Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Jalan Terang Pansus Haji
15 Juni 2021 17:04 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Tamsil Linrung tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh : Tamsil Linrung
(Anggota DPD RI, Ketua Pokja Parlemen Indonesia dan Arab Saudi Tahun 2017)
ADVERTISEMENT
***
Sebelum pihak Kerajaan Arab Saudi memutuskan hanya mengizinkan 60.000 warga lokal menunaikan ibadah haji, pemerintah terlihat bekerja keras melakukan pembenaran pembatalan haji. Termasuk telah “mentersangkakan” COVID-19.
“Terancamnya kesehatan, keselamatan, dan keamanan jemaah haji akibat pandemi COVID-19,” begitu salah satu poin pernyataan Menteri Agama tempo hari. Pernyataan itu kontradiktif dengan deretan keputusan pemerintah yang justru kontraproduktif dengan upaya mengendalikan COVID-19. Sebutlah, menggelar Pilkada serentak tahun 2020 ketika angka COVID-19 sedang tinggi-tingginya. Atau program mempromosikan wisata.
Kendati dapat durian runtuh “pembenaran” baru, bukan berarti berbagai isu yang menyelubungi tata kelola haji ikut terhenti. Sebaliknya, ini adalah momentum yang paling tepat untuk menggali lebih dalam sengkarut masalah haji di Indonesia. Termasuk mendorong Pansus Haji di Parlemen. Oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD) maupun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
ADVERTISEMENT
Pemerintah memang sudah melontarkan berbagai argumentasi, bahwa dana haji tidak digunakan untuk proyek infrastruktur. Pun BPKH selaku pihak yang otoritatif dan paling bertanggung jawab mengelola dana jemaah, juga senada. BPKH bilang, dana haji aman.
Argumen itu tentu saja tidak lantas ditelan mentah-mentah. Satu-satunya cara untuk membuktikan jika dana haji aman, adalah melalui audit oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan auditor independen. Demikian juga upaya membentuk Pansus, diharapkan membuka semua tabir yang mengesankan ada yang ditutup-tutupi terkait dana haji.
Sangat beralasan jika keberadaan dana haji dipertanyakan. Bahkan kuat dugaan membiayai program-program pemerintah. Yang sayangnya, sejumlah proyek di sektor infrastruktur justru terbelit masalah. Ada kekhawatiran, dana haji nyangkut di proyek bermasalah tersebut.
Ruang fiskal negara tengah ngos-ngosan. Keseimbangan primer APBN terjebak di zona negatif. Besar pasak daripada tiang. Belanja negara melampaui kemampuan pemerintah menggenjot penerimaan.
ADVERTISEMENT
Bunga utang jatuh tempo November 2020 sebesar Rp300 triliun harus dibayar dengan utang baru. Untuk menutupi kewajiban bunganya saja, pemerintah kerepotan mencari utang baru tersebut. Gali lubang tutup lubang yang menjadi menu pergulatan rakyat miskin, kini juga tengah dihadapi bangsa ini.
Apakah kita bangsa miskin? Sama sekali tidak! Faktanya, Indonesia bahkan selalu disebut-sebut sebagai salah satu kekuatan ekonomi yang disegani. Bertengger di rangking 16 besar dunia di kalangan anggota G-20. Bangsa ini kaya aneka jenis sumber daya alam. Sumber daya manusia juga melimpah. Problemnya memang pada tata kelola yang salah.
Aneh memang. Bangsa yang kaya raya dan kerap disanjung puja di luar negeri ini ternyata punya problem domestik. Sangat mendasar. Urusan rumah tangga. Masalah dapur yang direfleksikan melalui postur dan anatomi APBN yang sarat penyakit. Sungguh-sungguh mengerikan.
ADVERTISEMENT
Pendapatan negara bersumber dari utang yang dalam eufemisme konstitusi diperhalus dengan istilah “pembiayaan utang”, tahun ini dipatok sebesar Rp1.006,4 triliun. Diperkirakan tahun 2021 ini kita sudah harus siap-siap dengan bunga utang yang lebih membengkak. Mencapai Rp373 triliun
Kalau pemerintah gagal memperoleh utang baru untuk menutupi bunga utang yang akan jatuh tempo November tahun ini, kemudian ditambah utang pemerintah pada PLN dan Pertamina sebesar Rp119 triliun, maka kondisi fiskal semakin sulit bernapas.
