Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
The Six-Day War dan Konsekuensinya bagi Palestina
3 Desember 2024 13:09 WIB
·
waktu baca 14 menitTulisan dari Syifa Syarifa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Konflik antara Israel dan Palestina kembali mencuat dan menarik atensi masyarakat global. Serangan demi serangan Israel ke Palestina telah melenyapkan puluhan ribu nyawa bersama dengan hancurnya bangunan-bangunan sipil seperti rumah sakit, sekolah, dan tempat ibadah. Dilansir dari Aljazeera (02/12/24), serangan telah membunuh setidaknya 44.429 orang di Gaza, dan 797 di West Bank, dengan mayoritas korban adalah anak-anak. Sebagai organisasi internasional yang bertanggung jawab untuk menciptakan perdamaian dan keamanan global, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah melakukan berbagai upaya untuk mengakhiri konflik ini. Langkah-langkah ini dilakukan mulai dari diadopsinya Resolusi Dewan Keamanan 2735/2024, yang menyerukan gencatan senjata segera di Jalur Gaza, hingga Resolusi Majelis Umum pada September 2024 lalu, yang menuntut Israel untuk mengembalikan tanah dan aset yang diambil dari Palestina sejak 1967 dalam jangka waktu 12 bulan. Pertanyaannya, apa yang terjadi pada tahun 1967?
ADVERTISEMENT
Tahun tersebut merujuk pada momentum terjadinya Perang Enam Hari atau yang dikenal dengan The Six-Day War antara Koalisi Arab (Mesir, Suriah, dan Jordania) melawan Israel. The Six-Day War menjadi perang bersejarah sekaligus turning point yang secara signifikan turut berkontribusi dalam mempengaruhi konflik Israel-Palestina hingga saat ini. Kekalahan koalisi Arab pada perang tersebut menghasilkan konsekuensi-konsekuensi yang harus ditanggung oleh bangsa Palestina. Bagaimana perang ini terjadi dan konsekuensinya bagi bangsa Palestina akan dibahas lebih lanjut pada tulisan ini.
Peran Inggris dan Awal Keterlibatan Negara-Negara Arab
Konflik Israel-Palestina berawal dari migrasi besar-besaran orang-orang Yahudi dari negara-negara Eropa ke Palestina. Migrasi besar-besaran ini dikenal dengan Aliyah, yang berlangsung ke dalam lima gelombang ditambah satu gelombang migrasi illegal (Aliyah Bet). Aliyah Pertama terjadi pada periode 1881-1903, disusul oleh Aliyah Kedua pada 1904-1914, Aliyah Ketiga pada 1919-1923, Aliyah Keempat pada 1924-1929, Aliyah Kelima pada 1929-1939, dan Aliyah Bet pada 1934-1948. Mengutip studi yang dilakukan Stein (2019) dalam Forming a Nucleus for the Jewish State: 1882-1947, mulanya hanya terdapat 25.000 orang Yahudi di Palestina, tetapi fenomena Aliyah ini membuatnya meroket ke 650.000 pada tahun 1948.
ADVERTISEMENT
Fenomena Aliyah sendiri merupakan manifestasi janji Inggris kepada bangsa Yahudi melalui Deklarasi Balfour 1917. Saat itu, Arthur Balfour, Menteri Luar Negeri Inggris, berjanji kepada komunitas Yahudi di Inggris untuk mendukung pembentukan rumah nasional bagi mereka di Palestina, yang pada waktu itu masih berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Ottoman. Komitmen Inggris terhadap bangsa Yahudi ini berkaitan erat dengan kepentingan imperialismenya untuk mempertahankan pengaruh di kawasan Levant. Kepentingan yang sama juga dimiliki Perancis. Keduanya memandang bahwa kepentingan mereka di Samudera Hindia dapat berjalan mulus dengan mendirikan sebuah negara Yahudi di Levant, yang akan mengamankan akses cepat ke Samudera Hindia dan China. Itulah mengapa Inggris dan Perancis membuat Perjanjian Sykes-Picot pada 1916, yang membagi wilayah timur tengah sesuai kepentingan mereka setelah kejatuhan Kekaisaran Ottoman.
