting dalam revisi UU Desa justru tentu bukan hanya berkaitan dengan masa jabatan semata, yang utama adalah bagaimana revisi UU Desa mampu merespons berbagai macam perubahan sosial seperti disrupsi ekonomi dalam lingkungan masyarakat.
Pro dan kontra masa jabatan maupun periodesasi jabatan kepala desa merupakan isu lama yang kembali digaungkan. Persoalan penambahan masa jabatan kepala desa tentu akan memancing dugaan pragmatisme politik kekuasaan.
Oleh karena itu, perlu peran kepala desa bersama seluruh lembaga yang mendukung aspirasi kepala desa memberikan penjelasan yang lebih aktual dan konkret dengan menjawab apakah ini kepentingan kekuasaan atau kemaslahatan masyarakat.