Sementara penerimaan pajak tidak terpenuhi, bahkan dari revisi terendah sekalipun. Belum lagi masalah lain yang membeli BUMN. Ada utang jumbo maskapai Garuda Indonesia yang tiap bulannya bertambah sekitar Rp1 triliun. Di mana posisi utang maskapai pelat merah itu sudah mencapai Rp70 triliun per Mei 2021.
ADVERTISEMENT
Lalu ada utang Pertamina Rp602,4, PLN Rp448,6 triliun, utang BUMN infrastruktur yang dipaksa menjalankan proyek pemerintah meski feasibless atau tidak layak secara bisnis. Data Bank Indonesia, utang BUMN selain lembaga keuangan naik dari Rp 581,33 tahun 2016 menjadi Rp 1.140,66 triliun pada tahun 2020. Tinggal tunggu waktu, semuanya teriak minta penyelamatan. Lalu dari mana anggarannya?
Penerimaan pajak sendiri sudah direvisi berkali-kali. Namun tetap saja jauh dari angka yang ditargetkan pemerintah. Sebaliknya, justru terjun bebas.
Langkah agresif bahkan ditempuh mengatrol penerimaan pajak. Tak terkecuali memungut pajak dari kebutuhan mendasar rakyat. Makanan pokok sehari hari seperti beras, ikan asin, cabai keriting, garam dan lada hitam semua akan dikenakan pajak sebagaimana dokumen beredar yang kemudian dianggap “bocor” oleh pemerintah. Demikian juga sekolah, akan dikenakan pajak. Entah apalagi setelah itu?
ADVERTISEMENT
Situasi ini, mengingatkan kita pada tamsil yang pernah disampaikan oleh peletak ilmu sosiologi modern yang juga sejarawan ulung, Ibnu Khaldun. “Di antara tanda sebuah negara akan hancur, semakin besar dan beraneka ragam pajak yang dipungut dari rakyat,” demikian pernyataan yang disampaikan dalam buku legendarisnya Mukaddimah ketika mengisahkan tentang bangkit dan runtuhnya sebuah peradaban dan bangsa.
Pajak yang beraneka ragam, jadi satu instrumen bangsa yang mengalami deklinasi. Apalagi, problem pelik kegagalan mencapai target pajak ini telah merambah ke berbagai sektor kehidupan. Iklim bisnis dan ekonomi acakadut. Mendegradasi moral pemerintah. Melunturkan kepercayaan rakyat.
Di sisi lain, mungkin ini satu berkah di balik spirit haji. Menuntun kita menyelami lebih dalam tentang situasi aktual bangsa. Melihat lebih jernih realitas negara yang sangat bertolak belakang dengan propaganda selama ini. Tentang kondisi APBN tidak aman.
ADVERTISEMENT
Kalau APBN saja tidak aman, lantas bagaimana bisa menjamin kalau dana haji aman-aman saja? Bukankah dana haji diinvestasikan dalam pembelian Sukuk. Sukuk sendiri diterbitkan untuk membiayai APBN dan belanja negara. Termasuk membiayai infrastruktur.
Kementerian Keuangan telah merilis proyek tol, jembatan, bandara, hingga jalur ganda kereta Lintas Selatan Jawa sebagai proyek infrastruktur yang pembiayaannya dari Sukuk. Atas dasar itulah, sekali lagi, kuat dugaan dana haji yang diinvestasikan dalam bentuk pembelian Sukuk memang telah bercampur dengan berbagai utang pemerintah dari sumber lain untuk membiayai proyek dan program di APBN.
Ramai ramai bak diorkestrasi seolah menjamin tidak ada dana haji yang dipakai untuk membiayai infrastruktur, justru menimbulkan tanda tanya besar. Apakah proyek yang dibiayai dari Sukuk dana haji itu, telah terjebak di proyek gagal? Audit independen dan Pansus Haji, diharapkan dapat membuka situasinya secara terang benderang.
ADVERTISEMENT
Apalagi UU Pengelolaan Keuangan Haji Pasal 22 dan Pasal 26 jelas mengamanatkan penggunaan dana haji melalui investasi Sukuk harus dipastikan sesuai dengan prinsip syariah, kehati-hatian, keamanan, dan nilai manfaat pada jemaah. Sehingga investasi Sukuk tersebut bukan pembenaran lepas tangan, dan diserahkan begitu saja. Apalagi banyak opsi direct investment yang sebetulnya tak kalah penting bagi keperluan jemaah haji.