ADVERTISEMENT
Rupanya, janji inggris kepada Israel dan Perancis ini sangat bertentangan dengan janji Inggris kepada bangsa Arab. Pada 1915, melalui Deklarasi Mc Mahoon-Hussein, Inggris telah berjanji untuk mendukung pembentukan negara-negara Arab yang merdeka apabila mereka membantu Inggris melawan Kekaisaran Ottoman. Inggris dianggap mengkhianati bangsa Arab melalui Deklarasi Balfour dan Perjanjian Sykes-Picot dengan mendirikan Israel di tanah Palestina, dan membagi wilayah Timur Tengah dengan Perancis tanpa persetujuan bangsa Arab. Meskipun demikian, Inggris dan Perancis tetap mendukung keberlanjutan pembentukan negara-negara Arab di wilayah bekas Kekaisaran Ottoman, kecuali Palestina. Lebanon dan Suriah berdiri di bawah kendali Perancis, sementara Irak, Jordania, dan sebagian wilayah Palestina (Haifa dan Acre) berdiri di bawah kendali Inggris. Daerah-daerah lainnya di Palestina seperti Benthlehem, Nazareth, Jerussalem dan sekitarnya ditempatkan di bawah kontrol internasional.
ADVERTISEMENT
Pada 1922, Liga Bangsa-Bangsa (pendahulu PBB) secara resmi memberikan mandat untuk Palestina kepada Inggris. Mandat inilah yang digunakan Inggris untuk memfasilitasi pendirian Israel di Palestina. Resolusi 181 Majelis Umum PBB tahun 1947 merekomendasikan wilayah Palestina untuk dialokasikan ke beberapa bagian, yakni 55% untuk negara Yahudi, 45% untuk negara Arab, dan kota Jerussalem untuk diletakan di bawah administrasi internasional karena signifikansinya sebagai tempat suci dari tiga agama. Akan tetapi, pembagian dari resolusi ini ditentang dan dianggap tidak adil oleh penduduk Palestina. Sebab, penduduk Yahudi yang jumlahnya lebih sedikit mendapat bagian yang lebih besar. Saat itu, populasi Yahudi kurang dari sepertiga populasi dan telah memiliki kurang dari 7% luas lahan, sementara penduduk Palestina berjumlah lebih dari dua pertiga populasi dan telah memiliki sebagian besar tanah selama berabad-abad. Situasi yang semakin kompleks antara Israel dan Palestina membuat Inggris mengundurkan diri dari mandatnya pada 1948, yang diikuti dengan deklarasi kemerdekaan Israel oleh bangsa Yahudi.
ADVERTISEMENT
Deklarasi kemerdekaan ini memicu serangan dari negara-negara Arab yang digerakan oleh ideologi Pan-Arabism, sebuah ideologi politik dan sosial yang menyerukan persatuan bangsa-bangsa Arab di bawah identitas bersama. Pan-Arabism sendiri dipopulerkan oleh Presiden Mesir saat itu, Gammal Abdel Nasser, yang juga memimpin negara-negara Arab (Jordania, Irak dan Lebanon) dalam melancarkan serangan ke Israel pada 1948. Perang ini dimenangkan oleh Israel dan diakhiri dengan gencatan senjata antara negara-negara Arab dan Israel yang berdampak pada pembagian Palestina menjadi tiga bagian. Negara Israel menduduki 77% wilayah Palestina (termasuk Jerussalem Barat), Jordania menduduki Jerusalem Timur dan West Bank, sementara Mesir menduduki Jalur Gaza. Perang 1948 ini pun dikenal dengan “An-Nakba” yang berarti malapetaka, khususnya bagi bangsa Palestina yang kehilangan sebagian besar tanahnya.
