Konten dari Pengguna

Sudah Waktunya Membuka Kembali Sekolah: Sebuah Kompromi

Syamsul Maarif
Guru Agama Islam dan Pengagum Gusdur
5 Agustus 2020 9:51 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syamsul Maarif tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi: wsj.net
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi: wsj.net
ADVERTISEMENT
Terkait dengan pendidikan di sekolah. Pemerintah telah memutuskan bahwa menggelar belajar mengajar di sekolah dibolehkan. Meski demikian, ada beberapa catatan yang disertakan, yaitu: sekolah tersebut masuk wilayah zona hijau, mendapat izin dari Pemda, serta telah memenuhi checklist protokol kesehatan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Bagaimana dengan sekolah di wilayah zona merah? Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sudah memberikan solusi alternatif berupa sekolah daring, atau pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang dilaksanakan secara online.
ADVERTISEMENT
Hanya saja, 94% sekolah di Indonesia ada di wilayah zona merah dan tentunya tidak mendapatkan izin untuk menyelenggarakan belajar tatap muka di sekolah, dan hanya sekitar 6% saja sekolahan yang ada di wilayah zona hijau serta telah diperbolehkan untuk belajar tatap muka. Artinya, mayoritas sekolah di Indonesia harus melaksanakan PJJ secara online.
Sayangnya, pemerintah sepertinya belum siap menerapkan pembelajaran secara online. Kekurangsiapan pemerintah itu terlihat dari akses fasilitas yang belum memadai, baik itu infrastruktur internet di Indonesia maupun bantuan fasilitas dari pemerintah kepada guru ataupun kepada orang tua siswa yang tidak mampu. Ketidaksiapan pemerintah juga terlihat dalam merespons kurikulum darurat.
Butuh waktu lama sekali jika menunggu masalah-masalah di atas diselesaikan pemerintah, sedangkan siswa tidak punya waktu banyak. Karena di rumah siswa sudah jarang belajar, dan mereka seakan sudah kehilangan “ruh” pembelajaran lewat daring. Kebutuhan untuk membuka kembali sekolah itu nampaknya sangat krusial dan perlu dipertimbangkan.
ADVERTISEMENT
Masalah yang Dihadapi
Ketidakadaan kurikulum darurat semakin mempertegas bahwa pemerintah tidak siap untuk melakukan pembelajaran daring. Kurikulum di sini menyangkut beberapa hal: Apakah tenaga pendidik sudah mampu mengimplementasikan pembelajaran daring? Bagaimana standar isinya? Dan seperti apa standar kelulusannya? Bagaimana juga metode pembelajaran daring yang sudah disiapkan pemerintah?
"Pemerintah justru ingin memberikan kebebasan kepada setiap lembaga pendidikan untuk berkreasi membuat kurikulum darurat".
Katakanlah seperti itu jawaban dari pemerintah, apakah hal itu tidak akan berdampak buruk ke depannya? Misalnya, perbedaan standar isi dari masing-masing pendidikan yang tentunya akan berimbas pada perbedaan standar kelulusan.
Sehingga semakin bagus suatu lembaga pendidikan disertai tenaga pendidik yang mumpuni akan menyumbangkan kurikulum standar isi yang baik. Begitu juga sebaliknya. Dan pastinya, hal ini akan mempengaruhi kualitas lulusan dari masing-masing lembaga pendidikan. Tentu sangat disayangkan jika ini terjadi di wilayah pendidikan.
ADVERTISEMENT
Hal yang krusial untuk dibahas juga ialah soal metode pembelajaran, mengingat dalam pembelajaran daring tidak ada interaksi antar siswa, juga tidak ada interaksi dengan guru. Maka, metode apa yang cocok kira-kira untuk pembelajaran jarak jauh ini? Apakah pembalajaran online bisa menanamkan nilai-nilai toleransi kepada siswa? Bagaimana cara menanamkan kepada siswa nilai-nilai kepemimpinan, kepedulian, gotong royong dalam belajar mengajar daring?
Masalah lainnya yang perlu didiskusikan ialah dari akses fasilitas daring. Kesenjangan akses penunjang pembelajaran daring menjadi problem serius, dari mulai ketidakmerataan jaringan, ketidakmampuan beberapa guru serta orang tua siswa soal teknologi, dan tidak adanya fasilitas pendukung seperti gawai dan paket datanya.
Belum lagi masalah yang dihadapi oleh orang tua siswa yang tidak bisa menemani anaknya karena harus bekerja. Apalagi anak berkebutuhan khusus yang memang harus ditemani. Di sisi yang lain, ada juga orang tua siswa yang justru kuatir ketika sekolah di buka kembali. Bagaimana pemerintah menanggapi semua itu?
ADVERTISEMENT
Mengaca ke Luar Negeri
Beberapa sekolah di luar negeri ada yang masih tetap menggunakan pembelajaran online ada juga yang sudah mulai membuka belajar mengajar tatap muka di sekolah.
