Konten dari Pengguna

Uang Panai dan Mitos Perceraian: Rahasia di Balik Rumah Tangga Jawa dan Sulawesi

Muhammad Syaifullah
Mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
6 Desember 2024 14:05 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Syaifullah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pernikahan adalah institusi suci yang tidak sekadar menyatukan dua individu, melainkan juga mempertemukan dua keluarga, dua budaya, dan dua pandangan hidup. Di Indonesia, setiap wilayah memiliki cara uniknya sendiri dalam memahami dan menjalani kehidupan berkeluarga. Jawa dan Sulawesi adalah dua potret menarik yang menggambarkan betapa kompleksnya dinamika perkawinan di Nusantara.
ADVERTISEMENT
Perceraian bukan sekadar angka statistik, melainkan cerminan kompleksitas budaya, sosial, dan ekonomi. Di Indonesia, Jawa dan Sulawesi menunjukkan pola yang sangat berbeda dalam menjalani dinamika perkawinan.
Allah SWT berfirman dalam Q.S. An-Nisa ayat 35,
وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِّنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِّنْ أَهْلِهَا إِن يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا

"Dan jika kamu khawatir terjadinya percekcokan antara keduanya (suami-istri), maka kirimlah seorang hakam (juru damai) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika keduanya (hakam itu) bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti."

Perceraian/ sumber:https://www.pexels.com/search/divorced%20family/
Ayat ini menegaskan bahwa dalam Islam, upaya perdamaian dan mediasi adalah jalur utama sebelum memutuskan perceraian. Hal ini sangat relevan dengan praktik budaya di Sulawesi, di mana setiap konflik rumah tangga selalu diupayakan diselesaikan melalui musyawarah keluarga.
ADVERTISEMENT
Di Sulawesi Selatan, khususnya pada masyarakat Bugis-Makassar, uang panai bukanlah sekadar materi. Ia adalah simbol kompleks yang merepresentasikan martabat, kehormatan, dan status sosial keluarga. Proses penentuan uang panai sendiri bisa berlangsung berbulan-bulan, dengan negosiasi yang melibatkan seluruh keluarga besar. Besaran uang panai tidak sekadar ditentukan oleh kemampuan ekonomi calon mempelai laki-laki, melainkan juga dipengaruhi oleh pendidikan, status sosial, dan latar belakang keluarga perempuan.
Kontras dengan Sulawesi, Jawa memiliki dinamika yang berbeda. Perceraian di Jawa relatif lebih mudah terjadi, dipengaruhi oleh beberapa faktor kompleks seperti tekanan ekonomi, mobilitas sosial yang tinggi, dan perubahan struktur keluarga. Masyarakat Jawa yang lebih heterogen dan kosmopolitan memiliki ikatan tradisional yang mulai longgar, berbeda dengan masyarakat Sulawesi yang masih memegang kuat tradisi dan nilai-nilai keluarga.
ADVERTISEMENT
Data Kementerian Agama menunjukkan perbedaan signifikan. Wilayah Jawa mencatat angka perceraian 2-3 kali lipat lebih tinggi dibandingkan Sulawesi. Di Sulawesi, perceraian masih dianggap sebagai "aib" yang harus dihindari, sementara di Jawa, perceraian mulai dilihat sebagai solusi alternatif ketika konflik rumah tangga tidak dapat diselesaikan.
Uang panai di Sulawesi berfungsi sebagai semacam "kontrak sosial" yang efektif mencegah perceraian. Besarnya investasi, baik materi maupun emosional, yang dikeluarkan kedua keluarga membuat pasangan berpikir berkali-kali sebelum memutuskan bercerai. Proses panjang dan rumit dalam menentukan uang panai sendiri sudah menjadi semacam "saringan" awal untuk memastikan keseriusan dan komitmen pasangan.
Besaran uang panai memang sangat bervariasi, mencerminkan kompleksitas struktur sosial masyarakat Sulawesi. Untuk keluarga bangsawan atau keturunan ningrat, uang panai bisa mencapai ratusan juta rupiah, bahkan ada yang mendekati angka satu miliar. Bagi keluarga menengah, kisaran puluhan juta rupiah sudah menjadi standar yang cukup terhormat. Namun, nominal ini tidak sekadar soal materi, melainkan representasi simbolik dari status sosial, tingkat pendidikan, dan prestasi calon mempelai. Seorang perempuan lulusan perguruan tinggi negeri atau yang memiliki pekerjaan bergengsi akan memiliki "harga" yang jauh berbeda dibandingkan perempuan dengan latar belakang pendidikan lebih rendah. Bukan sekadar diskriminasi, tetapi semacam penilaian komprehensif atas potensi dan kapabilitas yang dibawa dalam sebuah ikatan perkawinan.
ADVERTISEMENT
Di balik fenomena perceraian yang berbeda antara Jawa dan Sulawesi, terdapat dua faktor fundamental yang membentuk dinamika sosial: struktur sosial dan kondisi ekonomi. Struktur sosial masyarakat Sulawesi ditandai dengan kompleksitas hubungan kekeluargaan yang sangat kental, di mana setiap keputusan tidak hanya melibatkan pasangan, tetapi seluruh jejaring keluarga besar. Sistem nilai tradisional yang masih kuat menjadi semacam benteng pertahanan sosial, mengatur mekanisme pengambilan keputusan dalam rumah tangga. Setiap konflik diselesaikan melalui musyawarah panjang, dengan melibatkan para tetua dan tokoh adat yang dihormati.
Sementara itu, faktor ekonomi memberikan warna berbeda dalam dinamika sosial. Tekanan finansial yang semakin kompleks, keterbatasan kesempatan kerja, dan tingkat mobilitas sosial yang berbeda antarwilayah turut membentuk pola interaksi dan ketahanan rumah tangga. Di Jawa, tingginya persaingan ekonomi dan pergeseran struktur pekerjaan membuat ikatan perkawinan rentan terhadap guncangan finansial. Berbeda dengan Sulawesi, di mana sistem ekonomi tradisional dan ikatan kekeluargaan yang kuat masih menjadi penopang utama ketahanan sosial ekonomi masyarakat.
ADVERTISEMENT
Namun, penting untuk dipahami bahwa perbedaan ini bukan sekadar soal angka atau tradisi. Ia adalah cerminan kompleksitas sosial, ekonomi, dan budaya yang terus berevolusi. Setiap wilayah memiliki mekanisme sosial uniknya sendiri dalam menjaga keutuhan keluarga.
Dalam konteks yang lebih luas, perbedaan antara Jawa dan Sulawesi mengajarkan kita tentang keragaman Indonesia. Ia mengingatkan bahwa tidak ada satu pun model perkawinan yang universal. Yang terpenting adalah komitmen, komunikasi, dan saling pengertian antara pasangan.
Artikel ini bukan untuk menghakimi atau membandingkan, melainkan untuk mengajak pembaca memahami keragaman cara masyarakat Indonesia memaknai pernikahan. Sebuah perjalanan memahami bahwa cinta, komitmen, dan perdamaian memiliki bahasa yang berbeda di setiap wilayah.