ADVERTISEMENT
Awal Mula Peperangan
Kekalahan koalisi Arab di Perang 1948 dianggap sebagai sebuah penghinaan yang memantik semangat untuk mengembalikan martabat dan kehormatan mereka dengan kembali ke medan perang. Pada 1964, Mesir, Suriah, dan Jordania mengikat diri dengan pakta pertahanan sebagai reaktivasi dari Pakta Keamanan Kolektif Arab tahun 1950. Pakta pertahanan ini bertujuan untuk meningkatkan kerja sama militer antara ketiga negara, yang memungkinkan mereka untuk saling membantu ketika salah satu dari mereka diserang. Di sisi lain, Uni Soviet juga memberikan dukungan militer kepada Mesir dan Suriah untuk memperluas pangkalan militer di Timur Tengah sebagai bagian dari kebijakan Perang Dingin mereka dengan Amerika Serikat. Dalam hal ini, Uni Soviet juga lah yang memantik api peperangan di antara negara-negara Arab dan Israel pada The Six-Day War 1967. Pada tanggal 13 Mei, Uni Soviet memberi tahu Mesir mengenai serangan yang direncanakan Israel ke Suriah pada tanggal 17. Meskipun tidak ada bukti terkait mobilisasi Israel, koalisi Arab di bawah pimpinan Gammal Abdul Nasser tetap mengerahkan pasukannya di Sinai, menutup Selat Tiran untuk memblokade kapal-kapal Israel, dan menarik Jordania ke pakta pertahanan bersama. Mengetahui adanya ancaman di Sinai, Israel segera memobilisasi angkatan bersenjatanya, sehingga perang benar-benar tidak dapat dihindari pada 5 Juni 1967.
ADVERTISEMENT
Bisa dibilang, tujuan Nasser mengerahkan pasukan koalisi Arab di Sinai cenderung untuk meraih kembali kredibilitas Pan-Arab-nya yang memudar setelah kekalahan perang 1948 sekaligus menaklukan mental pasukan Israel dengan pertunjukkan kekuatan militer koalisi Arab secara besar-besaran. Terdapat bukti yang menunjukkan bahwa sebenarnya Israel tidak benar-benar terancam. Misalnya, seperti laporan intelijen AS yang memperkirakan bahwa gerakan militer Mesir cenderung bertujuan untuk unjuk kekuatan daripada menyerang. Selain itu, melalui pidatonya tahun 1982, Menachem Begin sebagai Perdana Menteri Israel saat itu mengakui bahwa keputusan Israel untuk menyerang lebih dulu pada Perang Enam Hari dikarenakan tawaran serangan pre-emptive berdasarkan penilaian militer yang menguntungkan, bukan karena berada di ambang kehancuran. Dalam hal ini, serangan pre-emptive Israel dianggap sebagai bentuk self-defense karena adanya causus belli (pembenaran perang) yang dilakukan Mesir. Ironisnya, Nasser salah perhitungan, karena meskipun kalah jumlah, Israel memiliki pasukan militer yang kuat dan meraih kemenangan telak melawan pasukan koalisi Arab hanya dalam waktu enam hari.
ADVERTISEMENT
Konsekuensi bagi Palestina
Perang Enam Hari 1967 berhasil membawa Israel pada posisi militer terkuat di Timur Tengah. Sebelumnya, posisi ini dipegang oleh Mesir di bawah Gamal Abdel Nasser dengan dukungan persenjataan modern Uni Soviet yang meliputi pesawat tempur, tank, artileri dan sistem pertahanan udara. Posisi ini membuat Mesir percaya diri menghadapi Israel, terutama setelah bergabungnya Suriah dan Jordania yang menambah kekuatan militernya saat itu. Mengutip Kurtulus (2007) dalam studinya The Notion of a "Pre-emptive War": The Six-Day War Revisited, koalisi Arab unggul secara kuantitas dengan 410.000 tentara, 810 pesawat tempur, dan 2.200 tank. Sementara itu, Israel hanya memiliki 264.000 tentara, 350 pesawat tempur, dan 800 tank. Mengejutkannya, meskipun kalah dalam jumlah, Israel berhasil meraih kemenangan telak melawan Koalisi Arab. Kemenangan ini pun digambarkan secara gemilang dalam tulisan Machairas (2017) yakni The Strategic and Political Consequences of the June 1967 War, di mana Israel hanya kehilangan 800 tentara, tetapi Koalisi Arab harus kehilangan lebih banyak korban yang meliputi 10.000-15.000 tentara Mesir, 700 tentara Yordania, dan 450 tentara Suriah. Kemenangan Israel ini dapat disebabkan oleh motivasi dan strategi. Israel menjadikan ancaman konstan dari negara-negara tetangga sebagai motivasi untuk meningkatkan kemampuan militer mereka. Selain itu, strategi pre-emptive dengan menyerang lebih dulu dinilai sangat menguntungkan mereka, karena koalisi Arab kehilangan banyak kesempatan untuk menang.