Norway dan Denmark, misalnya, adalah dua negara yang cocok dijadikan percontohan soal kebijakan pembukaan sekolah kembali pada bulan April lalu. Walaupun mereka membuka kembali sekolah, tetapi kasus kenaikan Covid-19 berhubungan dengan sekolah di dua negara tersebut terbilang sedikit.
Meskipun begitu, ada juga kasus terkait dengan Covid-19 yang berhubungan dengan sekolah di beberapa negara dengan tingkat infeksi komunitas yang tinggi. Salah satunya di Israel. Berdasarkan laporan yang dibuat oleh beberapa peneliti di University of Washington, virus itu menginfeksi kurang lebih 200 siswa dan staf sekolah, setelah sekolah dibuka kembali pada awal bulan Mei. Saat itu (17 Mei) tidak ada batasan siswa di kelas. Sehingga tidak lama kemudian, Israel memperketat kembali batasan siswa dengan menyesuaikan ukuran kelas.
ADVERTISEMENT
Kasus serupa terjadi di Swedia setelah pemerintah memutuskan untuk membuka kembali sekolah untuk semua siswa pada tanggal 14 Juni. Di negara itu angka kasus Corona pada anak-anak relatif tinggi, sehingga hal itu menjadi dugaan kuat bahwa telah terjadi penyebaran yang siginifikan di sekolah. Banyak peneliti menilai peningkatan itu disebabkan karena tidak adanya protokol kesehatan, seperti: pembatasan siswa di kelas, kebijakan makan siang, dan aturan yang ketat saat istirahat.
Mengaca dari keempat negara itu, dan melihat masalah-masalah yang sudah disinggung di atas (tidak adanya kurikulum darurat dan tidak meratanya akses fasilitas daring dan permasalahan yang dihadapi orang tua siswa), kebijakan membuka kembali sekolah nampaknya sangat perlu dipertimbangkan. Asalkan dengan beberapa catatan untuk tetap menjaga protokol kesehatan yang sangat ketat, serta tetap berkoordinasi dengan orang tua siswa dan dinas kesehatan setempat.
ADVERTISEMENT
Membuka Kembali Sekolah
Data dari beberapa negara (Amerika Serikat, China, Italia, dan Spanyol) menunjukkan bahwa kasus anak-anak (>18 tahun) terinfeksi Covid-19 sangat kecil jumlahnya dibandingkan kasus di antara pasien dewasa. Angka kasus Covid-19 yang terjadi di anak-anak tidak lebih dari 2.2%.
Sayangnya, berita sebaliknya terjadi di Indonesia. Di mana angka kematian pada anak-anak disebabkan Covid-19, menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia setara 1.7% dari total kematian akibat Covid-19 dan masuk salah satu yang tertinggi di Asia dan dunia. Padahal, hampir semua sekolah di Indonesia masih ditutup, bagaimana bisa angka kematian pada anak-anak di Indonesia sangat tinggi? Dari sini, pemerintah perlu memberikan aturan-aturan yang ketat jika sekolah sudah dibuka kembali. Kalau perlu ada sanksi tegas untuk sekolah yang melanggar aturan-aturan itu.
ADVERTISEMENT
Pemerintah bisa menerapkan kebijakan beberapa negara seperti Denmark, Prancis, China, dan New Zealand menyoal pembukaan kembali sekolah. Mulai dari; meminta guru yang rentan sakit untuk tetap di rumah; membatasi ruang kelas sebanyak 15 orang saja; meja antarsiswa diatur jaraknya kisaran 1 setengah meter; usahakan membuat bangku tetap (setiap siswa harus duduk di tempat yang sama setiap hari); melarang pengunjung untuk masuk ke gedung sekolah; meningkatkan tes dan pelacakan yang berhubungan dengan sekolah; hingga meniadakan untuk sementara program ekstrakurikuler berupa nyanyi dan olahraga.
“Bagaimana dengan keputusan The World Health Organization (WHO) yang baru-baru ini telah menyimpulkan bahwa Covid-19 itu airborne (bisa mengudara di ruangan yang tertutup serta sesak dengan orang dengan ventilasi udara yang buruk)?”
ADVERTISEMENT
Tentu hal ini perlu juga dijadikan pertimbangan serius bagi Kemendikbud. Karena sebuah diskripsi ruang yang sesak ini sama persis dengan mayoritas keadaan sekolah di Indonesia.
Ada baiknya pemerintah mensyaratkan juga kepada sekolah-sekolah untuk memberikan adanya sirkulasi udara yang baik di setiap kelas; baik itu lewat filter udara; pemompa udara, atau sekedar membuka jendela lebar-lebar.
Atau mungkin sekolah bisa memanfaatkan ruang-ruang terbuka untuk dibuat sebagai kelas sementara, ataupun memanfaatkan masjid-masjid besar dengan ventilasi udara yang bagus serta lapangan olahraga sebagai solusi alternatif untuk dijadikan tempat pembelajaran tatap muka sementara.
***
Syamsul Maarif Guru Agama Islam