ADVERTISEMENT
Pencapaian Israel berhasil menarik perhatian AS untuk menjadikannya sebagai aliansi di Timur Tengah. Setelah perang, keduanya mulai menjalin kerja sama militer dan menjadi sekutu strategis untuk saling mendukung satu sama lain. Meski sering terlibat upaya diplomasi dalam penyelesaian konflik Israel-Palestina, secara historis AS lebih membela Israel. AS juga menjadi negara pertama yang mengakui kemerdekaan Israel pada 1948 dan menjalin hubungan diplomasi dengannya. Hubungan militer yang mesra ini pada akhirnya hanya akan memperkuat Israel, dan menyulitkan Palestina.
Kekalahan koalisi Arab dalam The Six-Day War juga menyebabkan Israel mengokupasi sebagian wilayah yang sebelumnya ada di bawah kekuasaan mereka. Awalnya, Palestina hanya kehilangan setengah wilayahnya, tetapi perang tersebut mengakibatkan hilangnya seluruh tanah Palestina dan sebagian wilayah dari kontrol Mesir, Yordania, dan Suriah. Israel mengokupasi Semenanjung Sinai dan Jalur Gaza dari Mesir, Dataran Tinggi Golan dari Suriah, serta Tepi Barat dan Yerusalem Timur dari Yordania hanya dalam waktu enam hari yang membuat Israel tiga setengah kali lipat lebih luas dari ukuran sebelumnya. Setidaknya, terdapat dua dampak signifikan dari akuisisi wilayah ini: konflik antar agama dan peningkatan jumlah pengungsi Palestina.
ADVERTISEMENT
Konflik antar agama di Palestina berhubungan dengan Yerussalem Timur, kota di bagian timur garis demarkasi yang dibuat setelah Perang Arab-Israel tahun 1948. Sebelum diokupasi Israel, wilayah ini ada di bawah kontrol Jordania dan diproyeksikan untuk menjadi Ibu Kota Palestina di masa depan. Wilayah ini menjadi lokasi penting bagi Muslim, Yahudi, dan Kristen karena signifikansi sejarah dan situs-situs suci yang dimilikinya. Bagi Muslim, Yerusalem memiliki makna sejarah yang sangat besar karena tempat tersebut menjadi lokasi Masjid Al-Aqsa yang dianggap sebagai situs tersuci ketiga dalam Islam, dan The Dome of the Rock yang menjadi saksi perjalanan spiritual Nabi Muhammad. Bagi umat Yahudi, Yerusalem Timur merupakan lokasi Tembok Ratapan yang merupakan situs suci mereka. Sementara itu bagi umat Kristen, Yerussalem Timur menjadi lokasi Gereja Makam Kudus (Church of the Holy Sepulchre) yang dianggap sebagai lokasi tempat Yesus disalibkan, dimakamkan, dan bangkit dari antara orang mati. Jatuhnya Yerussalem Timur ke tangan Israel menimbulkan konflik antar umat beragama, khususnya Muslim dan Yahudi di wilayah tersebut. Hal ini dikarenakan adanya keluhan-keluhan dari kelompok Muslim terhadap kontrol Israel yang dianggap membatasi akses mereka ke komplek Masjid Al-Aqsa yang semula ada dalam kendali Muslim. Akibatnya, status Jerussalem Timur tidak hanya menjadi konflik politik Palestina dan Israel saja, tetapi secara lebih luas menjadi konflik antar umat beragama. Masyarakat muslim di berbagai negara seperti Arab Saudi, Iran, Turki, bahkan Indonesia sering mendukung Palestina atas Yerusalem Timur sebagai bagian dari solidaritas dan tanggung jawab mereka untuk melindungi Masjid Al-Aqsa.
ADVERTISEMENT
Okupasi wilayah ini juga menyebabkan peningkatan jumlah pengungsi Palestina. Banyak penduduk Palestina yang terusir dari wilayah-wilayah yang diokupasi Israel. Pada tahun 1968, the United Nations Relief and Works Agency (UNRWA) mencatat bahwa The Six-Day War menghasilkan lebih dari 500.000 pengungsi Palestina. Kondisi ini membuat banyak pengungsi Palestina mencari perlindungan ke negara lain, terutama negara-negara tetangga seperti Lebanon, Jordania, Mesir, Suriah, dan Irak. Sebagian dari mereka tinggal dalam kondisi miskin dan menyedihkan di kamp-kamp yang padat dengan akses yang terbatas ke layanan kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan. Misalnya di Lebanon, pengungsi Palestina tidak bisa mendapatkan kewarganegaraan sehingga mereka tidak memiliki hak-hak warga negara. Mereka juga dilarang memperoleh pekerjaan di sektor formal seperti dokter, pengacara, dan pegawai negeri. Kondisi ini tentunya memaksa mereka untuk bekerja di sektor informal dengan upah rendah yang membuat mereka terjebak dalam kemiskinan struktural.
ADVERTISEMENT
Kemalangan tidak hanya terjadi pada orang-orang Palestina di luar negeri, tetapi juga menimpa mereka yang bertahan di dalam negeri. Israel melakukan serangkaian pelanggaran HAM kepada orang-orang Palestina yang memilih menetap di wilayah-wilayah yang diokupasi. Mereka menjadi korban pengusiran paksa, penghancuran properti, penangkapan sewenang-wenang, penganiayaan, hingga pembunuhan. Melansir Human Rights Watch (2021), Israel telah membangun sebanyak 280 pemukiman di West Bank, dan 12 pemukiman di Jerussalem Timur. Hingga saat ini, pemukiman-pemukiman di West Bank setidaknya dihuni lebih dari 700.000 orang Yahudi. Sementara itu di Gaza, sebanyak 21 pemukiman didirikan Israel dengan jumlah pemukim kurang lebih 8.000 orang. Warga Palestina yang bertahan di tanah air mereka juga menjadi korban diskriminasi, di mana orang-orang Yahudi mendapat hak istimewa sementara mereka hidup dengan hak-hak terbatas karena tidak diberikan kewarganegaraan. Sejak 1967, Israel memegang kontrol atas penduduk di West Bank dan Gaza Strip dengan mencatat setiap kelahiran dan kematian warga Palestina, tetapi di sisi lain juga menghapus ratusan ribu status kependudukan mereka agar kehilangan kemampuan untuk tinggal atau berpergian dari wilayah tersebut.
ADVERTISEMENT
Palestina Saat Ini
Otoritas Palestina saat ini memegang kendali sebanyak 18% dari total wilayah West Bank, di mana 60% dipegang Israel, dan 22% sisanya dipegang oleh keduanya. Pembagian ini didasarkan pada Perjanjian Oslo II Tahun 1993 yang membagi wilayah West Bank ke dalam tiga bagian, yaitu Wilayah A (di bawah kendali Palestina), Wilayah B (di bawah kendali Palestina-Israel), dan Wilayah C (di bawah kendali Israel). Perjanjian Oslo II tahun 1993 sendiri merupakan kelanjutan dari Perjanjian Oslo I tahun 1995 yang dianggap sebagai solusi damai bagi Palestina dan Israel menanggapi Intifada I dan II. Pembagian ini berkontribusi pada ketegangan yang berkelanjutan antara Israel dan Palestina, dengan banyak warga Palestina yang terpinggirkan dan kehilangan hak mereka atas tanah dan sumber daya karena meningkatnya jumlah pemukim Yahudi di wilayah tersebut.
ADVERTISEMENT
Sementara itu di Gaza, Israel mengklaim telah menarik diri dari wilayah tersebut pada 2005. Tindakan ini dikenal sebagai Unilateral Disengagement (pemisahan sepihak) yang bertujuan untuk untuk mengelola keamanan dan menyelesaikan konflik. Tekanan masyarakat internasional, mahalnya pendudukan Gaza, dan serangan-serangan intensif Hamas terhadap pemukim dan pasukan Israel melatarbelakangi tindakan ini. PBB, Uni Eropa, AS, dan negara-negara lainnya turut menekan Israel agar menghentikan pendudukan di Gaza yang dianggap menghambat perdamaian. Selain itu, karena Gaza menjadi lokasi didirikannya Hamas pada awal Intifada I, Israel harus menempatkan ribuan pasukan, membangun pos pemeriksaan, melakukan patrol operasi militer reguler untuk melindungi 8.000 pemukim di sana yang memakan biaya cukup tinggi. Meskipun begitu, penarikan diri Israel ini tidak diakui oleh International Court Justice (ICJ) karena Israel masih mempertahankan kontrol atas perbatasan laut, darat, udara dan keluar masuknya orang dan barang ke Palestina. Kejadian ini semakin jelas ketika ketegangan antara kedua negara ini meningkat sejak 7 Oktober 2023, saat Israel memblokade bantuan internasional yang akan masuk ke Gaza. Berdasarkan laporan Norwegian Refugee Council (2024), blokade Israel mengakibatkan sebanyak 83% bantuan pangan tidak sampai ke Gaza, menurunnya 65% pasokan insulin dan 15% produk kebersihan bagi wanita.
ADVERTISEMENT
Peran Negara-Negara Arab
Sikap negara-negara Arab terpecah dalam menanggapi konflik Israel-Palestina saat ini. Saat Iran dan Lebanon turut berupaya menyelesaikan konflik tersebut, negara-negara Arab lainnya justru terlihat mulai menormalisasi hubungan mereka dengan Israel. Baru-baru ini media tengah ramai dengan rudal-rudal Iran di angkasa yang sengaja dikirim ke Israel, sebagai respons dari terbunuhnya pemimpim Hizbullah yaitu Abbas Nilforoushan, akibat serangan Israel di Lebanon pada September lalu. Hizbullah sendiri dikenal sebagai organisasi politik pendukung perjuangan Palestina yang berbasis di Lebanon dengan dukungan militer dan finansial dari Iran. Tidak hanya berupaya melalui cara militer, kedua negara ini juga melibatkan cara non-militer. Pada KTT OKI Okober 2023, Iran dan Lebanon meminta negara-negara Arab untuk memberlakukan embargo minyak ke Israel, tetapi permintaan ini ditolak negara-negara Arab karena hubungan ekonomi mereka dengan AS yang merupakan sekutu Israel. Selain itu, beberapa negara-negara Arab telah menormalisasikan hubungan mereka dengan Israel melalui perjanjian-perjanjian damai, mulai dari Mesir melalui Perjanjian Perdamaian Camp David tahun 1978, Jordania melalui Perjanjian Perdamaian tahun 1994, Uni Emirat Arab, Bahrain, Maroko dan Sudan melalui Perjanjian Abraham tahun 2020.
ADVERTISEMENT
Hal yang menarik untuk digarisbawahi adalah bagaimana sikap Koalisi Arab yang dahulu sempat terlibat dalam The Six-Day War 1967 dengan Israel. Mesir diketahui telah mendapatkan kembali Semenanjung Sinai yang sebelumnya diokupasi Israel tahun 1967 sebagai konsekuensi dari Perjanjian Perdamaian Camp David tahun 1978. Sebagai gantinya, Mesir menjadi negara Arab pertama yang mengakui kedaulatan Israel. Di sisi lain, Perjanjian Perdamaian tahun 1994 menjadikan Jordania sebagai negara kedua yang mengakui kedaulatan Israel. Meski tidak memperoleh kembali kontrol atas wilayah Palestina, warga Jordania memperoleh akses untuk mengunjungi situs-situs suci di Jerussalem Timur. Perjanjian damai Mesir dan Jordania dengan Israel ini telah membuka jalan bagi hubungan diplomatis dan kerja sama di berbagai sektor. Sementara itu, Suriah dan Israel masih terlibat konflik yang berkelanjutan hingga kini. Di bawah pemerintahan Bashar Al-Assad, Suriah masih secara konsisten menuntut kembalinya Dataran Tinggi Golan, dan melawan Israel bersama dengan Iran dan Hizbullah. Terlepas dari hubungan negara-negara Arab tersebut dengan Israel, mereka tetap mengecam serangan-serangan brutal Israel ke Palestina, mengupayakan cara-cara diplomatis, dan mengirim bantuan kemanusiaan.
ADVERTISEMENT